Mohon tunggu...
Amir Mahmud Hatami
Amir Mahmud Hatami Mohon Tunggu... Lainnya - Aku Berpikir, Maka Aku Kepikiran

Menemukan sebelah sepatu kaca di jalanan. Siapa tahu, salah satu dari kalian kehilangan!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Undang-Undang Buatan Ayah

20 Desember 2021   23:07 Diperbarui: 21 Desember 2021   00:00 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by wal_172619 from Pixabay 

"Siapapun tak dapat menolak nikmat tuhan yang satu ini, Rigi. Kantor Departemen Kepolisian Tanton ada di Jalan Basaw, nomor 101." sahut Virgil.

Percakapan terputus sepihak, Rigi tak ingin lagi membuang banyak waktu yang dimilikinya.

Jarak antara Tugu Selamat Datang dengan kantor pusat kepolisian Tanton begitu dekat; hanya membutuhkan waktu lima menit dengan berjalan kaki. Namun, sedekat-dekatnya jarak, tetap saja amarah kadung menyusahkan jiwa pelancong amatiran sepertinya.

Gerak jarum jam yang tampak normal bagi warga Tanton, baginya terasa lambat. Ia ingin secepat mungkin mengakhiri kunjungan, lalu pulang ke rumah. Tapi sial, perkataan sang ayah kembali terdengar jelas seperti saat pertama kali ia mendengarnya di kamp penyiksaan. Tak ada pilihan, baginya, melanjutkan sisa-sisa liburan di Tanton yang banyak menguras emosi itu, sama saja dengan menjalankan tugas---memberantas musuh negara.      

Bak prajurit militer di medan perang, suara derap langkah yang berasal dari sepatu bot Rigi menebar ancaman. Setiap burung yang sedang menginjakkan kaki di bumi yang Rigi tapaki, harus kembali terbang ke udara atau singgah sebentar di pepohonan terdekat. Cotok para unggas bersayap yang tadinya sibuk memungut remah roti sisa konsumsi warga dan wisatawan pun terpaksa terhenti.

Di sepanjang perjalanan menuju kantor DKST, matanya hanya terfokus kedepan, kiri-kanan jalan sengaja luput dari pandangan. Ia menolak mengotori martabatnya, sebab memperhatikan tembok kota Tanton---dari ujung ke ujung---yang dihiasi serba-serbi jenis mural. Jika ia menoleh pada salah satu mural, sama saja ia rela terjerat kedalam perangkap sang pelukis yang sengaja melukis di tempat umum (tembok pinggir jalan) agar terlihat oleh setiap orang.     

Pantangan buatannya sendiri itu seketika terganggu, ia merasa ada sesuatu yang memperhatikannya. Godaan untuk melirik menghantui segenap pikiran, juga perasaannya. Tak ingin terus merasa terancam, lantas ia hanya menjeling ke arah kanan jalan. Walhasil, tak ada satupun orang di sana, hanya terdapat gambar wajah mantan presiden ke-3, Sirato, yang terlukis sedang membakar bendera Omnipotensia menggunakan tangannya sendiri.

Melihat ayahnya di hina, Rigi meradang; masa lalunya terusik. Benda di sekelilingnya pun menjadi sasaran amarahnya yang kadung meluap.

*******

Setibanya di kantor Departemen Kepolisian Sektor Tanton (DKST), seorang lelaki muda menghampiri Rigi dan melayaninya dengan penuh takzim ala budaya hierarki; beruluk salam; memberi sapaan hormat; membantu melepas jaket; sampai mengantar tamunya itu kedepan ruangan pimpinannya, Virgil, yang berada di lantai empat.

Beruntung, berkat teknologi, lantai demi lantai terlewati dalam hitungan detik. Elevator sangat membantu meringankan langkah Rigi untuk bertemu Virgil di lantai paling atas gedung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun