Kamu menatapku. Lembut sekali. Tetapi kamu tidak mengecup keningku. "Jaga kesehatan!"
Aku hanya mengangguk.
"Rajin-rajin jenguk Ibu, Dik."
Aku mengangguk lagi.
"Aku tidak akan menikah. Seumur hidupku. Sebab secara batin aku telah menikahimu."
Aku tercenung. Tidak ada yang mampu kulakukan selain tergugu di dadamu. Aku tahu kamu juga menangis. Aku tahu itu karena setitik air hangat dari matamu terjatuh ke lenganku. Tetapi aku tahu kamu tidak akan mengubah keputusan untuk pergi, menjauh, menjauh dariku, menjauh sejauh-jauhnya. Kamu kepala batu. Jika sudah A akan selalu A walau apa pun yang terjadi.
Hingga tumpah semua keluhku. "Aku mencoba untuk memahami alasan kepergianmu, tetapi aku tetap tidak mengerti mengapa kamu harus pergi. Aku merasa tersiksa karena mengerti bahwa sebenarnya kamu juga tersiksa. Aku ingin meminta agar kaubatalkan kepergianmu, tetapi kamu orang yang selalu merasa benar dan tidak ada yang perlu dipikirkan ulang. Aku ingin membencimu, tetapi cintaku sangat kuat menahan gelegak benci itu!"
"Kamu akan baik-baik saja," katamu sambil mengelus rambutku.
"Kalimat paling bodoh yang pernah kudengar darimu, Kak."
"Kamu perempuan tangguh, Dik!"
"Dengan cinta yang tanggung?"