Aku tersadar. Mataku terbuka pelan-pelan. Berat sekali. Ini dimana? Semua ruangan serba putih. Selang infus menancap di tangan kiriku. Dan juga beberapa selang yang mirip kabel semrawut di beberapa bagian tubuhku. Kudengar bunyi alat pendeteksi detak jantung. Benar saja, itu detak jantungku. Aku bersyukur, seorang kakek berusia 70 tahun ini masih diberi kesempatan hidup. Kutengok ke samping kiri, Nadya, putri sulungku tertidur dengan kepala menyandar di ranjang. Ah iya, aku ingat sekarang. Penyakit kanker hati yang sudah kronis membuatku tak sadarkan diri beberapa waktu lalu. Dan, tiba-tiba saja aku sudah disini sekarang.
“Selamat pagi.”
Kudengar sapaan ramah dari samping kanan. Kutengok pelan-pelan. Seorang wanita tua sebaya denganku sedang tersenyum di atas ranjangnya. Ruangan ini hanya dipisah oleh korden yang kini terbuka.
“Selamat pagi,” balasku dengan senyum yang berat.
“Selamat datang juga di sini, saya datang dua hari sebelum Anda.”
“Oh, semoga lekas sembuh,” jawabku tanpa ingin meneruskan percakapan. Kepalaku masih berat.
“Saya kanker hati, sama seperti Anda.”
Aku hanya bergumam lirih. Tampaknya dia tipe orang yang banyak bicara.
“itu putri Anda? Wah beruntung mempunyai putri sepertinya, sangatlah baik juga ramah.”
“iya, Anda bersama siapa di sini?” terpaksa aku harus menjawab dan balik bertanya pula.
“Saya belum menikah,” tukasnya, “jadi tak punya anak untuk menemani.”
“Setua ini?” kaget aku dibuatnya. Tak kusadari aku mulai terbawa dengan obrolannya.
“Masih muda, baru 67 tahun.”
Aku tertawa kecil. Lucu juga nenek satu ini. Kudengarkan juga akhirnya kisah hidupnya. Hidup sendirian semenjak orang tuanya meninggal. Saat kutanya mengapa tidak menikah, dia hanya tersenyum sambil menjawab,
“Patah hati.”
“Oh, jadi itu sebabnya kanker?”
“Bisa jadi.”
Aku tersenyum. Jawabannya mengingatkanku pada Dewi. Teman kecilku. Bisa diibilang dia cinta pertamaku. Setelah aku lulus SD, keluargaku pindah ke Jakarta. Bodohnya, aku lupa memberi kabar pada Dewi. Entahlah bagaimana kabarnya sekarang. Masih hidupkah dia? Masih ingatkah dia padaku? Tahi lalat di pelipis kirinya takkan kulupa. Ah aku merasa berdosa.
“Anda patah hati juga?”
Pertanyaannya membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum.
“Rindu,” kujawab seadanya.
Dia terkekeh. Kemudian terbatuk. Darah menetes dari mulutnya. Aku terkejut. Kugoyang tubuh Nadya.
“Ngg..oh ayah sudah bangun?” tanyanya sambil megerjipkan mata. Tak kujawab pertanyaannya. Kuremas kuat bajunya lalu aku menunjuk arah wanita tadi. Nadya kaget.
“Eh, ya Allah Bu Dewi...Susteeer!” teriaknya sambil lari keluar.
Aku tersentak mendengar nama itu. Ah, mungkin hanya kebetulan. Tapi mataku langsung kutujukan pada pelipis kirinya. Tertutup rambut yang sudah memutih.
“Sudahlah, ini biasa saja,” jawabnya tegar.
Aku hanya miris mendengar jawabannya. Sekuat tenaga aku mencoba untuk duduk. Namanya masih menggangguku. Kuraih kotak tisu di meja samping. Kulempar ke pangkuannya. Dia mengusap darah di mulutnya.
“Terima kasih, Anto.”
Lagi-lagi aku terusik. Dari mana dia tahu namaku. Ah, bukankah Nadya sudah mengenalnya? Pasti dia mendengar namaku darinya.
“Sama-sama, Dewi.”
Kini dia mencoba berbaring. Rasanya aku ingin membantunya tapi tak mungkin. Alat-alat rumah sakit ini membatasi gerakanku.
Aku masih terduduk memandanginya. Kuharap rambut putih itu segera menyingkir dari pelipis kirinya. Ternyata, aku masih penasaran. Nadya belum juga datang.
“Nama Anda sama dengan teman masa kecil saya.” katanya terbata-bata.
“Nama Anda juga.” sahutku.
Kita masih saling pandang. Dia tersenyum.
“Dia cinta pertama saya,” lanjutnya.
“Sama,” jawabku lagi. Mesin pendeteksi detak jantungku berderu cepat. Berbeda dengan mesinnya, irama jantungnya mulai melemah.
“Benarkah?” tanyanya lembut. Dia memejam pelan, tapi masih tersenyum.
“Ya, bahkan masih hingga saat ini.”
Kembali dia terkekeh, tapi matanya masih terpejam.
“Sudah tak usah tertawa, nanti darahmu keluar lagi.”
“Tak apa, barusan itu bukan darah,”
“Lalu?”
“Itu cinta yang terpendam sejak lama.”
Kembali bibirnya tersenyum. Nafasnya mendadak naik kemudian turun. Membuat rambut putihnya tersibak dari pelipis kirinya. Dan aku pun melihat tahi lalat di sana. Nada aneh kudengar dari mesin pendeteksi jantungnya. Lurus. Tak berirama lagi.
Gemuruh langkah orang berdatangan. Nadya bersama beberapa suster dan seorang dokter terlihat kalut. Mesin pengejut ditempelkan berkali-kali ke dadanya. Aku berusaha sekuat tenaga kembali berbaring. Kupejamkan mataku. Kubiarkan air mataku mengalir.
Makkah, 2 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H