Kamu mengangguk.
"Siapa?"
Kamu menatapku. Lembut sekali. Bibirmu mendarat di keningku. "Kamu!"
Kita akhirnya mengaku saling cinta, tetapi perasaan cinta itu kita sembunyikan rapat-rapat. Tidak seorang pun kita biarkan membaca dan mengetahui perasaan kita. Baik ibumu ataupun ibuku. Baik ayahmu ataupun ayahku.Â
Tetap begitu hingga usia kita memasuki tahun kedua puluh. Tubuhmu makin berisi, tubuhku makin semampai. Rambutmu tetap ikal, rambutku mayang terurai. Matamu setajam mata elang jantan, mataku setenang mata singa betina.
Hingga tiba satu hari ketika kamu berhenti mengecup keningku. Kulihat kamu berusaha menahan diri untuk tidak menggenggam jemariku. Kamu juga mulai menarik diri acapkali kupeluk dari belakang. Kamu tidak berkata apa-apa, tetapi matamu terlalu banyak bicara.
"Ada apa?"
Kamu hanya menggeleng.
"Kamu menderita karena aku?"
Kamu menggeleng lagi.
"Kamu sudah tidak mencintaiku?"