Oleh Amidi
Â
Penyakit ekonomi kemiskinan, sepertinya tak akan sembuh manakalah dalam mengentaskannya tidak menelisik kondisi lapangan, atau tidak mencermati kondisi yang sebenarnya.
Bagi pihak yang berwenang, menangani persoalan yang satu ini, terkadang berlomba-lomba menyatakan bahwa di daerah mereka nyaris tidak terdapat masyarakat miskin,  angka kemiskinan dikatakan terus menurun, dan justru mereka  menolak  bila daerah-nya dinyatakan banyak  masyarakat miskin.
 Jika diminta, memberi pernyataan  tentang jumlah masyarakat yang masih tergolong miskin, hampir semua akan memeberikan  pernyataan bahwa  jumlah masyarakat yang tergolong miskin yang ada sedikit bahkan kalau  bisa dikatakan  jumlahnya sekecil mungkin.
Namun, bila dikatakan akan ada program bantuan untuk masyarakat miskin, dapat dipastikan, semua-nya pada mengaku miskin, agar mendapatkan bantuan tersebut.
Biarkan Apa Adanya.
Idelanya, data  atau keadaan "kemiskinan" pada suatu daerah, selain berpedoman pada data skunder,  harus berpedoman juga pada  data primer,  dan atau fakta di lapangan, karena akan diperoleh suatu gambaran  kemiskinan secara utuh. Ini penting agar dalam  mengentaskan kemiskinan tidak bias, dan tidak salah mengambil kebijakan.    Â
Kemudian, yang tidak kalah petingnya adalah senantiasa memperbaharui batasan atau indikator  kemiskinan itu sendiri. Bisa saja indikator yang sudah ditetapkan tersebut sudah usang atau sudah tidak relevan lagi dengan kondisi  yang sebenarnya.
Selanjutnya,  tidak salah  bila kita mengacu dan atau menyesuaikan dengan  indikator yang ditetapkan oleh lembaga penelitian dan atau lembaga yang berkompeten, yang memberikan batasan atau indikator kemiskinan tersebut. Mungkin, hanya perlu disesuaikan dengan kondisi negeri ini atau daerah ini saja.