Oleh Amidi
Penyakit ekonomi kemiskinan, sepertinya tak akan sembuh manakala dalam mengentaskannya tidak menelisik kondisi lapangan, atau tidak mencermati kondisi yang sebenarnya.
Bagi pihak yang berwenang, menangani persoalan yang satu ini terkadang berlomba-lomba menyatakan bahwa di daerah mereka nyaris tidak terdapat masyarakat miskin, angka kemiskinan dikatakan terus menurun dan justru mereka menolak bila daerahnya dinyatakan banyak masyarakat miskin.
Jika diminta memberi pernyataan tentang jumlah masyarakat yang masih tergolong miskin, hampir semua akan memberikan pernyataan bahwa jumlah masyarakat yang tergolong miskin yang ada sedikit bahkan kalau bisa dikatakan jumlahnya sekecil mungkin.
Namun, bila dikatakan akan ada program bantuan untuk masyarakat miskin, dapat dipastikan, semua-nya pada mengaku miskin agar mendapatkan bantuan tersebut.
Biarkan Apa Adanya.
Idelanya data atau keadaan "kemiskinan" pada suatu daerah, selain berpedoman pada data skunder, harus berpedoman juga pada data primer dan atau fakta di lapangan, karena akan diperoleh suatu gambaran kemiskinan secara utuh. Ini penting agar dalam mengentaskan kemiskinan tidak bias, dan tidak salah mengambil kebijakan.
Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah senantiasa memperbaharui batasan atau indikator kemiskinan itu sendiri. Bisa saja indikator yang sudah ditetapkan tersebut sudah usang atau sudah tidak relevan lagi dengan kondisi yang sebenarnya.
Selanjutnya, tidak salah bila kita mengacu dan atau menyesuaikan dengan indikator yang ditetapkan oleh lembaga penelitian dan atau lembaga yang berkompeten, yang memberikan batasan atau indikator kemiskinan tersebut. Mungkin, hanya perlu disesuaikan dengan kondisi negeri ini atau daerah ini saja.
Kemiskinan yang sering kita angkat tersebut lebih pada kemiskinan absolut, yakni kemiskinan dengan pendekatan tingkat pendapatan rumah tangga yang berada dibawah tingkat tertentu. Padahal kemiskinan bisa dilihat dari berbagai dimensi, ada kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, ada kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural dan bisa dilihat dari dimensi lainnya.
Apalagi bila dihubungkan dengan adanya fenomena masyarakat kelas menengah dan bawah "makan tabungan" serta turunnya daya beli (puchasing power), bisa saja kemiskinan riil justru terus bertambah?
Sehubungan dengan itu, Faisal Basri menyitir bahwa hampir separuh penduduk Indonesia tergolong penduduk miskin, miskin ekstrem, miskin, nyaris miskin, dan rentan miskin. (Kompas.com, 1 April 2024)
Jangan jadikan Objek Program.
Masyarakat miskin, di negeri ini belum sepenuhnya dapat keluar dari penderitaannya. Berbagai program yang sudah di buat dan kita laksanakan untuk mendorong mereka keluar dari "cengkraman" kemiskinan.
Ada program Corporate Social Responsibility (CSR), ada program bantuan sosial, ada program bantuan langsung tunai (BLT), ada program bantuan ini dan itu, ada program pembinaan, ada program penelitian, ada program pengabdian kepada masyarakat miskin, dan berbagai program dan atau kegiatan yang sudah kita lakukan dan akan kita lakukan.
Maaf, memang kita sangat antusias dalam membahas persoalan yang satu ini, namun pembahasan yang kita lakukan lebih berorientasi pada masyarakat miskisn yang kita jadikan objek, mereka dijadikan objek pembahasan, mereka kita angkat dalam seminar, lokakarya, diskusi, dan sebaginya dengan topik pembahasan sekitar pengentasan kemiskinan dan masyarakat miskin.
Maaf, terkadang hasil seminar, lokakarya, diskusi dan sebagainya itu menghasilkan suatu rumusan yang "luar biasa". Namun, dalam kenyataannya, program demi program, langkah demi langkah, strategi demi strategi yang kita lakukan, nyatanya mereka masih tetap berkutat dalam kemiskinan.Â
Program dan apa pun namanya yang kita lakukan, terkadang hanya dapat meredam penderitaan mereka sesaat, tidak lama kemudian mereka tetap berkutat dengan penderitaannya.
Langkah Harus Dilakukan.
Pengentasan kemiskinan masih perlu dilakukan, pihak yang berwenang (eksekutif dan legeslatif) harus saling bahu membahu mencarikan "obat" atau "jalan keluar" atas penyakit ekonomi atau persoalan yang satu ini.
Berbagai upaya sudah kita lakukan, namun tidak salah bila upaya dan atau program tersebut tetap kita lanjutkan sembari berbenah agar semua itu efektif.
Perlu adanya bantuan kepada masyarakat miskin yang melakoni pekerjaannya sebagai petani kecil, dan petani penggarap yang tidak punya lahan, yakni berupa bantuan lahan milik pemerintah yang bisa untuk bercocok tanam, begitu juga dengan bantuan bibit dan pupuk.
Namun, untuk bantuan bibit dan pupuk ini, harus hari-hati. Bisa saja bantuan yang akan kita berikan kepada petani tersebut tidak tepat sasarannya. Misalnya bantuan bibit dan pupuk tersebut kita berikan sudah melewati musim atau tidak tetapt waktu dan sasaran.
Jika ini yang terjadi, maka bibit memang tetap diterima petani, namun tidak untuk ditanam, tetapi bibit mereka simpan atau bisa saja mereka jual. Misalnya bibit jagung, karena sudah melewati musim, maka bibit jagung tersebut mereka simpan saja atau bisa saja mereka jual.
BLT, sebenarnya masih bisa dilanjutkan asal efektif. Mulai dari proses penetapan siapa yang akan menerima bantuan, sampai pada bantuan akan diserahkan dan digunakan, semua harus berjalan sesuai dengan harapan, dan atau harus sesuai dengan tujuan yang sudah digariskan dalam program tersebut.
Bagi saudara kita yang kelebihan rezeki, sedapat mungkin kita dorong dan diharapkan dengan kesadaran mereka yang tinggi, untuk berbagi, melakukan kegiatan filantrofi, mereflesikan sifat kedermawanan-nya kepada masyarakat miskin tersebut.
Kemudian program CSR yang merupakan kewajiban bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan non BUMN yang merasa mampu memberikan bantuan, bisa dilanjutkan. Hanya perlu pembenahan disana sini saja, agar CSR berjalan dengan baik, merata dan tidak tumpang tindih.
Dalam agama Islam dan mungkin agama lainnya, bagi umat diwajibkan untuk berbagi, mengeluarkan sebagian rezeki, uang dan atau barang yang mereka miliki. Potensi berbagi ini luar biasa, dalam agama Islam potensi berbagi ini mencapai ratusan triliun rupiah, baru terealiasai hanya sekitar 10 persen saja. Suatu potensi yang luar bisa, bukan?
Bantuan sarana dan prasana serta modal kepada masyarakat miskin yang melakoni bisnis skala kecil-kecilan harus tetap dilakukan dan ditingkatkan. Jika kita mengandalkan persyaratan yang diminta lembaga keuangan (bank), dapat dipastikan mereka tidak dapat memenuhinya. Untuk itu harus ada penjamin, penjaminnya yang lebih memungkinkan adalah pemerintah.
Selanjutnya, dalam mengentaskan kemiskinan ini, bisa juga dilakukan bantuan akses pasar dan bantuan manajemen kepada masyarakat miskin yang melakoni bisnis skala kecil-kecilan, seperti warung mini, penjual sayur, pedagang Kaki Lima, pedagang asongan dan lainnya.
Mereka membutuhkan sentuhan tangan dan pemikiran serta kekuasaan kita, agar mereka dapat seluas-luasnya bisa mengakses pasar. Kita tahu saat ini mereka mulai tergerus oleh pelaku bisnis skala besar, ditambah lagi pelaku bisnis tersebut yang seakan-akan membatasi ruang gerak mereka.
Pelaku bisnis skala besar terkadang bebas membuka (jam buka-tutup) operasional unit bisnisnya, padahal untuk memberi kesempatan kepada pelaku bisnis skala kecil-kecilan tersebut dalam memburu konsumen, sebaiknya diberlakukan dengan ketat jam buka dan tutup pada waktu yang sudah ditetapkan.
Untuk itu tidak salah, jika kita kembali menertibkan jam buka-tutup pada mereka, agar pelaku bisnis skala kecil-kecilan yang dilakoni masyarakat yang tergolong miskin, yang menggelar barang dagangannya hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tersebut dapat bertahan.
Kemudian, bagi pekerja yang mempekerjakan karyawan atau buruh, selayaknyalah memberikan gaji/upah sesuai dengan ketentuan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang telah digariskan, kalaupun belum dapat, komunikasikan kepada pekerja, agar terjalin hubungan industrial Pancasila antara pemberi kerja dan pekerja. Untuk itu, agar pemberi kerja atau pelaku bisnis dapat membayar sesuai UMP tersebut, mereka juga harus dibantu dan tidak dibebani ini dan itu.
Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah bagiamana mendorong masyarakat miskin agar bisa mandiri. Agar tercipta kesadaran dikalangan mereka, sehingga mereka sekuat tenaga mau merubah nasib dengan kerja keras. Dengan demikian, mereka akan memperoleh pendapatan/penghasilan yang akan membawah mereka keluar dari lingkaran kemiskinan. Semoaga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H