Setelah mereka berdua terkurung selama 20 detik, pintu lemari besi itu pun kembali terbuka. Posisi elevator persis menghadap pada satu ruangan besar. Tak ingin membuat tamunya kehilangan banyak waktu, lelaki dengan misai rapih itu pun mengajak Rigi bergegas keluar dari elevator menuju ruangan tersebut---tidak lain adalah ruangan Virgil.
Dari kejauhan, lelaki yang memandu Rigi kebingungan saat mengetahui derit pintu berbahan kayu jati tidak akan didengarnya. Pimpinannya seolah-olah sengaja membuka pintu lebar-lebar untuk menyambut kedatangan tamunya itu. Namun, seperti biasa, budaya hierarki tetap berlaku meski pintu sudah terbuka.
"Lapor, Pak, Tuan Rigi yang terhormat sudah tiba!"
"Persilahkan orang itu masuk, jangan biarkan ia menunggu terlalu lama, Brob!
"Siap, laksanakan!"
"Terima kasih sudah memandu tamu ku, lekas kembali ke posisimu semula!"
Mengetahui lelaki pemilik misai rapih dengan bentuk tubuh atletis  yang menemaninya itu terlalu banyak berbasa-basi, tak syak, membuat geram Rigi. Kepergian Brob amat sangat ditunggu-tunggu oleh pemimpin kepolisian Barbiton itu.  Â
"Silahkan, Tuan Rigi, pimpinan kami menunggu Tuan!"
"Aku bukan Tuanmu, Jongos, enyahlah kau dari hadapanku!" memperlihatkan sorot mata tajam.
Suasana hening menyelimuti ruangan yang baru saja dilanda kisruh---pro-kontra adegan formalitas antara bawahan ke atasan. Virgil bertingkah layaknya barista yang tengah asyik meracik kopi pesanan pelanggan. Melihat rekannya sibuk berkutat dengan alat pembuat kopi, mau tidak mau, Rigi harus menahan emosi sembari menyeka peluh yang keluar dari pori-pori kulit wajahnya. Dan tanpa disuruh, ia lantas menjatuhkan bokongnya di sofa empuk yang berada di sisi meja Virgil.
"Silahkan, Rigi, nikmatilah kopi buatanku!" Virgil memasang wajah senyum saat menyuguhi secangkir kopi kepada Rigi.