Mohon tunggu...
Andri Mediansyah
Andri Mediansyah Mohon Tunggu... -

Penulis, Fotografer, berdomisili di Tanjungpinang Kepulauan Riau, Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tukang Sulap

9 Desember 2016   17:04 Diperbarui: 9 Desember 2016   17:06 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Bagaimana. Semua sudah oke? Tamu-tamu sudah ramai?”

“Sudah Pa, sudah. Papa bagaimana? Jangan terlalu lama lho. Kasian orang-orang sudah menunggu lama. Anak-anak sudah mulai gak betah. Nanti keburu ada yang pulang.”

“Ow ow.. oke Ma. Oke. Papa keluar sebentar lagi. Sudah beres.”

Tak lama, Mardi muncul dari balik pintu kamar. Ia melangkah tergopoh sambil memasang satu kancing rompi hitam membalut kemeja putih yang ia kenakan. Nafasnya tersengal. Maklum saja, tubuh Mardi yang tambun membuatnya harus mengeluarkan tenaga ekstra hanya untuk berjalan sekalipun.

Selain rompi ia juga mengenakan top hat, topi khas pesulap yang awalnya dipopularkan Presiden Amerika Abraham Lincoln di era tahun 1960an. Dan sebagai pelengkap penampilan, dia juga membawa tongkat yang umumnya digunakan pesulap dalam sebuah pertunjukkan.

“Bagaimana penampilanku Ma? Cocok?” kata Mardi. Ia merentangkan tangan lebar-lebar.

“ Wow. Cocok banget Pa. Papa betul-betul mirip tukang sulap lho!”

“Hahahahahaha....!” Mardi terkekeh. Dia rangkul lengan istrinya Helena. Keduanya kemudian menuruni anak tangga rumah mereka yang teramat megah – yang tangganya saja dihiasi logam stenlis kwlitas super dan keramik anti kepleset.

Belum lagi tiba di lantai dasar, seorang bocah perempuan setengah berlari menghampiri lalu memeluk keduanya.

“Papa kok lama?” kata bocah yang tak lain adalah putri Mardi dan Helena. Namanya Tasya.

Belum sempat menjawab, bocah itu kembali melempar tanya. Wajahnya berekspresi heran.

“Yakin papa pakai baju ini?”

Di usianya yang 12, Tasya sangat paham penampilan papanya itu tidak umum dan tidak pula biasa.

“Hahaha... ya yakinlah. Nanti ada kejutan buat kamu. Makanya hari ini kita mengundang banyak orang untuk hadir di pesta ulang tahun kamu.”

“Oh ya? Makasih ya Papa, Mama.” Dipeluknya erat-erat tubuh kedua orang tuanya. Mardi terlihat terharu melihat anaknya bahagia. Pun demikian Helena. Kelopak matanya seketika bening, basah air mata.

Sekian lama mereka larut dalam haru, dan kemudian memutuskan berjalan beriring menuju pintu. Di luar, ratusan orang yang tadinya riuh bercengkrama seketika hening. Mereka terpaku tidak hanya oleh gaun mewah dikenakan Helena dan putrinya, tetapi juga oleh penampilan Mardi yang tak sebiasanya.

“Ayo sambut teman-temanmu Nak,” kata Mardi.

Tasya segera berlari ke kerumanan bocah-bocah undangan pesta ulang tahunnya. Sementara Mardi dan Helena segera saja menuju meja di bawah tenda yang juga dipenuhi undangan. Meja untuk tamu itu sesak bahkan nyaris tak menyisakan ruang halaman rumah Mardi yang luas layaknya istana.

***     

Memiliki rumah megah dengan halaman luas, menjadikan Mardi digelari orang kaya di kampungnya. Kekayaannya itu ia peroleh setelah menikahi Helena, anak juragan besi rongsokan yang sudah menggeluti usaha itu hampir separoh hidup.

Sebelum menikah, Mardi yang tadinya berbadan kekar adalah salah satu pekerja di gudang penampungan besi bekas milik ayah Helena. Pembawaannya yang humoris dan mudah bergaul mampu memikat hati Si Bos sekaligus Helena yang merupakan anak semata wayangnya.

Si Bos tidak marah ketika tahu anak gadisnya dipacari Mardi. Ia menganggap Mardi adalah duplikasinya semasa muda.

 “Melihat dia, aku seperti melihat aku waktu masih muda dulu.” Demikan kata Si Bos waktu ditanya rekan atau keluarga saat menikahkan Mardi dan Helena. Mardi dianggap tekun dan pekerja keras.

“Satu lagi. Dia itu tidak mudah puas. Itu aku suka. Artinya dia punya keinginan yang kuat. Kalau dia mau, dia akan berusaha sekuat tenaga. Tak salah jika dia yang akan melanjutkan usahaku,” sebut Si Bos lagi.

Sebagai suami dari anak satu-satunya, tidak ada alasan bagi Si Bos untuk tidak menyerahkan urusan usaha kepada Mardi. Toh kebahagiaan Mardi adalah bahagia anaknya juga.

Tapi kebahagiaan Si Boss tidak berlangsung lama. Tidak beberapa lama setelah menikahkan putrinya, dia sakit. Hartanya tidak bisa jadi penyelamat meski sudah dibawa keluar masuk rumah sakit ternama. Di Indonesia sampai Singapura. Si Bos wafat.

Sepeninggal Si Bos, harta dan usaha sang mertua kini berada dalam kuasa Mardi. Terlebih Helena yang selama ini sama sekali tidak pernah ikut campur dengan urusan bisnis sang ayah. Sebagai anak orang berada, Helena lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibunya. Mulai dari belanja di mall, sampai hadir di acara arisan yang banyak dihadiri istri-istri pejabat. Helena bisa dikata tidak punya waktu banyak bermain bersama teman-temannya. Maklum saja, ia anak semata wayang dari orang berada yang karuan mendapat pengawasan cukup ketat.

Setelah ibunya wafat, Helena sempat putus asa. Ia lebih banyak mengurung diri di rumah dan kemudian memutuskan tidak menyelesaikan kuliah ekonominya. Tapi pengetahuan dari kuliah serta pengalaman bergaul dengan istri-istri pejabat serta konglomerat cukup membantu Mardi dalam mengembangkan usaha peninggalan sang ayah. Semisal dalam urusan izin usaha, pengiriman barang, hingga lobi-lobi tertentu. Tak dielak jika ibu-ibu pejabat ini punya pengaruh bagi para pejabat dalam mengeluarkan kebijakan. Dan ini dimanfaatkan Mardi lewat Helena.

Ngomong-ngomong soal lobi-lobi dimaksud, Mardi yang punya tekat dan kemauan yang besar itu tidak hanya sukses mempertahankan usaha mertua. Ia mulai merambah usaha lain. Dari usaha real estate yang membuka peluang baginya memiliki puluhan ruko, hingga usaha swalayan di tiap-tiap perumahan yang ia kembangkan.

Dengan kekayaan dan peluang yang dimiliki, Mardi bahkan bisa disebut sebagai tuan tanah. Bisa dikata lebih separoh tanah di kampung punya dia. Tanah dimiliki dengan cara membeli dari pemilik yang menjual secara suka rela, atau dengan strategi tertentu. Misalnya, tak jarang Mardi meminta supaya warga pemilik tanah membayar utang dengan tanah.

“Kamu kan bisa lunasi utang dan juga masih dapat uang. Kamu kan bisa beli rumah di tempat lain. Atau kamu bisa nyicil rumah di perusahaan saya.” Demikian ucapan yang paling sering disampaikan Mardi kalau sedang bernegosiasi.  

Biasanya cara ini ampuh meluluhkan pemilik tanah yang tadinya keukeh tidak mau menjual tanah atau rumahnya. Kalaupun tidak mujarab, Mardi yang punya obsesi besar punya cara lain. Ia tidak segan-segan menutup akses jalan ke pemilik rumah, hingga pemiliknya mau tidak mau merelakan tanahnya kepada Mardi. Praktis hal ini membuat warga antipati kepadanya. Tak jarang mereka memandangnya sinis. Tapi Mardi cuek saja. Baginya, itu adalah kerikil perjalanan. Yang penting adalah bagaimana bisa ke tujuan. 

Dan demikianlah, kekayaannya Mardi makin melimpah seiiring usahanya yang kian besar. Usaha serta harta itulah yang menjadikannya terkenal bahkan hingga kampung-kampung tetangga. Kendati demikian, Mardi juga dikenal sebagai orang yang tidak pelit soal uang. Ia paling suka membantu pembangunan rumah ibadah atau kegiatan berkaitan dengan kepemudaan.

Jika ada perayaan, Mardi tidak ragu tampil sebagai sponsor tunggal dan kemudian disambut layaknya raja oleh panitia penyelenggara saat menghadirinya.

Mardi kian kaya dan terkenal. Ia juga jadi orang yang super sibuk yang nyaris selalu didampingi sekretaris dan pengawal.

Karena kesibukannya inilah Mardi bahkan tidak punya banyak waktu berkumpul bersama istri termasuk Tasya, anak perempuan semata wayangnya itu.  Ia bahkan sering bingung saat ditanya umur atau kelas berapa anaknya bersekolah.

Belakangan, Mardi mulai menyadari kekeliruannya. Ia sadar sudah berbuat zalim terhadap sang anak. Dengan alasan inilah ia yang diberitahu sang istri jika anaknya akan berulang tahun ke 12, Mardi dengan semangat akan memberikan sesuatu yang spesial.

“Kita buat pesta ulang tahun yang meriah untuk Tasya. Kita undang semua temannya. Kita undang juga orang-orang kampung. Teman-teman saya dan teman-teman Mama juga kita minta datang,” kata Mardi.

“Janji ya Pa. Jangan ingkar. Kasihan Tasya.”

“Iya Ma, Papa Janji. Papa juga sudah siapkan hiburan untuk Tasya.”

“Hiburan apa?”

Mardi berpikir sejenak.
 “Hmmmm... Papa nanti jadi tukang sulap,” sembari menjentikkan jari.

“Haaahhh... serius?”

“Iya Ma. Serius. Yang penting Tasya senang. Tapi Mama harus janji. Soal Papa yang jadi tukang sulap, Tasya jangan dikasih  tau. Acaranya kita buat di halaman saja. Biar bisa menampung banyak orang. Kapan ulang tahunnya?”

 “Sebulan lagi Pa.”

Helena kemudian memeluk Mardi erat-erat. Ia sangat bahagia sekaligus bangga.

***

 “Ayo anak-anak. Semuanya berkumpul. Sebentar lagi Papanya Tasya mau kasih hiburan untuk kita semua,” teriak pembawa acara.

Tak sampai dalam hitungan menit  anak-anak yang hadir sudah sesak merengsek di muka panggung yang disiapkan di depan tenda utama. Mereka terlihat sangat girang. Terlebih Tasya yang sama sekali tidak menyangka mendapat kejutan itu dari Papanya yang super sibuk.

Mardi, dengan penampilan layaknya pesulap profesional sudah berada di atas panggung. Helena memilih tetap duduk di meja utama, mendampingi teman-teman yang rata-rata istri pejabat serta istri rekan bisnis suaminya.

Setelah memberikan sedikit pengantar, Mardi kemudian mengeluarkan satu set kartu berwarna merah.

“Untuk adik-adik semua, saya mau kasih pertunjukan sulap menggunakan kartu ini,” kata Mardi.

Anak-anak makin kegirangan. Mereka bertepuk tangan setiap kali Mardi menyelesaikan ketangkasannya memainkan kartu. Mulai dari menghilangkan dan memunculkannya lagi dari balik kerah baju, atau menebak kartu yang diambil oleh salah seorang undangan. Dan penampilan terakhirnya adalah penampilan yang paling mendapat tepuk tangan meriah. Di pertunjukan pamungkasnya itu, dia mampu membubuhkan tanda tangan di kartu yang dimasukkan di dalam botol. Tetamu tercengang mengingat kartu itu tadinya polos.

“Hahahaha..” Mardi tertawa puas setelah mendapat tepuk tangan meriah dari para undangan.

“Untuk tahun ini saya sengaja tidak memberikan kado berupa barang untuk Tasya. Selamat ulang tahun ya sayang. Doa papa, kamu mendapat apa yang terbaik untukmu dan bagi kami,” ujar Mardi.

Ucapan Mardi ini membuat Tasya, Helena serta tamu yang hadir, bangga sekaligus terharu.

Acara kemudian dilanjutkan potong tumpeng dan pembacaan doa. Suasana kemudian menjadi riuh setelah pembawa acara mempersilahkan tamu yang hadir untuk menyantap makanan yang telah disediakan.

Suara gaduh bukan hanya dari band yang sengaja disewa untuk memeriahkan ulang tahun, tetapi dari berisik warga kampung yang mengantre di meja prasmanan.

“Hebat kamu Mardi. Darimana kamu bisa sulap seperti itu?” tanya salah satu kolega Mardi yang hadir.

“Hahaha.. Saya sengaja menyewa pesulap profesional untuk mengajari saya selama sebulan ini. Ya begitulah. Yang terpenting anak saya bahagia,” balas Mardi.

“Oh ya. Bagaimana soal rencana kamu maju di pencalonan bupati nanti?”

“Hohoho.. jadi dong. Saya yakin bisa menang?”

“Caranya?”

“Seperti tadi. Aku akan jadi tukang sulap?”

 “Hahaha... maksud kamu kamu akan menyulap suara?”

“Hahaha... kenapa tidak?” tutup Mardi.

Kedua sahabat bisnis itu larut dalam tawanya.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun