Sikap budaya hari ini itulah yang mengiringi perjalanan penulisan HANUA SINJAI ini dalam menyusun untaian data dan fakta. Jangan lupa juga bahwa pemilik naskah kuno sering membungkus kepemilikan naskahnya dalam ragam kepentingan.Â
Ketika kepemilikan dimaknai sebagai kepemilikan makna pesan sampai hari ini, maka yang muncul adalah proteksi terhadap kelompok lain yang potensial mengganggu kemapanan pemegang naskah.Â
Ketika kepemilikan berkelindan dengan keinginan menguasai manfaat di masa depan maka proteksi muncul dalam bentuk pencarian peminat dengan tawaran tertinggi, baik berbentuk materi maupun pemanfaatan symbol hari ini dan seterusnya.
Tentu tidak sepenuhnya salah sikap protektif semacam itu.
Karena menulis sejarah hari ini, sebagaimana praktik konservasi sebagaimana disitir dalam buku Hobson di atas, merupakan negosiasi antara memori masa lalu, penafsiran hari ini dan ekspektasi di masa depan yang semuanya berlangsung dalam lini masa yang sambung-menyambung.Â
Tempatkan para pihak yang berkepentingan, atau merasa berkepentingan, dalam pusaran itu maka kita akan memperoleh gambaran aktor dan struktur sosial yang ada sebagaimana dialektika yang digambarkan oleh Karl Marx ketika berbicara materialism historis.
Penulis yakin kondisi semacam itu bukan hanya berlaku di Sinjai melainkan terjadi hampir di semua daerah di negeri tercinta ini.Â
Keinginan untuk memperteguh eksistensi kesejarahan lokal ditunggangi oleh ragam kepentingan merupakan kondisi yang hanya akan bisa disaring oleh literasi sejarah yang memadai.Â
Sayangnya di banyak daerah tuntutan akademis untuk mendapatkan sumber sejarah yang memadai sering masih menjadi impian.
SINJAI beruntung memiliki sumber sejarah yang cukup melimpah dari lingkungan budaya dan masyarakat yang menghargai aktifitas pencatatan.Â
SINJAI juga beruntung disinggahi oleh seorang Guru Penggerak yang mampu mengubah tumpukan dokumen kuno menjadi permata yang bernilai.Â