Di saat saya benar-benar merindukannya, saya memanggil namanya dengan seluruh diri dalam keluh yang perih. Juga memintanya untuk tidak mengatakan apapun. Hanyalah tersenyum, saya pikir itu jauh lebih baik, demikian pintaku padanya. Dan dia memahaminya. Dia masih seperti yang dulu. Wanita yang lembut dan penuh pengertian.
Saya masih ingat permintaanku yang terakhir padanya di saat saya benar-benar merindukan dan membutuhkannya saat itu."Would you like to dance with me?", demikian kataku. Dan seperti biasa, saya meyelipkan juga pesan ini, "don't say anything. Just smile. I think that's better." Dan dia diam.
Tetapi mengapa pesan itu?
Saya hanya takut untuk mendengar kata tidak dari bibirnya. Namun saya sadar, cepat atau lambat saya akan mendengarnya.
Akhir-akhir ini, saya berpikir, juga merasa, bahwa kehadiranku tidak membuatnya nyaman lagi. Itu sudah lebih dari cukup untuk memastikan kata tidak dari bibirnya. Kemudian kuputuskan untuk pergi. Biar dia bahagia dan saya pun bisa bahagia. "...Sakit dan perih hanya sementara, hanya sementara," bisik Laluna lembut.Â
Kupejamkan mata dengan nafas tersedak-tertahan.
"TUHAN, biarlah tatapan sayu dari bola mata indah itu, yang telah membuatku mabuk namun membekas jauh dalam relung jiwaku, tetap bersisian dengan suara panggilan-Mu. Hanya itu saja yang aku miliki untuk bercerita pada-Mu tentang dia dan perasaan rindu yang Engkau anugerahkan pada setiap kami umat-Mu," bisikku lembut pada Tuhan.
Jauh di luar sana, salju terlihat mulai jatuh perlahan. Sedang di sini, saya terjebak dalam alunan Julio Eglesias tentang when i need you...Tuhan, aku benar-benar terlupa dengan siapa yang paling aku cintai dalam hidupku.
Li, maafkan aku, aku yang lancang mencintaimu tanpa setujumu...
Nitra-Slovakia, Desember 2015