Mohon tunggu...
Amir Mahmud Hatami
Amir Mahmud Hatami Mohon Tunggu... Lainnya - Aku Berpikir, Maka Aku Kepikiran

Menemukan sebelah sepatu kaca di jalanan. Siapa tahu, salah satu dari kalian kehilangan!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Undang-Undang Buatan Ayah

20 Desember 2021   23:07 Diperbarui: 21 Desember 2021   00:00 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by wal_172619 from Pixabay 

Setelah mereka berdua terkurung selama 20 detik, pintu lemari besi itu pun kembali terbuka. Posisi elevator persis menghadap pada satu ruangan besar. Tak ingin membuat tamunya kehilangan banyak waktu, lelaki dengan misai rapih itu pun mengajak Rigi bergegas keluar dari elevator menuju ruangan tersebut---tidak lain adalah ruangan Virgil.

Dari kejauhan, lelaki yang memandu Rigi kebingungan saat mengetahui derit pintu berbahan kayu jati tidak akan didengarnya. Pimpinannya seolah-olah sengaja membuka pintu lebar-lebar untuk menyambut kedatangan tamunya itu. Namun, seperti biasa, budaya hierarki tetap berlaku meski pintu sudah terbuka.

"Lapor, Pak, Tuan Rigi yang terhormat sudah tiba!"

"Persilahkan orang itu masuk, jangan biarkan ia menunggu terlalu lama, Brob!

"Siap, laksanakan!"

"Terima kasih sudah memandu tamu ku, lekas kembali ke posisimu semula!"

Mengetahui lelaki pemilik misai rapih dengan bentuk tubuh atletis  yang menemaninya itu terlalu banyak berbasa-basi, tak syak, membuat geram Rigi. Kepergian Brob amat sangat ditunggu-tunggu oleh pemimpin kepolisian Barbiton itu.   

"Silahkan, Tuan Rigi, pimpinan kami menunggu Tuan!"

"Aku bukan Tuanmu, Jongos, enyahlah kau dari hadapanku!" memperlihatkan sorot mata tajam.

Suasana hening menyelimuti ruangan yang baru saja dilanda kisruh---pro-kontra adegan formalitas antara bawahan ke atasan. Virgil bertingkah layaknya barista yang tengah asyik meracik kopi pesanan pelanggan. Melihat rekannya sibuk berkutat dengan alat pembuat kopi, mau tidak mau, Rigi harus menahan emosi sembari menyeka peluh yang keluar dari pori-pori kulit wajahnya. Dan tanpa disuruh, ia lantas menjatuhkan bokongnya di sofa empuk yang berada di sisi meja Virgil.

"Silahkan, Rigi, nikmatilah kopi buatanku!" Virgil memasang wajah senyum saat menyuguhi secangkir kopi kepada Rigi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun