Mohon tunggu...
Amelia Meidyawati
Amelia Meidyawati Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswi Magister Akuntansi Dosen Prof. Dr. Apollo M.Si.Ak. NIM 55520120009 AMELIA MEIDYAWATI Universitas Mercubuana Jakarta

Penggemar Perpajakan yang selalu antusias menyelami ilmu baru... Mahasiswi Magister Akuntansi Dosen Prof. Dr. Apollo M.Si.Ak. NIM 55520120009 AMELIA MEIDYAWATI Universitas Mercubuana Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

TB2_Pajak Internasional Prof. Dr. Apollo M.Si. A.k - Setitik Pemahaman Pajak Internasional dalam Pendekatan Wittgenstein

25 Mei 2022   02:02 Diperbarui: 31 Mei 2022   00:55 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kemajuan peredaran usaha di dunia, pertukaran tidak hanya mesti tentang  informasi namun ditambah dengan pertukaran barang maupun jasa. Kegiatan ekonomi dalam era baru yang membantu manusia dipaksa berkembang dengan berdaptasi maksimal tanpa tuntunan pasti. Melalui perdagangan internasional, negara-negara dapat memenuhi kebutuhan non-produksi sendiri dan mengatasi masalah ekonomi terkait dengan ketersediaan bahan mereka.

Pergesekan ekonomi melahirkan kesempatan bagi tiap negara meneriakan hak atas hasil yang ditimbulkan. Setiap negara memangku kedaulatan atas hak tersebut baik bagi penduduk mereka ataupun penduduk asing. Namun dengan perbedaan sejarah yang berbeda dari tiap-tiap negara menghasilkan prinsip dan peraturan berbeda. Dengan kata lain pajak ganda sudah pasti akan dikeluarkan walaupun hal ini akan menghambat pertumbuhan perekonomian.

Alasan lain adalah bahwa suatu negara yang mengenakan pajak penghasilan atas perdagangan dan investasi memperoleh penghasilan  dari sumber-sumber yang ada di dalam dirinya sendiri di bawah perlindungan surat berharga dan fasilitas. Di sisi lain, alasan atau perdebatan tentang tempat tinggal para pelaku kegiatan perdagangan dan investasi adalah pemungutan pajak penghasilan. Artinya, jika pelaku kegiatan (orang perseorangan dan/atau badan hukum) adalah orang perseorangan atau orang perseorangan atau badan hukum, negara pribadi itu memiliki hubungan dengan mereka. Oleh karena itu,  di  Indonesia, Undang-Undang Pajak Penghasilan secara jelas mengatur bahwa pajak internasional harus diatur. Dengan tidak mengabaikan prinsip keadilan wajib pajak.

Tractatus dan Philosophical Investigations wittgenstein

Dokpri-Tractatus
Dokpri-Tractatus

Bahasa sebagai alat komunikasi yang penting menjadi modal utama dalam pemenuhan maksud peraturan. Konsep dijelaskan dengan makna dan pesan dalam perumusan aturan. Bahasa diperlukan dalam berbagai aspek di kehidupan manusia. Peraturan merupakan ide filosofikal terhadap sesuatu hal dan menjadi persepsi bagi penggunanya. Hal ini menyebabkan sumber interprestasi baru akan sangat beragam.

Friedrich Ludwig Josef Johann Wittgenstein (26 April 1889 - 29 April 1951) adalah seorang filsuf Austria-Inggris yang membahas sesuatu dalam logika, filsafat matematika, filsafat pikiran, dan filsafat bahasa, di antara bidang studi lainnya. Beberapa orang percaya dia adalah filsuf terbesar abad kedua puluh.

Wittgenstein adalah seorang profesor di Universitas Cambridge dari tahun 1929 hingga 1947. Meskipun terkenal, hanya salah satu karya filosofisnya, Logisch-philosophische Abhandlung (1921) setebal 75 halaman, diterbitkan, bersama dengan terjemahan bahasa Inggris, pada tahun 1922 di bawah Judul latin Tractatus Logico-Philosophicus. Selain "Some Remarks on Logical Form," sebuah esai tahun 1929, resensi buku, dan kamus anak-anak, satu-satunya tulisannya yang lain tidak diterbitkan. Secara anumerta, karya besarnya diedit dan dirilis. Seri anumerta ini dimulai dengan buku Investigasi Filosofis tahun 1953, yang paling terkenal. Survei guru universitas dan perguruan tinggi Amerika menyebut Investigasi sebagai buku paling penting dari filsafat abad ke-20, menggambarkannya sebagai "satu-satunya karya agung yang saling silang dalam filsafat abad kedua puluh, menarik di berbagai spesialisasi dan orientasi filosofis".

Pada tahun 1913, ia mewarisi kekayaan dari ayahnya, yang lahir di Wina dari salah satu keluarga terkaya di Eropa. Awalnya, dia memberikan sebagian kekayaannya kepada pelukis dan penulis, tetapi setelah Perang Dunia Pertama, dia mengalami depresi berat dan memutuskan untuk memberikan semuanya kepada saudara-saudaranya. Selain melayani sebagai perwira di garis depan Perang Dunia I, Wittgenstein juga seorang guru di desa-desa terpencil Austria, di mana ia dikritik karena terkadang menggunakan hukuman fisik yang kejam pada anak perempuan dan laki-laki (insiden Haidbauer) selama kelas matematika. Selama Perang Dunia II, ia bekerja sebagai portir rumah sakit di London, di mana ia menyarankan pasien untuk tidak meminum pil yang ditakuti.

Periode awal dan akhir filsafatnya biasanya dibedakan oleh Tractatus dan Philosophical Investigations, masing-masing. Masalah filosofis dijawab oleh "early Wittgenstein" ketika dia menjelaskan logika hubungan antara proposisi dan realitas, menurut "Wittgenstein early". Wittgenstein "later Wittgenstein" tidak setuju, mengklaim bahwa arti kata-kata paling baik dipahami dalam hal bagaimana mereka digunakan dalam konteks.

Tractacus logico Philosophicus adalah karya filosofis yang disajikan dalam deskripsi singkat, padat dan unik. Artinya, ia menggunakan sistem notasi numerik yang menunjukkan prioritas logis dari pernyataan. Hal dasar dari filosofi Tracascus adalah teori citra, yang menjelaskan logika bahasa. Menurut Wittgenstein, esensi bahasa adalah deskripsi logis dari realitas dunia. Hakikat dunia adalah kumpulan fakta, bukan benda, dunia terbagi menjadi fakta. Fakta adalah situasi, adanya peristiwa.

Periode pertama pemikiran Wittgenstein ini sangat mempengaruhi sekelompok ilmuwan positif yang berbasis di Wina, yang dikelan dengan positivisme logis. Teori citra dan logika linguistik masih menjadi dasar bagi prinsip-prinsip verifikasi ilmiah yang berpengaruh di seluruh dunia.

Fase kedua pemikiran Wittgenstein, penelitian filosofis, didasarkan pada bahasa sehari-hari masyarakat, bukan pada logika bahasa. Wittgenstein didasarkan pada bahasa ideal yang memenuhi persyaratan logika di era pertama, sedangkan ide-ide era kedua didasarkan pada berbagai bahasa sehari-hari. Dalam pemikiran kedua, ia mengenali kelemahan konsep pertama dan mempraktikkan kritik, yang bersikeras pada perumusan pemikiran yang sistematis.

Inti dalam periode pemikiran kedua Wittgenstein adalah "permainan bahasa". Hakikat bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai konteks kehidupan manusia. Oleh karena itu, banyak permainan bahasa yang sifatnya dinamis dan tidak terbatas pada konteks kehidupan manusia. Tergantung pada jenisnya, ada banyak penggunaan bahasa, masing-masing dengan seperangkat aturannya sendiri, yang sepadan.

Oleh karena itu, Wittgenstein menyimpulkan bahwa makna kata adalah penggunaannya dalam sebuah kalimat, makna kalimat adalah penggunaannya dalam suatu bahasa, dan makna suatu bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai konteks kehidupan manusia. Dalam konteks ini, konteks yang menggunakan logika bahasa yang terdapat dalam tractatus itu sendiri adalah semacam permainan bahasa. Dalam gagasannya yang kedua, Wittgenstein tidak lagi memulai dengan bahasa yang ideal dan logis, tetapi mengembangkan gagasan untuk berbagai bahasa dalam kehidupan manusia.

Karena hakikat bahasa mengandung nilai-nilai ontologis, maka relevan ketika mengembangkan "aksiologi bahasa" yang menjelaskan nilai bahasa dalam berbagai konteks kehidupan manusia.

Kaelan (2004) berpendapat bahwa pemikiran kedua Wittgenstein berkaitan dengan pengembangan landasan filosofis praktis, termasuk aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Bahasa sebagai subjek penelitian pragmatik memiliki nilai-nilai yang diwujudkan dalam kaidah penggunaan bahasa dalam berbagai konteks kehidupan manusia. Secara filosofis, nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa bukanlah "nomotetik" yang oleh pragmatik linguistik hanya mencari hukum dan proposisi, tetapi "ideografik", yaitu bahasa yang dihayatinya. Mengingat ia merupakan sumber penelitian pragmatik, maka yang tidak dibatasi dalam berbagai situasi termasuk kehidupan manusia.

Pemahaman Bahasa Perpajakan Internasional

Dokpri Language
Dokpri Language

Ketika pemerintah mengenakan pajak  atas pendapatan dari perdagangan dan investasi internasional, manfaat perdagangan dan investasi internasional  bagi kedua negara yang bekerja sama untuk meningkatkan pendapatan mereka menjadi semakin nyata. Peningkatan penerimaan pajak negara akan benar-benar berkontribusi dalam memajukan pembangunan negara, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lainnya.

Di satu sisi, negara dapat meningkatkan pendapatan pemerintah dari pajak  atas  perdagangan dan investasi internasional, sementara di sisi lain, negara/pemerintah juga memperdagangkan dan mempromosikan perdagangan antar negara dan tingkat investasinya masing-masing. investasi. Salah satu upaya untuk meminimalkan beban ini adalah dengan menghindari pajak berganda internasional.

Dengan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, Perpajakan internasional, atau lebih tepatnya perpajakan internasional, adalah suatu prosedur dan hukum perpajakan yang terdiri dari aturan-aturan baik pengaturan perpajakan nasional maupun perjanjian-perjanjian antar negara, dan prinsip-prinsip yang diterima oleh negara-negara dan negara-negara di seluruh dunia untuk mengatur masalah perpajakan. unsur perpajakan internasional yang berkaitan dengan subjek dan tujuannya.

Setiap negara memiliki undang-undang dan peraturan perpajakannya sendiri, atau yang disebut  yurisdiksi nasional, masing-masing dengan dasar hukum dan filosofi  yang berbeda dari negara lain. Setiap kali suatu negara berinvestasi atau menerima investasi dari negara lain, ada konflik kepentingan.

Masalah mendasar dalam international fiscal law (1979) yang ditulis oleh Knechtle membedakan antara definisi luas dan sempit dari pajak berganda (arti sempit). Menurut definisi ini, pajak berganda mencakup setiap kejadian di mana pajak atau pungutan lain diterapkan pada fakta fiskal yang sama dua kali atau lebih. Dalam arti sempit, pajak berganda terjadi apabila suatu subjek atau objek pajak dikenakan pajak berkali-kali oleh otoritas pajak yang sama.

"Pajak Internasional merupakan kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara yang mempunyai P3B dan pelaksanaannya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta Sunservanda)"

Berdasarkan Konvensi Pajak Berganda, pernyataan tersebut terdiri dari: Pasal 1 menjelaskan tentang ruang lingkup orang pribadi, yaitu untuk apa perjanjian pajak berganda itu berlaku. Pasal 2 mengatur tentang subjek pajak, yaitu jenis pajak yang ketentuan perpajakannya diatur antara kedua negara dengan P3B. Misalnya, perjanjian Indonesia-Malaysia mencakup pajak penghasilan pribadi (PPh) untuk Indonesia, pajak penghasilan pribadi dan kelebihan pajak, pajak penghasilan tambahan dan pajak penghasilan minyak untuk Malaysia. Selain itu, Pasal 6 Konvensi Pencegahan Perpajakan Berganda mengatur undang-undang perpajakan atas berbagai jenis penghasilan seperti penghasilan dari real estate, laba perusahaan, dan capital gain.

Jika kebijakan pemungutan pajak masing-masing negara berbeda, pada prinsipnya pengenaan pajak berganda tidak dapat dihindari11, tetapi pengenaan pajak berganda harus dijelaskan dalam perjanjian diplomatik dua negara atau lebih sehingga  wajib pajak dapat menghindari pengenaan pajak berganda.

Indonesia sendiri menggunakan hukum bilateral dalam model OECD untuk negara maju seperti Eropa Barat dan Amerika Utara, model PBB untuk negara berkembang, dan model AS untuk Amerika Serikat untuk menghindari pajak berganda. Dengan berlakunya P3B, terdapat dua sumber perpajakan bagi Wajib Pajak di suatu negara, terutama yang berasal dari Para Pihak. Yang paling mendasar dalam hal ini adalah ketentuan perjanjian perpajakan, dan yang kedua adalah ketentuan undang-undang perpajakan dalam negeri.

Jika kita merujuk pada Wittgenstein, Perjanjian pajak, seperti sumber hukum lainnya, perlu ditafsirkan agar tidak ada masalah jika diterapkan. Itu terutama ketika ada kendala bahasa yang harus dihadapi. Dalam beberapa kasus, terjemahan suatu istilah mungkin salah. Konsekuensinya, kedua belah pihak harus menyepakati arti suatu istilah dalam perjanjian. Pada intinya, Vienna Conviction on the Law of Treaties of 1969 telah dibentuk untuk menafsirkan sebuah perjanjian. Model OECD, khususnya Pasal 3 ayat 2, dapat digunakan untuk menginterpretasikan perjanjian pajak.

Ketika berbicara tentang bagaimana perjanjian ditafsirkan, ada sejumlah artikel dalam Hukum Wina 1969 tentang Hukum Risalah yang memberikan kerangka untuk ini. Menurut Pasal 31 UUD 1945,

"a treaty shall be interpreted in good faith in accordance with the ordinary meaning to be given to the terms of the treaty in their context and in light of its object and purpose."

Sebuah kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan konteks dan tujuan perjanjian dengan itikad baik, menurut interpretasi ini. Karena masing-masing istilah dipandang sebagai niat baik dari salah satu atau kedua belah pihak, pasal ini ditulis dengan pengertian bahwa perjanjian hanya penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan istilah itu, dan bukan upaya untuk memastikan niat pihak lain. Istilah 'sehari-hari' termasuk dalam 'makna biasa' dari kutipan di atas. Konteks, sebagaimana didefinisikan oleh Oxford English Dictionary (OED), mengacu pada syarat dan ketentuan perjanjian, serta setiap perjanjian atau instrumen yang dibuat oleh satu pihak dan diterima oleh pihak lain. Pesan atau surat yang dipertukarkan sebelum penandatanganan perjanjian juga tercakup dalam ketentuan ini, tetapi bukan penjelasan yang diberikan secara sepihak oleh satu pihak dan belum disetujui oleh pihak lain.

Pasal 32 Konvensi Wina merujuk pada interpretasi yang berbeda. Selain itu, artikel ini berisi informasi tambahan yang dapat digunakan dalam interpretasi perjanjian. Jika Pasal 31 ambigu atau menghasilkan keputusan yang tidak masuk akal, Pasal 32 berfungsi sebagai penegasan dari Pasal 31 sebelumnya di Amatucci.

Jika kita lihat pada Pasal 33 Konvensi Wina, Menurut pasal ini, kedua bahasa itu sama-sama sah dan mengikat jika perjanjian dibuat dalam dua bahasa atau lebih. Dalam sebagian besar perjanjian, bahasa ketiga, seperti bahasa Inggris, disertakan sebagai tambahan bahasa ibu para pihak. Sementara itu, Pasal 33 ayat 4 menyatakan bahwa tafsir yang digunakan merupakan salah satu bahasa yang dapat mendamaikan konflik apabila terdapat perbedaan makna antara dua atau lebih versi bahasa yang digunakan. Karena salah tafsir, bahasa Inggris dapat digunakan sebagai bahasa pengantar. Misalnya Bahkan jika beberapa versi digunakan dan interpretasinya masih tidak dapat diterima, Konvensi Wina akan memandu interpretasi berdasarkan maksud perjanjian. Jika hasil dari strategi ini masih kurang memuaskan, maka perjanjian dianggap cacat.

Dalam Model OECD, interpretasi suatu perjanjian perpajakan dapat terlihat pada Pasal 3 ayat 2.

"As regards the application of the Convention at any time by a Contracting State, any term not defined therein shall, unless the context otherwise requires, have the meaning that it has at that time under the law of that State for the purposes of the taxes to which the Convention applies, any meaning under the applicable tax laws of that State prevailing over a meaning given to the term under other laws of that State."

Pada intinya pasal ini menyatakan bahwa jika suatu perjanjian pajak tidak mendefinisikan suatu istilah, maka pengertian istilah tersebut dapat mengacu pada dasar hukum setempat. Tentu saja hal ini menjadi lebih mudah karena warga negara dapat memaknai perjanjian tersebut berdasarkan hukum domestik yang lebih familiar. Namun, perselisihan dapat timbul jika interpretasi istilah-istilah ini dalam hukum domestik suatu negara berbeda dengan interpretasi dari negara lain.

Hukum pada saat perjanjian itu statis dan lemah, sehingga sulit untuk memahami dengan jelas arti istilah-istilah yang berkaitan dengan hukum yang lama. Topik lainnya adalah positioning model komentar OECD dalam Konvensi Wina. Tentu saja, jika suatu negara ingin menggunakan model OECD sebagai dasar konsensus dan interpretasi, itu juga mengacu pada model komentar OECD. Namun, model komentar OECD ini tidak  sesuai dengan Konvensi Wina.

Model OECD memiliki definisi istilah yang terkandung dalam perjanjian pajak untuk  menghindari interpretasi yang berbeda. Pengertian ini terdapat dalam Pasal 3 (1) yang memuat beberapa pengertian. Namun, beberapa definisi termasuk dalam artikel yang dimaksud. Contohnya adalah pengertian Pasal 11 "Bunga", Pasal 10 "Dividen" dan Pasal 12 "Royalti".

Individu atau organisasi.  Yang dimaksud dengan "orang perseorangan atau kelompok" diperlukan sehubungan dengan Pasal 1 tentang ruang lingkup orang perseorangan dan Pasal 4 tentang kependudukan. Istilah ini mencakup semua entitas yang bukan merupakan badan hukum tetapi diperlakukan sebagai unit pajak dan harus dipertimbangkan secara rinci.

Istilah itu sendiri dapat dibagi menjadi dua jenis. Yang pertama adalah "pribadi" dan yang kedua adalah "korporasi". Orang dalam konteks ini tidak melihat apakah seseorang hadir secara sah, tergantung pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut. Ini berarti bahwa ia berhak atas perlakuan berdasarkan P3B yang bersangkutan selama ia dapat dikenakan pajak di negara tersebut.

Pengertian badan hukum mencakup pengertian badan hukum dan badan hukum lainnya yang diperlakukan sebagai badan hukum. Oleh karena itu, badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum nasional adalah badan hukum dan juga perseorangan, dan selama ia merupakan penduduk negara itu, ia berhak atas perlindungan perjanjian. Penduduk yang dimaksud di sini adalah mereka yang dikenakan pajak di negaranya berdasarkan tempat tinggal, tempat tinggal, dan kriteria lainnya.

Pengertian "perusahaan" diperlukan sehubungan dengan Pasal 10 tentang dividen dan Pasal 5 (8) dan 16 tentang biaya keanggotaan dewan. Perusahaan, di sisi lain, didefinisikan sebagai badan hukum atau badan hukum yang diperlakukan sebagai badan hukum. Ini termasuk kepercayaan dan warisan yang tidak terbagi.

Masalah dapat muncul jika istilah-istilah ini tidak didefinisikan, karena perbedaan hukum dapat terjadi dari satu negara ke negara lain. Dengan mendefinisikan istilah-istilah ini, kita dapat mengatakan bahwa kita dapat membangun jembatan antara satu negara dengan negara lain. Salah satu contohnya adalah pemberian "kemitraan" antara Indonesia dan Inggris. Di Indonesia, kemitraan dikenakan pajak di tingkat kemitraan. Di Inggris, di sisi lain, kemitraan dikenakan pajak di tingkat anggota. Maka dalam P3B antara Indonesia dan Inggris tercantum seperti berikut:

"The term 'person' compromises an individual, a company, and any other body of persons, but subject to paragraph (2) of this Article does not include a partnership."

Dari rumusan tersebut diketahui bahwa persekutuan tidak dianggap seagai body corporate yang dianggap sebagai body corporate untuk tujuan pajak. Persekutuan kemudian dijelaskan lebih lanjut di ayat 2 dalam pasal yang sama, yaitu:

"A partnership deriving its status from Indonesian law which is treated as a taxable unit under the law of Indonesia shall be treated as a person for the purposes of this Agreement."

Sebelum P3B dibahas sebagai hukum internasional, Pugh Henkin menulis dalam bukunya "International Law, Cases, and Material" bahwa aturan kebiasaan hukum  internasional adalah Perjanjian Wina tentang Hukum  Perjanjian 1969 (Hukum Kontrak Internasional), ditandatangani pada 23 Januari 1969. Efektif Mei 1969, 27 Januari 1980, Departemen Luar Negeri AS sekarang dapat mendeklarasikan Konvensi Wina sebagai panduan otoritatif untuk hukum dan praktik internasional hingga saat ini. Konvensi Pasal 2 Konvensi Wina adalah suatu persetujuan antara dua negara atau lebih yang dimaksudkan untuk mengadakan atau menjalin hubungan timbal balik menurut hukum internasional. Oleh karena itu, Konvensi merupakan sarana utama untuk memulai atau mengembangkan kerja sama internasional, dan tujuan Konvensi adalah untuk menetapkan kewajiban yang mengikat bagi negara-negara peserta. Hukum domestik memungkinkan warga negara untuk memilih dari sejumlah cara untuk melakukan tindakan hukum atau untuk menyelesaikan transaksi internasional.

Perlu diingat pula dalam penerapan P3B ada ketentuan yang tidak dapat dilupakan yaitu lex postiori generalis non derogate lex priority specialis, ketentuan umum yang lebih baru tidak dapat membatalkan ketentuan khusus yang telah ada sebelumnya. Ketentuan hukum nasional yang  diubah atau diperbarui tidak dapat membatalkan ketentuan Konvensi Pajak Berganda yang ada. Oleh karena itu, perubahan undang-undang pajak penghasilan tidak dapat membatalkan perjanjian pajak, bahkan jika perubahan itu lebih baru dan lebih relevan dengan situasi saat ini. Jika Anda ingin mengoordinasikan revisi UU PPh dengan P3B, Anda perlu merundingkan kembali P3B.

Manusia di planet ini membutuhkan kemampuan berkomunikasi melalui bahasa agar dapat bertahan hidup. Tidak peduli apakah itu melalui bahasa tubuh atau bahasa verbal atau kata-kata. Makna realitas hanya dapat dipahami sepenuhnya melalui penggunaan bahasa manusia. Akibatnya, jika manusia tidak dapat berkomunikasi menggunakan bahasa, mereka akan tetap diam dan tidak mendapat informasi. Oleh karena itu, seperti yang dikemukakan oleh Wittgenstein, "yang kita cari bukanlah hakikat bahasa, melainkan persoalan bagaimana penggunaan bahasa itu dapat terjadi dalam kehidupan".

Oleh karena itu, Wittgenstein menganjurkan teori "permainan bahasa" atau language games. Di sini istilah "permainan bahasa" dimaksudkan untuk memperjelas bahwa berbicara suatu bahasa adalah bagian dari suatu kegiatan atau cara hidup. Artinya, apa pun yang masuk akal, kita harus membungkamnya. Wittgenstein tampaknya merasa bahwa apa yang bisa dia katakan tidak penting dibandingkan dengan apa yang bisa dia tunjukkan. Tractatus memberikan pengaruh terbesarnya melalui penelitian empiris, yang menurutnya tidak perlu dikatakan. Mereka percaya bahwa apa yang penting dapat ditemukan dan diungkapkan oleh sains.

Penerapan Tax Treaty

dokpri PPT Tax Treaty
dokpri PPT Tax Treaty

Walaupun terdapat perbedaan interprestasi Bahasa dalam pemajakan internasional, P3B tetap diberlakukan serta diperhitungkan. Penghasilan atau kekayaan luar negeri dari Wajib Pajak Dalam Negeri atau Badan Hukum Orang Pribadi sering kali dikenakan pajak sesuai dengan "Asas Kediaman". Oleh karena itu, penghasilan dikenakan pajak di negara tempat tinggal. Namun, pada saat yang sama, negara sumber dapat mengenakan pajak atas objek kena pajak luar negeri sehubungan dengan transaksi atau modal di dalam yurisdiksinya berdasarkan "Asas Sumber" atau "Asas Sumber". Pada akhirnya, ini mengarah pada konflik  hak pajak, mengklaim bahwa negara yang berbeda mengenakan pajak atas pendapatan mereka. Selanjutnya akan dijelaskan beberapa contoh kasus dalam penerapan P3B di Indonesia.

 

Metode Pengurangan Pajak (Tax Credit Method)

 

Contoh:

Wajib Pajak ABC penduduk Negara X dalam tahun 2020 memperoleh penghasilan sebagai berikut:

  • dari dalam negeri                   Rp 100.000.000,00
  • dari luar negeri (Negara Y)     Rp    50.000.000,00

Rp  150.000.000,00

Tarif PPh Negara X 25% dan tarif PPh Negara Y 30%.

Full Tax Credit Method: Seluruh pajak yang dibayar di luar negeri dapat dikreditkan dari jumlah pajak yang terutang atas seluruh penghasilan.

Total PPh terutang 25% x Rp150.000.000,00= Rp37.500.000,00 Pajak yang dibayar di Negara Y:

30% x Rp50.000.000,00 = Rp15.000.000,00

Kredit pajak luar negeri                                  = Rp15.000.000,00

Pajak yang masih harus dibayar                     = Rp22.500.000,00

Ordinary Tax Credit Method: Jumlah pajak yang dibayar di luar negeri dapat dikurangkan tidak boleh melebihi jumlah pengurangan pajak yang dihitung berdasarkan undang-undang domestik.

Total PPh terutang 25% x Rp150.000.000,00 =           = Rp37.500.000,00 Pajak yang dibayar di Negara Y:

30% x Rp50.000.000,00 = Rp15.000.000,00

Kredit pajak luar negeri:

(50 juta/150 juta) x Rp37.500.000,00                         = Rp12.500.000,00

Pajak yang masih harus dibayar                                 = Rp25.000.000,00

Tax Sparing Credit Method: Penghasilan dari negara sumber yang mendapat fasilitas pembebasan pajak (tax holiday) dianggap tetap terutang pajak di negara sumber untuk menghindari penghasilan tersebut dikenai pajak di dalam negeri (negara domisili).

Total PPh terutang 25% x Rp150.000.000,00            = Rp37.500.000,00 Pajak yang dibayar di Negara Y: NIHIL

Kredit pajak luar negeri 30% x Rp50.000.000,00      = Rp15.000.000,00

Pajak yang masih harus dibayar                                 = Rp22.500.000,00

Metode Pembebasan Pajak (Tax Exemption Method)

 

Full Exemption Method: Penghasilan dari luar negeri bukan merupakan penghasilan yang dikenai pajak di dalam negeri.

