Ratusan halaman tersebut bersumber dari catatan puluhan tahun yang dihimpun dengan kecintaan, kesabaran, kejujuran dan terkadang diselingi titik air mata.Â
Hamparan catatan dan dokumentasi yang merekam kejadian penting, pertautan silsilah yang rumit dan tersampaikan kepada generasi hari ini melalui jalan yang juga berliku.
Tentang HANUA SINJAI sendiri, terus terang saya sendiri pun baru membaca sampai bab awal yang menjelaskan tentang toponimi Sinjai.Â
Tapi bahkan ketika baru sampai pada bab ini pun, kekaguman muncul mengikuti baris demi baris penjelasan tentang asal-usul nama tersebut.Â
Bukan seperti penjelasan yang umum kita jumpai yang lebih banyak menggunakan pembuka "konon", asal-usul nama SINJAI diuraikan bersandar pada naskah-naskah kuno maupun dokumentasi kolonial sehingga kita mendapat penjelasan komprehensif yang rasanya sulit untuk dibantah.
Sebenarnya bagian yang menyita pemikiran adalah di Kata Pengantar.
Alih-alih hanya berisi ungkapan terima kasih kepada para pihak yang membantu dan mendukung penerbitan buku tersebut, bagian ini juga merekam suka-duka, pahit-getir dan ragam pernik yang mengiringi perjalanan mengumpulkan informasi, menguji validitas sumber sejarah dan menyusun rangkaian yang runut dari ragam sumber yang ada.
Di tahap ini lah pergulatan intelektualitas berbenturan dan terkadang berkelindan dengan nafsu kekuasaan dan sentimen primordial.
Mengambil analogi tentang praktik konservasi bangunan tua warisan sejarah, Edward Hobson (2004) dalam Conservation and Planning, Changing Values and Practices menyebutkan bahwa konservasi hanya satu cara dalam berurusan dengan struktur bersejarah.Â