Waktu itu, tepat ketika mentari baru merekah di hari Kamis, Elish sengaja mengusirnya dari kantor agar ia tidak bertugas di hari libur mingguan yang sudah terjadwal.Â
"Tuan, apakah Tuan tidak pernah merindukan masa-masa di mana Tuan menikmati libur panjang sekolah?" tanya Elish dengan raut wajah penasaran.
"Emm...ya, libur kenaikan kelas. Tentu saja aku rindu. Mengapa anda berusaha mengembalikan memori masa lalu itu, Nyonya Elish?" sembari mengenyernyitkan dahi.
"Kalau begitu, ada baiknya saya lancang demi mengobati rasa rindu Tuan."
"Apa maksud anda, Nyonya Elish?"
"Silahkan tinggalkan kantor, arahkan pandangan Tuan ke Tanton! Di sana, Tuan akan mendapatkan keindahan Omnipotensia yang sesungguhnya." pinta sekertarisnya.
Petunjuk Elisha membuat kelu lidahnya. Permintaan sang asisten tak dapat dielaknya. Elisha menghendakinya untuk menjamah jaket kulit impor yang tergantung di kapstok belakang pintu, lalu lekas pergi meninggalkan ruangan yang dipenuhi tumpukan berkas catatan kejahatan. Â
Udara pagi saat itu masih layak dihirup oleh warga yang rakus akan oksigen. Situasi masih sangat sepi; belum dipenuhi kendaraan, jejak kaki, hingga suara celotehan manusia. Hanya tampak jejeran gedung, burung lalu lalang di langit, dan ranting-ranting pohon berserakan di sepanjang jalan.
Rigi yang awalnya menolak mengisi waktu libur, anehnya malah larut dalam suasana hatinya sendiri. Ia menyunggingkan senyum saat melihat situasi Barbiton yang kondusif, sonder kriminil. Rasa senang, bangga, dan jumawa melebur menjadi satu. Seketika itu, ia lantas berpikir untuk membusungkan dada di hadapan para pimimpinan kepolisian kota pada rapat tahunan, begitu pula di hadapan sang ayah yang tengah terbaring lemah di rumah sakit. Baginya, tiada lagi hal yang menarik selama di perjalanan, selain pencapaiannya menjaga keamanan Barbiton.
*******
Setelah hampir memakan dua jam dengan berjalan kaki, Rigi akhirnya tiba di kota---yang kata warga Barbiton---paling artistik di Omnipotensia. Ia mendapati deretan gedung-gedung mewah menoleransi keberadaan tembok-tembok kota Tanton yang dipenuhi mural. Karya seni jalanan yang tak pernah Rigi mengerti; arti dari setiap lukisan yang terpampang.