“Melihat dia, aku seperti melihat aku waktu masih muda dulu.” Demikan kata Si Bos waktu ditanya rekan atau keluarga saat menikahkan Mardi dan Helena. Mardi dianggap tekun dan pekerja keras.
“Satu lagi. Dia itu tidak mudah puas. Itu aku suka. Artinya dia punya keinginan yang kuat. Kalau dia mau, dia akan berusaha sekuat tenaga. Tak salah jika dia yang akan melanjutkan usahaku,” sebut Si Bos lagi.
Sebagai suami dari anak satu-satunya, tidak ada alasan bagi Si Bos untuk tidak menyerahkan urusan usaha kepada Mardi. Toh kebahagiaan Mardi adalah bahagia anaknya juga.
Tapi kebahagiaan Si Boss tidak berlangsung lama. Tidak beberapa lama setelah menikahkan putrinya, dia sakit. Hartanya tidak bisa jadi penyelamat meski sudah dibawa keluar masuk rumah sakit ternama. Di Indonesia sampai Singapura. Si Bos wafat.
Sepeninggal Si Bos, harta dan usaha sang mertua kini berada dalam kuasa Mardi. Terlebih Helena yang selama ini sama sekali tidak pernah ikut campur dengan urusan bisnis sang ayah. Sebagai anak orang berada, Helena lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibunya. Mulai dari belanja di mall, sampai hadir di acara arisan yang banyak dihadiri istri-istri pejabat. Helena bisa dikata tidak punya waktu banyak bermain bersama teman-temannya. Maklum saja, ia anak semata wayang dari orang berada yang karuan mendapat pengawasan cukup ketat.
Setelah ibunya wafat, Helena sempat putus asa. Ia lebih banyak mengurung diri di rumah dan kemudian memutuskan tidak menyelesaikan kuliah ekonominya. Tapi pengetahuan dari kuliah serta pengalaman bergaul dengan istri-istri pejabat serta konglomerat cukup membantu Mardi dalam mengembangkan usaha peninggalan sang ayah. Semisal dalam urusan izin usaha, pengiriman barang, hingga lobi-lobi tertentu. Tak dielak jika ibu-ibu pejabat ini punya pengaruh bagi para pejabat dalam mengeluarkan kebijakan. Dan ini dimanfaatkan Mardi lewat Helena.
Ngomong-ngomong soal lobi-lobi dimaksud, Mardi yang punya tekat dan kemauan yang besar itu tidak hanya sukses mempertahankan usaha mertua. Ia mulai merambah usaha lain. Dari usaha real estate yang membuka peluang baginya memiliki puluhan ruko, hingga usaha swalayan di tiap-tiap perumahan yang ia kembangkan.
Dengan kekayaan dan peluang yang dimiliki, Mardi bahkan bisa disebut sebagai tuan tanah. Bisa dikata lebih separoh tanah di kampung punya dia. Tanah dimiliki dengan cara membeli dari pemilik yang menjual secara suka rela, atau dengan strategi tertentu. Misalnya, tak jarang Mardi meminta supaya warga pemilik tanah membayar utang dengan tanah.
“Kamu kan bisa lunasi utang dan juga masih dapat uang. Kamu kan bisa beli rumah di tempat lain. Atau kamu bisa nyicil rumah di perusahaan saya.” Demikian ucapan yang paling sering disampaikan Mardi kalau sedang bernegosiasi.
Biasanya cara ini ampuh meluluhkan pemilik tanah yang tadinya keukeh tidak mau menjual tanah atau rumahnya. Kalaupun tidak mujarab, Mardi yang punya obsesi besar punya cara lain. Ia tidak segan-segan menutup akses jalan ke pemilik rumah, hingga pemiliknya mau tidak mau merelakan tanahnya kepada Mardi. Praktis hal ini membuat warga antipati kepadanya. Tak jarang mereka memandangnya sinis. Tapi Mardi cuek saja. Baginya, itu adalah kerikil perjalanan. Yang penting adalah bagaimana bisa ke tujuan.
Dan demikianlah, kekayaannya Mardi makin melimpah seiiring usahanya yang kian besar. Usaha serta harta itulah yang menjadikannya terkenal bahkan hingga kampung-kampung tetangga. Kendati demikian, Mardi juga dikenal sebagai orang yang tidak pelit soal uang. Ia paling suka membantu pembangunan rumah ibadah atau kegiatan berkaitan dengan kepemudaan.