"Jangan mengalihkan pembicaraan!"
"Aku suka suaramu kalau sedang merajuk."
"Kampret!" Aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya. "Kamu tidak kangen?"
"Kangen, kok."
"Kamu tidak sayang kepadaku?"
Beberapa jenak kamu habiskan untuk menatap mataku. Tidak menjawab pertanyaanku, tetapi terus menatapku. Aku ingin mendesakmu dengan sebuah pertanyaan lagi, namun aku tahu kamu paling tidak suka didesak-desak. Maka kubiarkan hatiku didesak-desak oleh rasa kesal. Sungguh-sungguh kesal karena tidak mendengar pernyataan sayang darimu.
Dulu aku menyusu di payudara ibumu. Begitu kuasa takdir. Takdir pula yang sekarang menyeret kita ke dalam satu bilik cinta. Menyekap kita dalam bilik itu sehingga kita tidak melihat ada cinta selain di pelukan kita. Lalu sepat masa depan memukul-mukul jantung kita. Â
Menjelang usia lima belas tahun, kamu belum mengatakan apa pun tentang perasaanmu kepadaku. Aku juga tidak ingin menyatakan perasaanku kepadamu. Kamu mulai berani mengecup keningku setiap aku pamit untuk pulang ke rumahku, aku mulai berani menumbuhkan harapan di dadaku bahwa kamu juga menyukaiku.Â
Bukan suka, melainkan cinta.
Aku masih ingat adegan saat pertama kali kaukecup keningku. Saat itu, kita hanya berdua di rumahmu. Sore yang hujan dan ibumu belum pulang dari kantornya. Kamu baru saja bercerita tentang seorang gadis di sekolahmu yang jatuh cinta kepadamu.
Tiba-tiba aku merasa ditikam kenyataan dan berasa sia-sia berada di sini, di rumahmu, di sisimu, dan kukira aku telah membuang-buang waktuku demi mendengarkan cerita menyedihkan dari bibirmu. Aku kesal. Sakit hati. Aku ingin mengumpat, memaki, menjerit, melolong, atau sekadar melarang kamu berdekatan dengan gadis yang mencintaimu itu, tetapi lidahku kelu.