Di akhir Oktober 2013 Tuhan benar-benar mengikatku di jalan-Nya. Kami berjanji sehidup semati. Saya menjadi Imam-Nya. Kata Tuhannya orang Kristen pada Petrus, salah satu rasul-Nya, demikian "Pada masa mudamu engkau bebas ke mana saja engkau pergi. Tetapi pada masa tuamu kemanapun engkau pergi akan ditentukan."
Oh dunia...Cinta akan rumah-Mu menghanguskan daku.
V
Tiang gantung penghakiman. Akhir Juni 2014, saya menginjakkan kaki di tanah Eropa. Benua biru, tanah masa depanku. Jauh dari orang tuaku, jauh dari sanak saudara dan saudariku. Jauh dari wanita masa depanku, yang entah di mana saya sendiri tak tahu.
Di tanah ini, saya benar-benar membenci Tuhan. Saya membenci Tuhan karena dia yang sulit kutemukan di masa mudaku, di negeri asalku, dia yang adalah wanita masa depanku, kutemukan.
Tuhan membawanya kepadaku.
Hamparan lahan gandum di musim panas, kuningnya dedaunan pohon yang tercabik dari rantingnya di musim gugur, lembutnya salju putih di musim dingin, dan harumnya aroma hijau tetumbuhan di musim semi seolah tak mampu menghapus indahnya jejak wanitaku dalam kenanganku.
Dia hadir lagi dalam hari-hariku. Tetapi dia tidak sendiri lagi. Ada padanya seorang suami. Saya benci mengatakannya tetapi kenyataannya memang demikian. Bahwa, pria yang ada padanya adalah seorang pria yang baik. Bahkan jauh lebih baik dariku. Dan ada pada mereka tiga orang buah hati.
Saya mengeluh lirih dalam tepekur syukurku yang hambar.Â
Saya bersyukur karena saya bisa menemukan wanita yang saya cari dan rindukan selama ini. Tetapi saya juga menangis. Saya menangis karena dunia kami telah berbeda. Rinduku padanya menjadi rindu yang terlarang. Cintaku padanya menjadi cinta yang terlarang. Sebuah cinta dan rindu yang akan meyeret saya pada tiang gantung penghakiman.
Apa yang bisa saya lakukan?