Juga ibu-ibu tua janda miskin, nenek-nenek renta, serta anak-anak yatim-piatu yang juga terus bermunculan menjadi pengemis dan peminta-minta sumbangan, nyatanya hingga kini masih terus berkelana mengetuk pintu door to door (pintu mobil dan rumah), dan masih banyak lagi yang kesemuanya hanya bagai sebuah nyanyian pengantar tidur bagi para pejabat pemerintah di negeri ini. Dan itu sudah berlangsung sejak dulu.
Tapi bukankah Indonesia sudah merdeka? Dengan tegas saya katakan, bahwa kita belum merdeka..!!!! Soekarno memproklamirkan sebuah kemerdekaan yang hanya bermakna pada sebuah keberhasilan mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini, bukan sebagai jaminan bahwa penjajah (negara asing) mampu kita “hilangkan” dari negeri ini. Sebab, mereka pasti akan terus berusaha mencari cara sampai kapanpun untuk benar-benar bisa menguasai kekayaan alam kita untuk kemajuan negara mereka sendiri-sendiri.
Sampai itulah, pernyataan-pernyataan Soekarno di masa lampau pun menjadi benar, bahwa kita saat ini masih sedang dijajah oleh penjajah yang berasal dari dalam negeri kita sendiri. Yakni para mafia, para politisi busuk beserta para begundalnya penjilat kaki dan (maaf) dubur negara imperialis.
Sungguh, Indonesia pasca Soekarno hingga kini benar-benar telah dikuasai oleh penjajah yang berasal dari dalam negeri kita sendiri. Olehnya itu, rakyat dan bangsa ini harus benar-benar sadar dan segera bangkit bersatu untuk tidak membiarkan para mafia, potisi busuk beserta para kaki tangan negara asing leluasa melahap kekayaan negeri ini secara monopoli dan rakus.
Lawan....!!! Inilah kata yang seharusnya ditegakkan di bawah “Panji Perubahan”. Untuk melakukan perlawanan, sebetulnya Soekarno telah memberikan kita sebuah bekal ideologi dan satu ajaran, yakni Pancasila dan Trisakti.
Sayangnya, ideologi dan ajaran tersebut hanya segelintir orang yang bisa menggerakkannya secara konsisten, termasuk boleh jadi anak-anak Soekarno sendiri pun belum tentu seideologi dengan Soekarno. Layaknya ajaran dari seorang nabi di masa lampau yang juga belum tentu bisa diikuti oleh anak-anak atau keluarganya sendiri.
Namun dari segelintir orang yang tetap konsisten berpijak pada ideologi dan ajaran Soekarno hingga saat ini salah satunya adalah Rizal Ramli. Dan hal ini tak dapat dipungkiri, bahwa hingga kini Rizal Ramli memang masih tetap setiap berada pada barisan pergerakan demi mewujudkan Perubahan di negeri ini.
Rizal Ramli yang sudah berstatus anak yatim-piatu sejak usia 7 tahun bukanlah tokoh pergerakan yang baru nongol di era kemarin. Perjuangan pergerakannya telah ia lakoni jauh sebelum para pimpinan parpol yang ada saat ini mengumandangkan kata ajakan “perjuangan untuk rakyat”.
Rizal Ramli tidak hanya mengajak, tetapi sejak dulu sudah berani langsung terjun melakukan perlawanan terhadap “para penjajah” dari dalam negeri sendiri. Statusnya sebagai mahasiswa ITB dari lapisan rakyat bawah, tidaklah menyurutkan nyalinya untuk berdiri di barisan terdepan menancapkan panji perubahan bersama para aktivis mahasiswa lainnya dengan misi membela hak-hak rakyat tertindas, yakni melalui aksi pergerakan mahasiswa guna menuntut, menantang dan mendesak penguasa Orde Baru (Orba) untuk turun dari tahta karena sangat semena-mena kepada rakyatnya.
Sedikit “mengenang sejarah” pergerakan perubahan yang telah dimulai oleh Rizal Ramli bersama aktivis mahasiswa angkatan 77/78 lainnya. Yakni, oktober 1977 pada peringatan Sumpah Pemuda oleh DEMA (Dewan Mahasiswa) se-Indonesia di Bandung, menggelar aksi unjukrasa besar-besaran namun berhasil ditekan militer sehingga tidak begitu menimbulkan benturan di lapangan.
Namun aksi itu kemudian berlanjut pada Januari 1978 dimotori DEMA ITB yang dipimpin langsung oleh Rizal Ramli, Herry Achmadi, Indro Tjahjono, dkk. Demo yang digelar di Kampus Ganesha ITB ini merupakan klimaks pergerakan mahasiswa menolak kedikatatoran penguasa Orba