Total PPh terutang 25% x Rp100.000.000,00 = Rp25.000.000,00

Tax Exemption at the Top: Penghasilan dari luar negeri tetap merupakan objek pajak di dalam negeri. Namun, terhadap penghasilan tersebut diberikan pembebasan pajak yang dihitung dimulai dari lapisan pajak tertinggi.

Wajib Pajak ABC penduduk Negara X dalam tahun 2020 memperoleh penghasilan sebagai berikut:

  • dari dalam negeri                            Rp 75.000.000,00
  • dari luar negeri (Negara Y)         Rp 75.000.000,00

Rp 150.000.000,00

Tarif PPh Negara X:

  • s.d Rp 100.000.000,00, tarif 20%
  • di atas Rp100.000.000,00, tariff 25% Tarif PPh Negara Y 30%.

Jawab:

Total PPh terutang:

  • 20% x Rp100.000.000,00       = Rp 20.000.000,00
  • 25% x Rp50.000.000,00         = Rp 12.500.000,00

Total PPh terutang                                                          Rp 32.500.000,00

Pembebasan pajak:

 

25% x Rp50.000.000,00

= Rp 12.500.000,00

20% x Rp25.000.000,00

Total pembebasan pajak

= Rp    5.000.000,00

 

(Rp 17.500.000,00)

Kurang Bayar

Rp 15.000.000,00

 

Tax Exemption at the Bottom: Penghasilan dari luar negeri tetap merupakan objek pajak di dalam negeri. Namun, terhadap penghasilan tersebut diberikan pembebasan pajak yang dihitung dimulai dari lapisan pajak terendah.

Contoh:

Wajib Pajak ABC penduduk Negara X dalam tahun 2020 memperoleh penghasilan sebagai berikut:

  • dari dalam negeri                   Rp  75.000.000,00
  • dari luar negeri (Negara Y)     Rp  75.000.000,00

Rp150.000.000,00

Jawab:

Tarif PPh Negara X:

  • s.d Rp 100.000.000,00, tarif 20%
  • di atas Rp100.000.000,00, tariff 25% Tarif PPh Negara Y 30%.

PPh terutang

Total PPh terutang:

20% x Rp100.000.000,00       = Rp 20.000.000,00

25% x Rp50.000.000,00         = Rp 12.500.000,00

Total PPh terutang                                                      Rp 32.500.000,00

Pembebasan pajak:

20% x Rp75.000.000,00 =                                          Rp 15.000.000,00

Kurang Bayar                                                              Rp 17.500.000,00

Proportional Tax Exemption: Penghasilan dari luar negeri tetap merupakan objek pajak di dalam negeri. Namun, terhadap penghasilan tersebut diberikan pembebasan pajak yang dihitung secara proporsional berdasarkan perbandingan antara penghasilan luar negeri dengan pajak yang terutang.

Contoh:

Wajib Pajak ABC penduduk Negara X dalam tahun 2020 memperoleh penghasilan sebagai berikut:

  • dari dalam negeri                   Rp   75.000.000,00
  • dari luar negeri (Negara Y)     Rp   75.000.000,00

Rp 150.000.000,00

Tarif PPh Negara X:

                          s.d Rp 100.000.000,00, tarif 20%

  • di atas Rp100.000.000,00, tarif 25% Tarif PPh Negara Y 30%.

Jawab:

PPh terutang

Total PPh terutang:

  • 20% x Rp100.000.000,00       = Rp20.000.000,00
  • 25% x Rp50.000.000,00         = Rp12.500.000,00

Total PPh terutang                                                      Rp 32.500.000,00

Pembebasan pajak:

(Rp75 juta/Rp150 juta) x Rp 32.500.000,00              Rp 16.250.000,00

Kurang Bayar                                                              Rp 16.250.000,00

Metode Pembebanan Pajak Sebagai Biaya (Tax Deduction Method): Penghasilan dari luar negeri merupakan objek Pajak dan harus digabungkan dengan penghasilan dari dalam negeri. Namun, pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri tersebut diperlakukan sebagai biaya untuk menghitung PPh terutang.

Contoh:

Wajib Pajak ABC penduduk Negara X dalam tahun 2020 memperoleh penghasilan sebagai berikut:

  • dari dalam negeri                   Rp 100.000.000,00
  • dari luar negeri (Negara Y)     Rp 50.000.000,00

Rp 150.000.000,00

Tarif PPh Negara X 25% dan tarif PPh Negara Y 30%. Jawab:

PPh terutang: 25% x (Rp150.000.000,00 -- Rp15.000.000,00) = Rp33.750.000,00

Pengurangan Tarif Pajak (Tax Rate Reduction Method): Penghasilan dari luar negeri merupakan objek Pajak dan harus digabungkan dengan penghasilan dari dalam negeri. Namun, penghasilan dari luar negeri dikenakan tariff yang lebih rendah.

Contoh:

Wajib Pajak ABC penduduk Negara X dalam tahun 2020 memperoleh penghasilan sebagai berikut:

  • dari dalam negeri                   Rp 100.000.000,00
  • dari luar negeri (Negara Y)     Rp    50.000.000,00

Rp  150.000.000,00

Negara X: Tarif PPh 25%

Untuk penghasilan dari luar negeri diberikan pengurangan 25%. Tarif PPh Negara Y 30%.

Jawab:

PPh terutang:

  • dari penghasilan dalam negeri:

25% x Rp100.000.000,00                                           = Rp 25.000.000,00

  • dari penghasilan luar negeri:

25% x 75% x Rp50.000.000,00                                   = Rp  9.375.000,00

Total PPh Terutang                                                         Rp 34.375.000,00

 

 

PEMAJAKAN ATAS DIVIDEN

PT.AAA adalah sebuah perusahaan PMA di Indonesia. Pada akhir tahun 2021 PT AAA mengumumkan pembagian dividen dari keuntungan yang diperoleh tahun 2021, kepada massing-masing pemegang saham berikut:

  • PT. BBB., perusahaan yang berdomisili di British Virgin Island dengan kepemilikan saham sebesar 50% senilai Rp.2.500.000.000,00; dan
  • PT. CCC, perusahaan yang berdomisili di Prancis dengan kepemilikan saham sebesar 50% senilai Rp.2.500.000.000,00.

Dividen yang dibagiakan adalah sebesar Rp2 miliar, masing-masing pemegang saham mendapatkan pembagian dividen sesuai dengan proporsi kepemilikan saham.

PT AAA telah menerima COD/SKD dari PT. CCC. Sesuai dengan ketentuan Pemerintah Indonesia.

Pertanyaan: Apakah terdapat kewajiban perpajakan bagi PT AAA untuk memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran dividen kepada PT. BBB. dan PT. CCC.?

Penyelesaian

  • PT. BBB.: adalah Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang berdomisili di British Virgin Island (BVI). Negara Indonesia tidak memiliki Tax Treaty dengan BVI, sehingga atas setiap pembayaran Dividen kepada PT. BBB. atau SPLN semacam itu, oleh pihak PT AAA wajib secara hukum memotong PPh Pasal 26 dengan tarif 20% sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan RI.
  • Jumlah yang dipotong = 20% 50% Rp2 miliar = Rp.200 juta.

  • PT. CCC: adalah Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang berdomisili di Prancis. Negara Indonesia memiliki Tax Treaty dengan Prancis, sehingga atas setiap pembayaran Dividen kepada PT. CCC. wajib secara hukum memotong PPh Pasal 26 dengan tarif Tax Treaty Indonesia -- Prancis.
  • Jumlah yang dipotong = 10% Rp1 miliar = Rp.100 juta.

 

PEMAJAKAN ATAS BUNGA

Tahun 2021, perusahaan DDD Ltd. China memberikan pinjaman kepada PT EEE di Indonesia sebesar US$5.000,00, dengan imbalan bunga sebesar US$500,00.

Pertanyaan: Bagaimana pemajakan atas pemberian bunga tersebut?

Penyelesaian

Sesuai Pasal 11 Tax Treaty Indonesia -- China, maka atas pemberian bunga tersebut akan dikenakan pajak di Indonesia sesuai UU PPh Indonesia, dan sesuai Tax Treaty Indonesia -- China yang besarnya tidak melibihi 10%.

PEMAJAKAN ATAS ROYALTI

FFF Ltd. adalah sebuah perusahaan yang merupakan residen Malaysia, bergerak di bidang usaha restoran cepat saji. FFF.Ltd. memberikan ilustrasi kepada PT GGG untuk membuka cabang di Indonesia, dengan kewajiban untuk membayar royalty atas pemakaian merek dagang FFF Ltd. sebesar 5% dari penjualan bersih. FFF Ltd. tidak memiliki BUT di Indonesia. Bila omzet usaha tahun 2021 sebesar Rp15 miliar, berapa pajak yang dikenakan atas royalty fee yang diterima oleh FFF.Ltd.tersebut?

Penyelesaian

Sesuai Treaty Indonesia -- Malaysia, atas pembayaran royaty fee kepada FFF.Ltd. tersebut dapat dikenakan PPh Pasal 26 di Indonesia dengan tarif 15%, yakni:

Royalti = 15% (5 Rp15 miliar) = Rp112.500.000

 

PEMAJAKAN ATAS CAPITAL GAIN

Mr. Lee Changsub adalah penduduk negara singapura di mana Indonesia memiliki P3B. Mr. Lee Changsub memiliki apartement di Jakarta. Pada bulan Desember 2021, ia menjual apartement tersebut seharga Rp2 miliar.

Pertanyaan: Bagaimana pemajakan atas hasil penjualan apartemen tersebut?

Penyelesaian

Karena apartemen tersebut terletak di negara Indonesia, maka keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan/pemindahtanganan harta tersebut, hak pemajakannya berada di negara di mana apartemen terletak, yakni di negara Indonesia, jadi atas pengalihan Apartemen tersebut, sesuai Pasal 4 (2) UU PPh akan dikekanakan PPh Final sebesar 5%

5% Rp2 miliar = Rp100.000.000,00

 

PEMAJAKAN ATAS PEKERJAAN BEBAS

Mr. George, Singapore Citizen. Datang ke Indonesia untuk memberikan Jasa konsultasi keuangan di Indonesia selama 200 Hari di PT. Danar hadi Jakarta dengan penghasilan Rp. 500.000.000, -, Memiliki Certificate of Resident (SKD)

Penyelesaian

Diketahui Mr. George telah melewati time test 183hari (Tax Treaty) dan Hak perpajakan atas transaksi Mr. George tersebut yaitu berada pada negara sumber atau negara Indonesia karena berdasarkan syarat tersebut Mr. George wajib dikenakan PPh 26 oleh PT. Danar Hadi

  • Jumlah yang dipotong = 20% Rp 500.000.000 = Rp.100.000.000, -

 

PEMAJAKAN ATAS PEKERJAAN TIDAK BEBAS

Cube Ltd. Menugaskan Mr. Eunkwang untuk ke PT Melody Indonesia selama 71 hari dan Mr. Eunkwang dibayar oleh PT Melody Indonesia sebesar Rp. 500.000.000, - untuk pekerjaan tersebut. Bagaimana pemajakan atas penghasilan tersebut? Bagaimana jika Mr. Eunkwang Menerima penghasilan sebesar Rp. 1.200.000.000, - untuk pekerjaan selama 256hari

Penyelesaian

Dikarenakan Mr. Eunkwang tidak lebih dari 183 hari maka status nya merupakan WPLN yang dipotong PPh 26 sebesar 20%.

  • Jumlah yang dipotong = 20% Rp 500.000.000 = Rp.100.000.000, -

Dalam kasus kedua, Mr. Eunkwang lebih dari 183 hari maka status nya merupakan WPLN yang dipotong PPh 21. Maka Mr. Eunkwang wajib memiliki NPWP dan melaporkan penghasilannya dengan SPT Tahunan seperti kita. Dengan demikian, perhitungan pajaknya adalah

Penghasilan Bruto

1.200.000.000

Pengurang:

Biaya jabatan

 (6.000.000)

Penghasilan Netto

 

1.194.000.000

PTKP: Tidak Kawin

(54.000.000)

Penghasilan Kena Pajak

 

1.140.000.000

PPh Terutang:

5% x Rp. 50.000.000

2.500.000

15% x Rp. 200.000.000

30.000.000

25% x Rp. 250.000.000

62.500.000

30% x Rp. 640.000.000

192.000.000

Pemotongan Pajak atas penghasilan Mr. Eunkwang

 

287.000.000

PEMAJAKAN ATAS OLAHRAGAWAN

Seorang Atlet dari China yang ikut mengambil bagian dari perlombaan lari marathon di Indonesia berhasil meraih juara dan memperoleh hadiah uang tunai sebesar Rp 100.000.000. Bagaimana Hak Pemajakan dan perhitungannya?

Penyelesaian

Dalam kasus ini, tidak terdapat peraturan tersendiri dalam Tax Treatyuntuk pengenaan PPh hadiah dari perlombaan, sehingga meskipun Indoensia dan China memiliki Tax Treaty, namun apabila jenis penghasilan yang diterima tidak diatur kembali, maka tarif PPh Pasal 26 yang digunakan adalah sebesar 20% atau mengikuti peraturan yang berlaku di Indonesia. Atas penghasilan yang diterima oleh atlet dari Cina tersebut akan dipotong PPh Pasal 26 sebesar Rp 20.000.000.

Jumlah yang dipotong = 20% (Rp. 100.000.000) = Rp. 20.000.000

PENUTUP

Bahasa permainan tata bahasa dapat digunakan sebagai alat untuk memperjelas berbagai bentuk peristiwa dan ekspresi. Jika dijelaskan dengan benar, ekspresinya benar. Arti dari klarifikasi adalah klarifikasi dan kembali ke esensinya.

Manusia sering melakukan lebih dari sekedar berbicara tanpa memperhatikan aturan bahasa. Seperti yang diamati Wittgenstein, bahasa memiliki aturannya sendiri. Orang tidak harus menggunakan ekspresi yang sama dalam konteks yang berbeda. Jika kata tersebut digunakan di mana-mana, terlepas dari konteks atau aturan penggunaan, ada kebohongan dan penipuan yang sangat tidak biasa di sini mengenai arti kata tersebut.

 

Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis kejelasan  ungkapan, peristiwa, dan makna kata. Jika Anda tidak mengikuti aturan penggunaan bahasa, Anda tidak akan bisa langsung menyampaikan makna ungkapan, peristiwa, atau kata-kata. Gangguan bicara terjadi ketika bahasa atau kata-kata yang diungkapkan tidak sesuai dengan konteks dan aturan penggunaannya.

Bahasa peraturan harus dapat di interprestasikan dengan baik oleh berbagai pihak demi kepentingan Bersama. Di Indonesia, P3B dibentuk dan disahkan dengan keputusan presiden, sehingga menganut pola kesatuan, merupakan lex specialis derogat lex generalis dari undang-undang PPh, dan jika terjadi pertentangan antara P3B dan hukum dalam negeri, P3B berlaku  (tax treaties mengambil didahulukan dari hukum domestik). Selain itu,  Indonesia memiliki variasi dalam kemampuannya mengelola pajak  P3B dengan negara lain: full taxation, limited lease grant, dan lease waiver.

Selanjutnya, karena perpajakan hanya dilakukan oleh negara asal, maka pemberian keringanan berupa pembebasan pajak (tax exemption) baik dari objek maupun pajaknya dapat dihilangkan sama sekali. Pembebasan pajak oleh negara sendiri menyebabkan potensi hilangnya pendapatan pemerintah dari pendapatan asing.

Metode pengecualian didasarkan pada prinsip netralitas impor modal (netralitas pasar internasional) dan secara otomatis mendorong likuiditas dana di luar negeri. Ini bisa menjadi insentif untuk berinvestasi di negara berkembang. Beban pajak hanya ditentukan oleh negara di mana ia diinvestasikan, sehingga investor berhak atas penghematan pajak jika bebannya lebih kecil daripada di negara tempat tinggalnya atau negara lain.

Karena tidak ada pajak yang dipungut, otoritas pajak di negara domisili investor tidak akan terganggu oleh informasi pajak yang tidak lengkap kecuali jika negara tersebut menerapkan metode pembebasan pajak dan ada kerugian asing.

Daftar Pustaka

https://en.wikipedia.org/wiki/Ludwig_Wittgenstein

Kaelan (2004). Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein. Disertasi dalam bidang filsafat Bahasa. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Klaus Vogel, "Double Tax Treaties and Their Interpretation", International Tax and Bus, Law 4, 1986, hlm. 37

Knechtle. Basic Problems in International Fiscal Law. Deventer: Kluwer, 1979

Muslih, Mohammad (2004). Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma Ilmiah, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2004).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun