Tantangan Dakwah Al-Azhar di Era Civil Society 5.0Â
Oleh: Amirudin, M.Pd.
Meniti Jalan Dakwah Era Pandemi
Beberapa pengajian di masa pandemi ini dilakukan dengan cara daring atau online. Salah seorang ustaz pun melakukannya. Pengurus DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) menyampaikan bahwa jamaah menginginkan pengajian agar bisa dibuka kembali. Sudah lebih dari satu tahun pengajian ditiadakan, sejak corona merebak. Bahkan Ramadhan yang biasanya semarak dengan pengajian di mana-mana, tahun ini menjadi sepi pengajian. Jamaah merindukan pengajian agar bisa dimulai kembali.Â
Namun pemerintah masih mengharuskan masyarakat untuk social distancing, menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Maka, beberapa masjid besar berinisiatif membuka kembali pengajian dengan cara online atau daring. Mereka menyiapkan device dan perangkat lainnya yang dibutuhkan untuk mensupport pengajian jarak jauh ini. Salah seorang jamaah berseloroh, "Pak Ustaz, tidak hanya Pak Ustaz dan murid sekolah yang PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), kita juga di masjid ini menyelenggarakan PJJ."Â
Lalu ustaz itu bertanya, "Apa maksud PJJ di masjid ini?" Jamaah itu pun menjawab, "PJJ maksudnya Pengajian Jarak Jauh, Pak Ustaz." Ustaz pun tersenyum. Di masa pandemi ini semuanya serba daring, online. Tidak hanya di perkantoran, lembaga sekolah, dan layanan publik yang mengadakan WFH (Work From Home) secara shift, bahkan tukang pijat di tempat ustaz itu ikut-ikutan minta upah urutnya ditransfer saja, tidak cash, biar seperti ustaz juga di masa pandemi, bisyarahnya via rekening. Masya Allah. Tidak terbayang bagaimana jika menmijat atau jasa pijat urut juga dilakukan jarak jauh. Kita memaklumi, di masa pademi covid-19 ini, kita tergolong sebagai kaum rebahan, di sekitar kita pun tidak hanya terpapar virus corona, namun ekonomi rumah tangga kita pun terkapar karena virus ini.
Fenomena pengajian konvensional benar-benar dijungkirbalikkan dengan kenyataan keharusan menjaga jarak, social distancing, sehingga proses pengajian pun harus dilakukan dengan jarak jauh. Para ustaz membuka pengajian dari rumah, memandangi laptop sendirian, mulai bertutur menyampaikan petuah dan nasehat, berharap jamaah paham apa diajarkan.
Dengan diadakannya pengajian jarak jauh, maka keberadaan media menjadi senjata paling ampuh untuk membuat pengajian menjadi menarik. Materi pengajian untuk jamaah yang selama ini disampaikan secara lisan atau diketik menggunakan microsoft word, maka sejak pandemi ini merebak, para ustaz beralih menggunakan paparan microsoft powerpoint (ppt). Para ustaz merasakan tantangan yang berbeda dalam menyajikan pengajian online dibanding tatap muka dan berjumpa menyapa jamaah secara langsung.Â
Tantangan yang dihadapi selain masalah koneksi jaringan, permasalahan lainnya adalah bagaimana cara agar kita tidak ditinggal tidur oleh jamaah nan jauh di sana, sementara kita tidak bisa melihat dengan jelas dan secara langsung kondisi jamaah tersebut untuk menegur dan mengingatkannya, tentu dengan cara yang layak, atau sambil bercanda. Hal ini sangat terasa berbeda ketika pengajian dengan cara tatap muka. Apalagi saat sesi tanya jawab yang semestinya interaktif, namun terkadang terkendala jaringan komunikasi terjeda yang membutuhkan waktu. Demikian pula untuk mengecek kembali pemahaman jamaah, dan mengonfirmasi jawaban kita, apakah sesuai atau belum dengan yang ditanyakan. Kendala-kendala saat sesi jawab ini tetap ada, meski terdapat fasilitas chat dan dibantu host sekali pun.
Beberapa ustaz sering membuat catatan-catatan untuk materi pengajian dan materi tersebut dibagikan kepada jamaah pengajian yang hadir. Mereka ingin memberikan nilai lebih kepada jamaah, berupa makalah atau tulisan yang bisa mereka bawa pulang untuk bahan referensi dan catatan saat dibutuhkan kembali. Metode pengajian di masyarakat yang selama ini berjalan turun temurun adalah ngaji kuping, atau dikenal dengan istilah jiping, yaitu penyampaian materi pengajian yang disampaikn guru ngaji, ustaz atau kiyai, sementara jamaah mendengarkan materi tersebut tanpa membawa kitab atau catatan lainnya.Â
Dampak atau kelanjutan dari pengajian dengan metode seperti ini adalah jider, atau ngaji nyender, yaitu mengaji atau mendengarkan pengajian dengan cara duduk sambil bersandar di dinding masjid atau mushalla. Cara pengajian duduk bersandar di dinding inilah yang akhirnya melahirkan 'metode' pengajian lainnya yaitu yang kita sebut jiler, atau ngaji sambil ngiler, karena tanpa sadar dalam kondisi mengantuk dan tertidur pulas saat mendengarkan taushiyah seorang ustaz atau kiyai. Jadi, jika selama ini kita melihat jamaah pengajian bersimbah air mata saat mendengarkan muhasabah atau doa yang dilantunkan oleh seorang ustaz atau kiyai, maka yang terjadi dalam pengajian 'metode' jider dan jiler ini adalah jamaah bersimbah air liur saat mereka terbuai dalam mimpi indah mereka sendiri, entah apa yang disampaikan oleh sang ustaz atau kiyai mereka. Meskipun seorang ustaz rasa hal ini sah-sah saja bagi mereka untuk tertidur pulas. Toh, inilah mimpi indah rakyat kecil, menikmati hidup mereka, dengan cara menghadiri pengajian sambil melepas lelah penat bekerja seharian. Bukan seperti tidurnya para anggota dewan yang duduk di kursi parlemen sana. Mungkin mereka dahulu sebelum menjadi anggota dewan juga mengikuti pengajian, bahkan mereka hafal ayat kursi. Namun sekarang, mereka hanya hafal 'kursi' semata, sementara ayatnya mereka lupakan. Astaghfirullaahal 'azhiim.
Â
Dakwah Al-Azhar Semangat Mengajak
Kita tidak bisa melupakan bagaimana upaya keras sekolah-sekolah Al-Azhar selama ini sampai yang kita lihat sekarang, sehingga menjadi sekolah yang diminati masyarakat kelas menengah ke atas. Semangat mengajak merupakan fenomena yang paling menonjol dalam kepemimpinan Al-Azhar selama ini. Yang dikedepankan adalah yang penting masyarakat mau masuk terlebih dahulu, kemudian nanti berproses dengan pendidikan. Pendidikan tidak bisa kita analogikan seperti makan cabai. Hari ini, saat ini makan cabai, saat itu juga langsung terasa pedas di lidah.Â
Al-Azhar berusaha mengajak orang agar mau mendekat. Setelah mendekat kemudian mereka mengenal Al-Azhar. Lambat laun minat tersebut akan menjadi daya tarik tersendiri untuk kemudian mengenal Islam lebih dalam. Kesadaran bahwa para konsumen Al-Azhar merasa kurang dalam memenuhi kebutuhan ruhani anak-anak mereka, kemudian disambut dengan ruuh Ad-dakwah (baca: semangat mengajak) oleh sekolah-sekolah Al-Azhar menjadi seolah gayung bersambut. Inilah yang dikedepankan para pendahulu kita, yaitu: bagaimana orang tertarik dulu masuk ke Al-Azhar, baru kemudian dibina.Â
Masyarakat akan mau menyekolahkan anak-anak mereka di Al-Azhar, jika mereka tertarik dahulu, mengenal sekolah kita sebagai sekolah yang ramah terhadap mereka, kalangan menengah ke atas, yang bisa jadi masih awam mengenal Islam. Mereka mengenal sekolah Al-Azhar sebagai sekolah yang bisa menjadi pilihan masa depan pendidikan anak-anak mereka, karena mereka melihat semangat itu (ruuh ad-dakwah) di samping memang nilai jual sekolah Al-Azhar sebagai sekolah Islam yang berkualitas dan modern.
Kisah berikut dapat memberikan gambaran nyata di lapangan bagaimana sosok Buya Hamka yang berperan dalam sejarah nama besar Al-Azhar (nama sebuah masjid pada awal mulanya) menanamkan sejak awal tentang nilai-nilai ruuh Ad-da'wah di Al-Azhar.[1]
Â
Ketika itu ada pengajian reguler di Masjid Agung Al-Azhar, di mana seorang jamaah adalah seorang perempuan muda datang memakai selendang, tapi dengan rok mini. Dia selalu memilih duduk paling depan, sehingga mulai mengundang bisik-bisik sebagian jamaah lain yang merasa terganggu dengan penampilannya.
Â
Jamaah yang terganggu menyampaikan hal itu kepada salah seorang putra Buya, yang menyampaikan lagi kepada ulama besar tersebut ketika mereka di rumah. "Ayah, makin banyak jamaah yang protes ke seorang ustaz tentang cara pakaian ibu X itu. Kenapa ayah tidak tegur?" Buya menjawab, "Kenapa harus ditegur? Dia sudah ikut mengaji sudah baik. Kalau belum apa-apa ditegur, nanti dia menghilang, bagaimana? Kita harus sabar." Pendek kata, Buya Hamka membiarkan cara pakaian jamaah perempuan itu, tanpa menegurnya.
Â
Tak lama kemudian, justru perempuan itu yang datang menghadap ke rumah Buya. Dia menyampaikan rasa terima kasih, sekaligus kekaguman, karena tak pernah ditegur Buya (apalagi di depan umum) soal busananya. "Sebelum ini seorang ustaz selalu ditegur di pengajian lain," ujar perempuan itu seperti diceritakan ulang putra Buya Hamka kepada seorang ustaz beberapa waktu lalu. Perempuan itu juga minta maaf jika atas kebelummengertiannya dia malah merepotkan posisi Buya di mata jamaah lain. "Dan terjadilah keajaiban itu," kenang putra Buya Hamka dengan nada haru. "Pada pengajian berikutnya, ibu X itu sudah berpakaian muslimah seperti jamaah lainnya. Tanpa disuruh Buya sama sekali. Tanpa ditegur."[2]
Â
Â
Menerawang Wajah Ulama Al-Azhar Indonesia Sebagai Agen Perubahan
Â
Ulama berpikir jauh ke depan, bukan terbelenggu ilmu masa lalu, sebab tak banyak orang yang melihat jamaah telah hidup di sebuah peradaban yang berbeda dengan dirinya dahulu. Ulama merupakan ujung tombak dari perubahan. Ulama bermartabat yang telah melalui proses dedikasi dan profesionalisme akan siap menyambut perubahan ini. Metode pengajian harus bisa disesuaikan oleh para ulama demi keterpaduan dengan zaman. Ciri adaptif terhadap zaman yang banyak menuntut adanya generasi jamaah yang mampu mengelola dirinya sendiri, menjadi hal yang mesti dilakoni oleh ulama. Konsekuensinya, paradigma baru akan cara berdakwah yang tidak hanya berkutat pada sistem satu arah perlu dikembangkan. Ulama bisa menjadi mediator bagi jamaah untuk belajar menggali potensi dirinya dalam upaya kontribusi mereka terhadap Islam. Jika selama ini jamaah hanya belajar dengan metode mendengarkan semata, maka nampaknya fenomena ini harus mulai ditinggalkan. Jamaah "berhak" mendapatkan apa yang semestinya menjadi hak dirinya untuk berkembang dalam upaya kontribusi mereka terhadap umat. Renald Kasali dalam bukunya Let's Change, menulis:
Â
"Lewat studinya, The Institute for The Future, University of Phoenix (2012), menemukan, kaum muda akan mengalami usia lanjut yang mengubah peta belajar dan karier. Mereka pensiun di usia 70 tahun, harus terbiasa dalam budaya belajar seumur hidup dan merawat otaknya. Generasi yang terakses jaringan TI bisa lebih cepat dari orangtuanya merencanakan masa depan. Pandangan mereka sama sekali bertentangan dengan celoteh kaum tua di media massa atau suara sumbang yang menentang pembaruan. Ketika ulama kolot yang baru belajar facebook mengagung-agungkan Wikipedia, kaum muda sudah menjelajahi literature terbaru di kampus google."[3] Â
Â
Â
Era Civil Society 5.0 , Sopo sih Sampean?
Â
Konsep Society 5.0 muncul pada tahun 2015 di Jepang dalam inisiatif politik nasional strategis. Society 5.0 mengikuti, sampai batas tertentu, Industri 4.0, dan, sementara Industri 4.0 berfokus pada produksi, Society 5.0 berupaya menempatkan manusia sebagai pusat inovasi. Ini juga memanfaatkan dampak teknologi dan hasil Industri 4.0, dengan pendalaman integrasi teknologi dalam peningkatan kualitas hidup, tanggung jawab sosial dan keberlanjutan.
Â
Menurut Harayama Civil Society 5.0 Â adalah masyarakat informasi yang dibangun di atas Society 4.0, yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat makmur yang berpusat pada manusia" Society 5.0 mengusulkan untuk memajukan potensi hubungan individu dengan teknologi dalam mendorong peningkatan kualitas hidup semua orang melalui masyarakat super pintar (super smart society) dan yang muncul, sebagian , sebagai konsekuensi penerapan konsep Industri 4.0. dan dampaknya.[4]
Â
Society 5.0 menggambarkan bentuk ke-5 dari kemasyarakatan dalam sejarah manusia, mengikuti secara kronologis, masyarakat perburuan (Society 1.0), masyarakat pertanian (Society 2.0), masyarakat industri (Society 3.0), dan masyarakat informasi (Society 4.0). Revolusi Industri keempat menciptakan layanan-layanan dan nilai-nilai baru satu setelah lainnya, mengantarkan pada hidup yang lebih kaya untuk semuanya.
Â
Society 5.0 mencapai derajat yang tinggi dalam konvergensi cyberspace (ruang virtual) dan physical space (ruang nyata). Di masyarakat informasi (Society 4.0) yang lalu, orang-orang akan mengakses sebuah cloud service dalam ruang virtual melalui internet dan kemudian mencari, memperoleh, dan menganalisa informasi atau data.
Â
Dalam Society 5.0, sejumlah besar informasi dari sensor-sensor dalam ruang nyata diakumulasi dalam ruang virtual. Dalam ruang virtual, data yang besar ini akan dianalisa oleh Artificial Intelligence (AI), dan hasil analisis akan diberikan kembali kepada manusia di ruang nyata dalam berbagai bentuk.
Â
Dalam masyarakat informasi yang lalu, praktek umumnya adalah dengan mengumpulkan informasi melalui jaringan dan informasi tersebut dianalisa oleh manusia. Namun, dalam Society 5.0, masyarakat, benda-benda, dan sistem-sistem semuanya dihubungkan dalam ruang virtual dam hasil-hasil yang optimal diperoleh oleh AI, yang mampu melampaui kemampuan manusia, dan akan diberikan kembali ke ruang nyata. Akibatnya, proses ini akan memberikan nilai baru kepada industri dan masyarakat dalam berbagai cara yang sebelumnya mustahil untuk dilakukan.[5]
Â
Â
Â
Kompetensi Ulama Era Civil Society 5.0Â
Â
Di saat era revolusi industri 4.0 belum sepenuhnya dipahami dan disadari masyarakat, pada 2019 Jepang memperkenalkan era masyarakat 5.0 atau super smart society (society 5.0). Era ini sebagai solusi dan respons terhadap revolusi industri 4.0 yang dianggap dapat menimbulkan degradasi manusia. Setelah memasuki era revolusi industri 4.0, negara dan bangsa, siap atau tidak, akan memasuki era society 5.0. Arifin mengatakan era society 5.0 merupakan pembaharuan yang menempatkan manusia sebagai komponen utama di dalamnya, bukan sekadar passive component seperti di revolusi industri 4.0. Adanya pembaharuan pada era tersebut dapat menghasilkan nilai baru dengan elaborasi dan kerja sama pada sistem, informasi dan teknologi juga meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan atau human capital.
Â
Karena itu, menurut Arifin setidaknya harus disiapkan tiga kemampuan utama dalam menghadapi society 5.0. Pertama, kemampuan memecahkan masalah kompleks dan dapat menjadi problem solver bagi dirinya serta orang banyak. Kedua, kemampuan untuk berpikir secara kritis, bukan hanya sekadar dalam kelas namun juga dalam kehidupan kemasyarakatan dan lingkungan sekitar agar timbul kepekaan social. Ketiga, kemampuan untuk berkreasi. "Era society 5.0 dapat dikatakan integrasi ruang maya serta fisik, sehingga semua hal menjadi mudah dengan dilengkapi artificial intelegent," tegasnya. Dalam menghadapi era society 5.0, menurutnya dunia pendidikan berperan penting dalam meningkatkan kualitas SDM. "Kita juga perlu memiliki kesiapan dan kemampuan berpikir Higher Order Thinking Skills (HOTS) untuk menjawab tantangan global era society 5.0. Hal tersebut untuk meminimalisir kesenjangan pola pikir dan orientasi teknologi setiap anak didik, sehingga dapat berintegrasidengan teknologi nantinya," urainya.
Â
Di era society 5.0 masyarakat dituntut untuk lebih cepat menghasilkan solusi dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan. Hal ini berimplikasi pada keharusan untuk terus menggali informasi dan menciptakan inovasi baru guna menunjang kelangsungan hidupnya. "Maka, dapat disimpulkan di era ini kita harus bersikap dan berpikir maju serta mengikuti pola perkembangan zaman, namun tidak lupa dengan identitas bangsa Indonesia," lanjut Arifin.[6]
Â
Ulama sebagaimana guru sebagai pendidik di era society 5.0, harus memiliki keterampilan dibidang digital dan berpikir kreatif. Menurut Zulfikar Alimuddin, Director of Hafecs (Highly Functioning Education Consulting Services) menilai di era masyarakat 5.0 (society 5.0) guru (baca: ulama) dituntut untuk lebih inovatif dan dinamis dalam mengajar di kelas (baca: majlis ilmu).
Â
Oleh karena itu ada tiga hal yang harus dimanfaatkan pendidik atau ulama di era society 5.0. diantaranya Internet of things pada dunia Pendidikan (IoT), Virtual/Augmented reality dalam dunia pendidikan, Pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) dalam dunia pendidikan untuk mengetahui serta mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran yang dibutuhkan oleh pelajar (baca: jamaah).
Â
"Pendidik atau ulama juga harus memiliki kecakapan hidup abad 21 yaitu memiliki kemampuan leadership, digital literacy, communication, emotional intelligence, entrepreneurship, global citizenship, team working dan problem solving. Fokus keahlian bidang pendidikan abad 21 saat ini dikenal dengan 4C yang meliputi creativity, critical thinking, communication dan collaboration," tambahnya.
Â
Tenaga pendidik (baca: ulama) di abad society 5.0 ini harus menjadi guru penggerak yang mengutamakan murid (jamaah) dibandingkan dirinya, inisiatif untuk melakukan perubahan pada muridnya, mengambil tindakan tanpa disuruh, terus berinovasi serta keberpihakan kepada murid (jamaah).
Â
"Akan tetapi dengan adanya perubahan ini banyak yang mempertanyakan apakah peran guru atau ulama dapat tergantikan oleh teknologi? Ternyata tidak. Â Ada peran guru atau ulama yang tidak terdapat pada teknologi di antaranya interaksi secara langsung di kelas (majlis ilmu), ikatan emosional guru atau ulama dan siswa (jamaah), penanaman karakter dan modeling/teladan guru atau ulama," pungkasnya.[7]
Â
Â
Â
Materi Ajar Dakwah Era Civil Society 5.0 Â
Â
Era Society 5.0 dalam dunia pendidikan menekankan pada pendidikan karakter, moral, dan keteladanan. Hal ini dikarenakan ilmu yang dimiliki dapat digantikan oleh teknologi sedangkan penerapan soft skill maupun hard skill yang dimiliki tiap peserta didik (jamaah) tidak dapat digantikan oleh teknologi. Dalam hal ini diperlukan kesiapan dalam hal pendidikan berbasis kompetensi, pemahaman dan pemanfaatan IoT (Internet of Things), pemanfaatan virtual atau augmented reality dan penggunaan serta pemanfaatan AI (Artifical Intelligence). Di sinilah letak kolaborasi antara guru (ulama) dan siswa (jamaah) dalam proses pembelajaran. Dengan proses kolaborasi ini diharapkan mampu mengakhiri kemarau panjang sistem pembelajaran yang selama ini masih teacher-(ustaz) sentris.
Â
Sekalipun model pembelajaran era society 5.0 bukan teacher (ustaz) sentries, namun fungsi guru (ulama) tetap menjadi fungsi utama sebagai penggerak konsep kolaborasi tersebut. Maka ada tiga hal yang harus dimanfaatkan oleh guru (ulama) di era society 5.0 seperti yang telah dijelaskan di atas diantaranya Internet of Things pada dunia pendidikan (IoT), Virtual/Augmented Reality dalam dunia pendidikan, Pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) yang bisa digunakan untuk membantu mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran yang dibutuhkan oleh guru dan peserta didik tentunya. Selain ketiga hal tersebut, guru juga harus memiliki kecakapan dan memiliki kemampuan leadership, digital literacy, communication, entrepreneurship, dan problem solving.
