“Nama Anda juga.” sahutku.
Kita masih saling pandang. Dia tersenyum.
“Dia cinta pertama saya,” lanjutnya.
“Sama,” jawabku lagi. Mesin pendeteksi detak jantungku berderu cepat. Berbeda dengan mesinnya, irama jantungnya mulai melemah.
“Benarkah?” tanyanya lembut. Dia memejam pelan, tapi masih tersenyum.
“Ya, bahkan masih hingga saat ini.”
Kembali dia terkekeh, tapi matanya masih terpejam.
“Sudah tak usah tertawa, nanti darahmu keluar lagi.”
“Tak apa, barusan itu bukan darah,”
“Lalu?”
“Itu cinta yang terpendam sejak lama.”
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!