Â
Bersikap amanah dalam menjaga kepercayaan masyarakat merupakan contoh konkret penerapan pendidikan karakter dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Kunci keberhasilan hidup di mana pun berada, baik dalam dunia kerja profesional maupun peran di masyarakat terletak pada trust atau amanah orang lain terhadap diri kita. Kepercayaan masyarakat tidak serta merta diraih dengan mudah layaknya membalikkan telapak tangan. Membutuhkan waktu yang panjang untuk menghadirkan kepercayaan masyarakat. Mereka melihat sejauh mana komitmen, kejujuran, kerja keras, kesungguhan, dan keteguhan hati kita dalam meluangkan waktu untuk membimbing, mendampingi, mendidik, mengajar, mengarahkan, dan melatih mereka.
Â
Menurut Nanang Qosim Yusuf , "Orang sukses adalah orang biasa-biasa saja, tapi punya keteguhan hati luar biasa." Kalau anda memaknai kata-kata ini, berarti perbedaan kita secara fisik hampir dikatakan tidak ada. Kita sama-sama makan nasi dan sama-sama butuh air. Yang kita makan untuk badan hampir sama, tetapi yang hati kita makan belum tentu sama. Orang sukses bukan orang yang tingginya 5 meter atau berat badannya 300 kg atau orang yang wajahnya mulus tanpa cela, atau yang rambutnya hitam bercahaya. Ukurannya bukan hanya itu, tetapi kesuksesan seseorang diukur dari kualitas hatinya. Mungkin secara fisik dia hampir sama seperti orang kebanyakan, tetapi hatinya penuh dengan pintu maaf, pintu senyum, pintu damai, pintu ketenangan, dan pintu kesabaran yang sangat luar biasa. Di dalam pintu-pintu itulah Tuhan selalu berbicara, selalu muncul, sebagai sahabat, dan selalu hadir di saat Anda dalam keadaan terjepit.[10]
Â
Dengan demikian karakter tidak hanya berkutat pada permasalahan tatakrama dan kesopanan semata, atau yang kita kenal dengan karakter moral atau etika, namun ia juga harus melampaui karakter kinerja profesional seperti trust (baca: amanah), bekerja keras, displin, tepat waktu, dan dapat diandalkan, sehingga akhirnya kita dipercaya pasar atau masyarakat.
Â
Ustaz Yusuf Mansur menulis dalam bukunya Surat Terbuka untuk Para Ayah dan Ibu: "Terngiang ucapan ibunda: "Ibu tidak butuh anak yang pinter doangan. Ibu lebih butuh anak yang bisa doain ibu, yang sering nengokin ibu, yang bisa inget ibu di kala hidup maupun di kala mati. Ibu lebih ga butuh lagi anak yang pinter, tapi sombong. Sombong sama ibu, sombong sama sodara, apalagi sombong sama Allah. Dipanggil ama ibu engga nyahut, dipanggil sama Allah juga ga nyahut. Punya kuping kayak ga punya kuping.""[11] Ajaran ibunda Ustaz Yusuf Mansur mengingatkan agar kita tidak hanya mementingkan kepintaran, kecerdasan, sementara kita melupakan nurani, budi pekerti, dan sikap sosial.Â
Â
Konsep materi ajar Dakwah era Civil Society 5.0 Â yang menekankan pada pendidikan karakter, moral, dan keteladanan sesuai dengan arah kebijakan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal ini senafas dengan semangat ruhiyah tujuan, ghayah atau goal pendidikan dalam Islam menurut al-Ghazali. Pendidikan menurut al-Ghazali merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan secara sistematis untuk melahirkan perubahan yang progresif pada tingkah laku manusia. Dalam pandangan al-Ghazali, sentral dalam pendidikan adalah hati, sebab hati merupakan esensi dari manusia karena substansi manusia bukanlah terletak pada unsur-unsur yang ada pada fisiknya, melainkan berada pada hatinya dan memandang manusia bersifat teosentris sehingga konsep tentang pendidikannya lebih diarahkan pada pembentukan akhlak yang mulia.
Â