Â
Semua kriteria dan kompetensi yang disebutkan di atas menjadi tantangan bagi guru-guru (ulama) kita dan pemerintah untuk menyiapkan secara matang, sistematik dan terukur terhadap pola pembelajaran (pengajian) masa depan yang ramah dan relevan dengan era society 5.0.[8]
Â
Materi dakwah era Civil Society 5.0 Â berupa penguatan pendidikan karakter merupakan tradisi pengajaran warisan leluhur para orang tua dan ulama kita terdahulu. Warisan wisdom tersebut dapat kita temukan dalam bentuk nilai-nilai yang secara turun menurun kita dapatkan melalui petuah para orang tua dan ulama. Materi dakwah berupa warisan budaya leluhur kita yang beririsan dengan syariat perlu dipertimbangkan menjadi alternatif di era Civil Society 5.0 . Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, K.H. M. Yusuf Hasyim (1929-2007), bertutur, "Apabila kamu sudah terjun di masyarakat, maka jangan sekali-kali kamu mengandalkan kepandaianmu, sebab suatu saat akan datang orang yang lebih pandai daripada kamu. Jangan pula kamu mengandalkan hartamu, sebab suatu saat akan datang orang yang lebih kaya daripada kamu. Tetapi andalkanlah kepercayaan masyarakat yang telah diberikan kepada kamu."[9]
Â
Bersikap amanah dalam menjaga kepercayaan masyarakat merupakan contoh konkret penerapan pendidikan karakter dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Kunci keberhasilan hidup di mana pun berada, baik dalam dunia kerja profesional maupun peran di masyarakat terletak pada trust atau amanah orang lain terhadap diri kita. Kepercayaan masyarakat tidak serta merta diraih dengan mudah layaknya membalikkan telapak tangan. Membutuhkan waktu yang panjang untuk menghadirkan kepercayaan masyarakat. Mereka melihat sejauh mana komitmen, kejujuran, kerja keras, kesungguhan, dan keteguhan hati kita dalam meluangkan waktu untuk membimbing, mendampingi, mendidik, mengajar, mengarahkan, dan melatih mereka.
Â
Menurut Nanang Qosim Yusuf , "Orang sukses adalah orang biasa-biasa saja, tapi punya keteguhan hati luar biasa." Kalau anda memaknai kata-kata ini, berarti perbedaan kita secara fisik hampir dikatakan tidak ada. Kita sama-sama makan nasi dan sama-sama butuh air. Yang kita makan untuk badan hampir sama, tetapi yang hati kita makan belum tentu sama. Orang sukses bukan orang yang tingginya 5 meter atau berat badannya 300 kg atau orang yang wajahnya mulus tanpa cela, atau yang rambutnya hitam bercahaya. Ukurannya bukan hanya itu, tetapi kesuksesan seseorang diukur dari kualitas hatinya. Mungkin secara fisik dia hampir sama seperti orang kebanyakan, tetapi hatinya penuh dengan pintu maaf, pintu senyum, pintu damai, pintu ketenangan, dan pintu kesabaran yang sangat luar biasa. Di dalam pintu-pintu itulah Tuhan selalu berbicara, selalu muncul, sebagai sahabat, dan selalu hadir di saat Anda dalam keadaan terjepit.[10]
Â
Dengan demikian karakter tidak hanya berkutat pada permasalahan tatakrama dan kesopanan semata, atau yang kita kenal dengan karakter moral atau etika, namun ia juga harus melampaui karakter kinerja profesional seperti trust (baca: amanah), bekerja keras, displin, tepat waktu, dan dapat diandalkan, sehingga akhirnya kita dipercaya pasar atau masyarakat.
Â
Ustaz Yusuf Mansur menulis dalam bukunya Surat Terbuka untuk Para Ayah dan Ibu: "Terngiang ucapan ibunda: "Ibu tidak butuh anak yang pinter doangan. Ibu lebih butuh anak yang bisa doain ibu, yang sering nengokin ibu, yang bisa inget ibu di kala hidup maupun di kala mati. Ibu lebih ga butuh lagi anak yang pinter, tapi sombong. Sombong sama ibu, sombong sama sodara, apalagi sombong sama Allah. Dipanggil ama ibu engga nyahut, dipanggil sama Allah juga ga nyahut. Punya kuping kayak ga punya kuping.""[11] Ajaran ibunda Ustaz Yusuf Mansur mengingatkan agar kita tidak hanya mementingkan kepintaran, kecerdasan, sementara kita melupakan nurani, budi pekerti, dan sikap sosial.Â
Â
Konsep materi ajar Dakwah era Civil Society 5.0 Â yang menekankan pada pendidikan karakter, moral, dan keteladanan sesuai dengan arah kebijakan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal ini senafas dengan semangat ruhiyah tujuan, ghayah atau goal pendidikan dalam Islam menurut al-Ghazali. Pendidikan menurut al-Ghazali merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan secara sistematis untuk melahirkan perubahan yang progresif pada tingkah laku manusia. Dalam pandangan al-Ghazali, sentral dalam pendidikan adalah hati, sebab hati merupakan esensi dari manusia karena substansi manusia bukanlah terletak pada unsur-unsur yang ada pada fisiknya, melainkan berada pada hatinya dan memandang manusia bersifat teosentris sehingga konsep tentang pendidikannya lebih diarahkan pada pembentukan akhlak yang mulia.
Â
Konsep pendidikan al-Ghazali dapat diketahui dengan cara memahami pemikirannya berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan yaitu tujuan pendidikan, kurikulum, etika guru dan murid, serta metode pembelajaran. Konsep pendidikan yang dicetuskan oleh Imam al-Ghazali sangat relevan dengan sistem pendidikan di Indonesia yang ditinjau dari tujuan pendidikan, konsep pendidik dan peserta didik, metode pembelajaran, serta kurikulum yang diterapkan saat ini khususnya pendidikan karakter, di mana pada tataran aplikasi sangat mengedepankan pada aspek pengembangan intelektual, moral, dan spiritual sehingga mampu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[12]
Â
Â
Â
Sinergi Seluruh Potensi Al-Azhar Menghadapi Era Civil Society 5.0Â
Â
Pada pekan terakhir bulan Oktober tahun 2020, tepatnya pada hari Senin (26/10), telah dilakukan Kesepakatan Bersama Sinergi Program Direktorat Dakwah dan Sosial (Dirdaksos), dan Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirdikdasmen) dan Inspektorat YPI Al Azhar. Penandatangan Kesepakatan Bersama Sinergi Program ketiga sektor tersebut di gelar di Aula Buya Hamka, disaksikan secara virtual oleh tidak kurang dari 150 kepala sekolah Islam Al Azhar dan perwakiln LAZWAF BMT Al Azhar se-Indonesia.
Â
Dalam kata sambutannya, Ketua Umum YPI Al Azhar, Bapak H. Sobirin, HS., menyampaikan bahwa salah satu program Pengurus YPI Al Azhar adalah mengusahakan subsidi biaya untuk kegiatan pendidikan, dakwah, dan sosial dengan melibatkan komunitas Al Azhar. Untuk merealisasikan program tersebut maka semangat yang bangun oleh pengurus adalah meningkatkan Pendidikan Dasar, Menengah, dan Pendidikan Tinggi dengan meningkatkan peran dakwah dan sosial YPI Al Azhar. Demikianlah, sehingga penandatanganan Kesepakatan Kerjasama Sinergi Program antara Dirdaksos, Dirdikdasmen, dan Inspektorat memiliki posisi yang sangat strategis.
Â
Selanjutnya adalah bagaimana sekolah dapat mengidentifikasi program sekolah sehingga dapat disinergikan dengan program kegiatan dakwah dan sosial. Demikian pula sebaliknya, unit-unit di bawah Direktorat Dakwah dan Sosial mensinergikan programnya sesuai sesuai dengan kebutuhan pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Penandatanganan Kesepakatan Bersama Sinergi Program Dirdaksos, Dirdikdasmen, dan Inspektorat YPI Al Azhar diharapkan terwujudnya kinerja efektif dan efisien dalam mencapai cita-cita bersama yaitu terwujudnya Izul Islam wal Muslimin.[13]
Â
Langkah tersebut dapat menjadi tonggak sejarah babak baru tata kelola organ al-azhar dalam menghadapi era Civil Society 5.0 . Kebijakan ini diharapkan dapat menutup celah ruang keterbatasan pada masing-masing direktorat sehingga tantangan dakwah era Civil Society 5.0 Â dapat kita antisipasi dengan kekuatan kolaborasi kekuatan dan kelebihan antar lintas lini direktorat bersama, semoga. Wallalu a'lam bish-shawab.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI