Mohon tunggu...
Bagas De
Bagas De Mohon Tunggu... -

Buruh sosial. Tinggal dan bekerja di Slovakia-Eropa Tengah. Aslinya, Anak Kampung, dari Nehi-Enoraen, ntt. Laman blog pribadi: www.confessionoflife21.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiang Gantung Penghakiman

29 Juli 2016   21:07 Diperbarui: 30 Juli 2016   01:11 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lili Susanty, demikian namanya. Ia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ia wanita yang menarik. Tidak hanya cantik tapi juga manis. Kepribadiannya juga lembut. Karena itu, yakinku, pria manapun akan jatu hati ketika melihatnya.

Mungkin karena kecantikannya maka banyak di antara teman sebayanya - perempuan maksud saya - tidak meyukainya. Itu bisa dipahami. Untuk wanita, perempuan yang lain selalu tampak jelek di matanya. Itu hukum alam, demikian kata mereka. Tetapi itu bukan persoalan saya.

Persoalan saya adalah saya terlanjur jatuh cinta dan menyayanginya. Bahkan hingga saat ini. Semuanya berawal di bulan Juni, di tahun 1996. Tahun itu merupakan permulaan tahun ajaran baru untuk para pelajar. Sebuah permulaan juga bagi kami sebagai murid baru di Sekolah Menengah Pertama itu.

Kami terlebur dalam hiruk pikuk dan pesonanya masa putih biru. Bersama ke-42 teman-teman seangkatan, kami berlari menjejaki masa depan kami di tiga tahun masa itu. Di antara kami, ada yang pergi dan ada yang datang. Namun pesonanya tak sedikitpun beranjak. Dan saya semakin terseret-tenggelam dalam rasaku padanya. Tetapi dia ada di sana, dan saya tetap berdiri di sini dalam bisuku.

Tetapi mengapa?

Ia cantik, dan manis. Juga lembut. Ia dikagumi banyak orang. Ia datang dari keluarga berkecukupan. Juga dari keluarga yang utuh, lengkap ayah dan ibu.

Sedangkan saya?

Saya hanyalah pria biasa, dan datang dari keluarga yang sederhana. Saya seorang anak yatim di akhir tahun pertama Sekolah Menengah Pertama. Dia dan diriku bagaikan langit dan bumi. She's a princess and i'm a beggar. Jadi, bagaimana mungkin saya berterus terang padanya bahwa "aku suka padamu"? Jangankan "aku suka padamu", untuk mengatakan "kamu cantik" saja saya tidak sanggup.

Sebagai laki-laki, pikirku saat itu, tak ada yang bisa dibanggakan. Saya payah dalam segala hal. Kemudian saya berlari menjauh darinya. Itu pilihan yang paling logis untukku saat itu. Namun rasa, mimpi dan anganku padanya tetap kupelihara. Dia masih ada dan memenuhi ruang hatiku.

Akhir Mei 1999, kelulusan kami, di sekolah Menengah Pertama itu, dikumandangkan. Perpisahan itu pun datang. Wanitaku pergi. Saya pun pergi. Tanpa satu pesan apapun.

Kami semua pergi untuk pengalaman dan tantangan baru di jenjang hidup berikutnya. Saya hanya bisa berjanji dengan diriku sendiri: saya akan kembali padanya, kembali pada wanita yang kusayangi. Kembali untuk merebut hatinya, dan memintanya untuk hidup hingga tua bersamaku. Itupun kalau saya mampu meyelesaikan jenjang studi di universitas.

Janji itu mustahil rasanya.

Saya sadar bahwa janji ini tidak lebih dari sebuah bualan hampa. Saya hanya sedang mengibuli  rasaku untuk selalu bersamanya saat itu. Sebab, jangankan Sekolah Menengah Atas, biaya sekolah untuk masa putih biru yang baru lewat saja teramat sulit bagiku. Ibuku tertatih-tatih memenuhinya. Jadi, bagaimana mungkin saya bisa melanjutkan studi ke jenjang universitas?

Saya mengeluh perih. Rasanya tak mungkin saya bisa kembali padanya. Mustahil.

Dia pergi dan saya pun pergi. Tak ada satu kata pamit di antara kami. Pikirku, toh saya baginya bukanlah siapa-siapa. Saya hanyalah seorang teman biasa, seperti temannya yang lain. Tidak lebih. Jadi, saya akan segera hilang dari ingatannya. Tetapi, dia bagiku adalah wanita masa depanku. Wanita masa depanku yang sedang kuperjuangkan melalui jalan mustahil ini.

II

Waktu berganti. Hari berputar dan minggu pun datang. Bulan terus berlari. Tahun pun terus berganti entah untuk yang keberapa, saya tak tahu.

Dalam waktu yang sepi dan panjang itu, saya berjumpa dengan mendiang ibunya untuk beberapa kali secara tak sengaja. Hatiku menderu, rasanya ingin bertanya, "Tante, di mana Lili sekarang? apa dia baik-baik saja?" Namun hati, otak, dan rasa rendah diriku meyelamatkanku dari rasa malu yang bakal timbul bila saya mengajukan pertanyaan bodoh itu.

Sesalku, kalau saja saya sedikit berkebal rasa mungkin saat itu saya tahu di mana putrinya, wanita masa depanku.

Tetapi apa dayaku. Senyuman ibunya saat itu jauh lebih dari cukup untuk bercerita padaku tentang putrinya. Putrinya yang saya cintai dan saya rindukan, walau nampak mustahil.

Senyuman itu bercerita padaku, "putriku baik-baik saja".

Saya tersedak. Saya tersedak menyadari "siapakah aku ini". Saya sedang terseret badai hidup yang tak terbilang. Jangankan pendidikan di bangku putih abu-abu saat itu, hidup dan keluargaku pun betapa peliknya. Mungkinkah? Saya tak tahu.

Lantas, di mana wanita masa depanku? Saya hanya berharap, dia baik-baik saja.

Saya tak keberatan dan rela bila dia mempercayakan hatinya pada pria lain di masa-masa saya mengejar kemustahilan mimpiku. Pikirku, toh saya sudah teruji di masa Sekolah Menengah Pertama dulu, meskipun dengan perasaan cemburu yang luar biasa.

Apa dayaku?!

Saat ini, saya pun tak mampu untuk menjaga dan menemani wanitaku meyusuri kehidupan ini. Saya memang benar-benar payah.

Tetapi bila saatku tiba, saat di mana mimpi yang mustahil itu, sebuah mimpi tentang meyelesaikan studi di universitas, benar-benar dikabulkan Tuhan, saya akan datang padanya dengan kepala tegak, dan mengatakan padanya "aku mencintaimu dengan seluruh diriku. Hiduplah bersamaku hingga tua nanti".

Saya juga akan mengucapkan terimakasihku dengan ikhlas pada dia yang telah dengan rela memberikan hatinya untuk menjaga dan melindungi wanita masa depanku.

III

Tiada yang mustahil. Akhir Juni tahun 2009, saya dinyatakan finish di universitas itu. Walau dengan keperihan yang luar biasa, dipadu perjuangan yang nyaris ambruk, mimpi yang nampak mustahil itu benar-benar menjadi kenyataan. Tuhannya orang Kristen bilang, "...Bagi Allah tiada yang mustahil."

Petualangan hidup yang benar-benar aneh. Saya melonjak kegirangan di hari penuh kemenangan akademis itu.

Dalam cerita biblis, Sarah menjadi bisu ketika ia mendapat kabar gembira bahwa ia akan mengandung dan melahirkan seorang putra di masa tuanya. Juga, Zakharia yang menjadi bisu ketika menerima kabar sukacita dari malaikat Tuhan bahwa di masa tuanya ia dan Elisabeth istrinya akan mendapatkan seorang putra. Demikian pun saya. Saya terkesima di hari penuh keajaiban itu.

Lantas, apa yang saya pikirkan saat itu? Hanya satu. Wanita masa depanku.

Cintaku padanya membakar semangatku untuk sampai pada tingkat ini. Cintaku padanya mampu merubah hidup dan nasibku. Rasanya saya ingin memeluknya dan berbisik terimakasih padanya dan pada Tuhan untuk keterlahirannya. Mungkin ia tidak pernah memikirkanku, apalagi mencintaiku, tetapi dirinya telah menjadi energi di sepanjang hidupku.

Ia merubah banyak hal dalam hidupku. Saya ingin pulang padanya.

Yah, saya ingin pulang padanya saat itu tetapi saya "tersesat". Saya "tersesat" di jalan ini. Tersesat di jalan panggilan Tuhan. Saya sedang "terseret" masuk dalam suatu arus dan perasaan yang aneh luar biasa. Suatu perasaan gila, demikian kaum awam meyebutnya. Namun sejujurnya, saya telah mengenal wanitaku jauh sebelum Allah "mengenalku". Saya telah jatuh cinta pada wanitaku jauh sebelum Allah "jatuh cinta" padaku.

Kalau dulu Yunus, dalam kitab sucinya orang Kristen, melarikan diri dari hadapan Allah ketika dipanggil dan diutus ke umat-Nya di Niniwe, demikian pun saya. Saya pernah berlari dari hadapan Allah dan panggilan-Nya. Saya meninggalkan jalan panggilan Tuhan demi mencari wanitaku. Kemudian saya pergi ke tanah Jawa.

Mengapa Jawa?

Dari beberapa orang yang kutanyai, saya tahu bahwa wanita masa depanku ada di sana. Saya benar-benar marah dan kecewa sebab di sana tak kutemukan satu titik terang apapun tentang wanitaku. Saya kehilangan jejaknya. Saya menangis perih. Desember 2010 yang benar-benar menjengkelkan dan meyakitkan.

Akhirnya, seperti Yunus, saya pun kembali pada-Nya. Kembali pada-Nya dengan perasaan kecewa yang menggunung. Mengapa Tuhan meyembunyikan wanitaku? Tuhan tak menjawabku.

IV

Kembali ke jalan panggilan-Nya. Sejenak wanitaku kutinggal dalam diam yang panjang. Pikirku, ini yang terbaik untuk kami berdua. Toh dia tak pernah tahu bahwa betapa saya merindukannya, bahwa betapa saya mencintainya. Dan betapa saya membutuhkannya dalam hidupku.

Saya menghibur diriku sendiri, tidak wajib dia yang kita cintai mesti tahu bahwa kita mencintanya. Kepingan hatiku yang lain mendebat, "dia tidak mengharapkanmu, apalagi mencintaimu. Jadi, lupakanlah."

Kemudian, saya menenggelamkan diri dalam rutinitas panggilanku. Juga, saya mengejar peruntungan gelar magister di universitas itu lagi. Kesibukan ini membantuku mengusir ingatanku padanya. Saya benar-benar terlupa akan wanitaku saat itu.

Di akhir Oktober 2013 Tuhan benar-benar mengikatku di jalan-Nya. Kami berjanji sehidup semati. Saya menjadi Imam-Nya. Kata Tuhannya orang Kristen pada Petrus, salah satu rasul-Nya, demikian "Pada masa mudamu engkau bebas ke mana saja engkau pergi. Tetapi pada masa tuamu kemanapun engkau pergi akan ditentukan."

Oh dunia...Cinta akan rumah-Mu menghanguskan daku.

V

Tiang gantung penghakiman. Akhir Juni 2014, saya menginjakkan kaki di tanah Eropa. Benua biru, tanah masa depanku. Jauh dari orang tuaku, jauh dari sanak saudara dan saudariku. Jauh dari wanita masa depanku, yang entah di mana saya sendiri tak tahu.

Di tanah ini, saya benar-benar membenci Tuhan. Saya membenci Tuhan karena dia yang sulit kutemukan di masa mudaku, di negeri asalku, dia yang adalah wanita masa depanku, kutemukan.

Tuhan membawanya kepadaku.

Hamparan lahan gandum di musim panas, kuningnya dedaunan pohon yang tercabik dari rantingnya di musim gugur, lembutnya salju putih di musim dingin, dan harumnya aroma hijau tetumbuhan di musim semi seolah tak mampu menghapus indahnya jejak wanitaku dalam kenanganku.

Dia hadir lagi dalam hari-hariku. Tetapi dia tidak sendiri lagi. Ada padanya seorang suami. Saya benci mengatakannya tetapi kenyataannya memang demikian. Bahwa, pria yang ada padanya adalah seorang pria yang baik. Bahkan jauh lebih baik dariku. Dan ada pada mereka tiga orang buah hati.

Saya mengeluh lirih dalam tepekur syukurku yang hambar. 

Saya bersyukur karena saya bisa menemukan wanita yang saya cari dan rindukan selama ini. Tetapi saya juga menangis. Saya menangis karena dunia kami telah berbeda. Rinduku padanya menjadi rindu yang terlarang. Cintaku padanya menjadi cinta yang terlarang. Sebuah cinta dan rindu yang akan meyeret saya pada tiang gantung penghakiman.

Apa yang bisa saya lakukan?

Di saat saya benar-benar merindukannya, saya memanggil namanya dengan seluruh diri dalam keluh yang perih. Juga memintanya untuk tidak mengatakan apapun. Hanyalah tersenyum, saya pikir itu jauh lebih baik, demikian pintaku padanya. Dan dia memahaminya. Dia masih seperti yang dulu. Wanita yang lembut dan penuh pengertian.

Saya masih ingat permintaanku yang terakhir padanya di saat saya benar-benar merindukan dan membutuhkannya saat itu."Would you like to dance with me?", demikian kataku. Dan seperti biasa, saya meyelipkan juga pesan ini, "don't say anything. Just smile. I think that's better." Dan dia diam.

Tetapi mengapa pesan itu?

Saya hanya takut untuk mendengar kata tidak dari bibirnya. Namun saya sadar, cepat atau lambat saya akan mendengarnya.

Akhir-akhir ini, saya berpikir, juga merasa, bahwa kehadiranku tidak membuatnya nyaman lagi. Itu sudah lebih dari cukup untuk memastikan kata tidak dari bibirnya. Kemudian kuputuskan untuk pergi. Biar dia bahagia dan saya pun bisa bahagia. "...Sakit dan perih hanya sementara, hanya sementara," bisik Laluna lembut. 

Kupejamkan mata dengan nafas tersedak-tertahan.

"TUHAN, biarlah tatapan sayu dari bola mata indah itu, yang telah membuatku mabuk namun membekas jauh dalam relung jiwaku, tetap bersisian dengan suara panggilan-Mu. Hanya itu saja yang aku miliki untuk bercerita pada-Mu tentang dia dan perasaan rindu yang Engkau anugerahkan pada setiap kami umat-Mu," bisikku lembut pada Tuhan.

Jauh di luar sana, salju terlihat mulai jatuh perlahan. Sedang di sini, saya terjebak dalam alunan Julio Eglesias tentang when i need you...Tuhan, aku benar-benar terlupa dengan siapa yang paling aku cintai dalam hidupku.

Li, maafkan aku, aku yang lancang mencintaimu tanpa setujumu...

Nitra-Slovakia, Desember 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun