Mohon tunggu...
Ama Atiby
Ama Atiby Mohon Tunggu... karyawan swasta -

"Pencari ilmu yang takkan pernah berhenti menambah ilmu" http://lovewatergirl.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bukan Siti Nurbaya (Episode 10)

12 Januari 2011   08:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:40 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Dulu ada yang bilang padaku

Jarak cinta dan nafsu hanya setipis kertas

Cinta berbuah nafsu

Itu setan"

"Ama... kamu masih disana, kan?"

"Iya..." Jawabku datar.

"Kamu mau kan? Abang janji akan membahagiakanmu, kamu adalah wanita yang paling abang cintai, abang tidak bisa hidup tanpa kamu sayang... Hal ini telah abang pikirkan dan pertimbangkan masak-masak, abang akan menanggung segala konsekuensinya, asalkan abang bisa hidup dengan kamu. Kalau Ama memang mencintai abang, abang harap Ama tidak menolak tawaran abang ini..."

Belum sempat aku merespon perkataannya yang mengagetkan itu, kudengar bunyi ketukan keras dari luar pintu.

"Nanti Ama hubungi abang lagi ya, Astrid udah mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi ini. Ga enak kalau Ama terlalu lama di dalam, nanti dia curiga. Udahan ya"

Tanpa berpikir panjang, aku langsung mematikan telepon tersebut dan membuka pintu. Kulihat Astrid yang terbengong melihatku, mungkin dia heran melihat mataku yang sembab. Aku tak ingin memberinya kesempatan untuk merasa prihatin atas keadaanku, karena sesunggunya aku sedang tak ingin membahasnya dengan siapapun.

Dengan bergegas aku kembali ke meja kerjaku. Terduduk dan terkulai lemas... Ini gila... Bagaimana mungkin dia bisa berpikir untuk mengajakku lari bersamanya? Dia bilang penempatannya kerjanya di Pontianak dan ingin memulai hidup baru disana bersamaku? Apa dia sudah gila? Aku ini wanita bersuami, tak sadarkah dia tentang hal itu?

*****

Sepanjang hari ini aku benar-benar tidak fokus dengan pekerjaannku, aku masih memikirkan perkataan Satria tadi pagi. Beberapa kali David memanggilku, tapi aku terkesan acuh dan tidak menanggapi, aku asik menerawang dalam alam pikiranku sendiri. Begitupun guyonan dan gurauan dari teman-temanku di kantor yang tak kuhiraukan.

"Ama... Ama... Kamu dengar ga sih?"

Sapaan Marina membuyarkan lamunanku.

"Eh.. apaan?"

"Jiah.. elo, Ma... Mentang-mentang penganten baru, pikiran loe masih seputaran ranjang aja ampe ga perduli keadaan. " Ujarnya kesal.

"Eh.. sorry deh Mar... eum.. emang ada apaan sih?"

"Pulang kantor nanti kami mau karokean, kebetulan juga buat ngerayain farewall partinya Andika secara dia udah diterima job di PU. Loe mau ikutan ga?" Jelas Marina kemudian.

"eum.. gimana ya Mir.."

"Iya Ma... loe ikutan ya, ga enak kalo cewe nya cuma berdua aja. Ajak suami loe juga boleh kok, itung-itung sekalian kita bisa kenal" Sela Astrid.

Waduh... bagaimana mungkin aku mengajak suamiku ketempat begituan, mana mau dia ikut. Lagipun nanti kami hanya jadi bulan-bulanan ocehan dan keusilan mereka.

"Waduh mir... klo ngajak suami kayaknya ga sekarang deh, gw ikutan, tapi ntar gw pulang duluan ya."

Dengan perasaan tak enak, akhirnya kuterima juga ajakan mereka. Tak beberapa lama kemudian kulihat HandPhone ku bergetar di atas meja. Satria is calling.. Langsung saja aku meraihnya dan meng- non active kannya. Aku belum mau membahasnya sekarang. Pikirku.

*****

Waktu sudah memasuki pukul 11 malam, komplek perumahanku sudah kelihatan sepi, tak ada lagi suara-suara manusia atau orang yang berlalu lalang. Kulihat pagar rumah juga telah terkunci. Terpaksa aku harus turun dan membukanya dengan kunci cadanganku. Kulajukan mobil perlahan memasuki garasi. 'Ugh... jadi pulang telat deh, seharusnya tadi aku tidak usah ikutan aja' gerutuku dalam hati. Kulihat motor suamiku yang telah terparkir di dihadapanku. Dengan perlahan aku menutup pintu mobil dengan harapan tidak ada orang rumah yang sadar akan kepulanganku, dengan mengendap-ngendap kulangkahkan kaki menuju tangga kamarku. Kudapati suamiku yang sedang khusyu' mengaji di kamar tidur kami. Terasa teduh dan menyentuh hati. Tanpa sadar aku sudah terduduk di belakangnya. Kupandangi punggungnya dan kuresapi setiap ayat-ayat yang di bacanya. "Sudah berapa lama dia mengaji seperti ini? Bukankah waktu sholat Insya sudah berlalu hampir tiga jam lalu?" Pikirku.

"Kamu sudah sholat?" Tanya suamiku sambil menutup Al-qur'an yang dibacanya.

"Masih halangan"

Hening sebentar.

"Tadi abang coba hubungin tapi HP ade mati. Abang khawatir terjadi sesuatu dengan kamu."

Astaga... aku lupa mengaktifkan kembali HP yang sengaja aku non-aktifkan itu.

"eum... tadi HP Ama habis baterai" Tak berani rasanya ku menatap matanya, aku takut ia mengetahui ketidakjujuranku.

"Maaf sudah membuat abang khawatir"

"Abang tidak melarang, tapi paling tidak kabari abang kemanapun ade pergi, ade bukan hanya telah menyusahkan abang tapi bunda juga yang sedari makan malam tadi terus menanyakan keberadaanmu."

"Abang merasa tidak bisa berbuat apa-apa waktu itu, menelepon kamu pun tak bisa. Sepulang dari Masjid tadi abang mencari ade di kantor, tapi kantor ade sudah sepi dan lenggang, abang sudah hampir putus asa kemana lagi harus mencari kamu. Seandainya kamu tahu betapa khawatirnya abang waktu itu."

Kali ini kuberanikan mataku menatap suamiku.

"Sayang... cerita sama abang semua beban pikiranmu. Bukannya abang tidak tahu apa yang selama ini kamu pendam. Bukan berarti abang acuh, tak pernah menanyakan bagaimana perasaan kamu selama ini. Abang ingin mendengarkannya langsung dari kamu, tentang semua cerita masa lalumu, tentang keinginanmu. Tapi kenyataannya kamu semakin hanyut dengan perasaan dan pikiran kamu sendiri. Kamu sudah tidak sendiri lagi, sayang... Lihatlah abang yang ada di depanmu ini. Betapa celakanya abang membiarkan istri abang meratap dalam ketidakbahagiaannya hidup bersama abang."

Tangisku pecah...

Betapa aku tak kuasa mendengar perkataan suamiku ini. Mengapa selama ini aku dibutakan dari cinta dan kasih sayangnya. Mengapa aku selalu menyalahkan takdir dan meratapi nasib. Aku menyesal. Aku menyesal menjadi begitu egois, aku menyesal mengapa aku menjadi seperti ini. Mengapa hatiku sekarang sekeras batu.

Kurasakan kedua tangannya yang mengusap pipiku... menghapus air mataku, melenyapkan dukaku. Matanya yang teduh telah menentramkan batinku. Perkataannya itu mendamaikan jiwaku.

"Abang sangat mencintaimu, sayang... Kaulah wanita pertama yang sedari awal telah menawan dan memenjarakan hati abang. Apapun akan abang lalukan demi kebahagiaanmu. Abang ingin melihat seyumanmu... bukan lagi air mata kesedihan ini."

Ingin rasanya aku memeluknya. Aku ingin melepas semua kegundahan hatiku padanya. Tapi mengapa tubuh ini terasa berat untuk melakukannya. Aku tidak mengerti dengan diriku ini.

"Besok siang abang berangkat ke Jakarta. Beberapa waktu yang lalu nama abang telah di daftarkan dalam buku putih. Insya Allah awal tahun depan sudah dapat SK. Tapi abang diharuskan untuk ikut pelatihan dan training kepengurusan mesjid dan dayah selama sebulan disana"

"Eh... sebulan??"

"Iya... eum... sebenarnya sudah dari tadi siang abang ingin mengabarkan ini, tapi..." ia tak melanjutkan lagi kata-katanya tersebut. Ia menatapku sejenak dan beranjak bangun dari tempatnya duduk dan melipat sajadahnya. Tinggal lah aku yang masih mematung di lantai ini. Seolah masih tak percaya dengan apa yang sedang aku dengar ini.

"Besok ade bisa antarin abang ke bandara, kan?" Tanyanya kemudian.

Kulihat dirinya mulai menghilang dari hadapanku. Entah apa yang mendorongku sehingga dengan cepatnya aku beranjak dan memeluk punggungnya. Punggung yang telah lama aku perhatikan tanpa pernah berani menyentuhnya. Aku terisak, tersedu.... Kurasakan tubuhnya yang tersentak... kaget...

"Biarkan Ama seperti ini... sebentar... " Isakku. Tangisku semakin kuat, pelukanku semakin erat.

Kurasakan tangannya yang kini mengelus lembut tanganku dan menggenggamnya.

Tanpa suara.

Hening.

*****

Malam itu untuk pertama kalinya aku tidur dalam pelukan suamiku. Kehangatan ini belum pernah kurasakan. Kusentuh dadanya yang bidang, kudengarkan detak jantungnya yang tak beraturan. Nafasnya berat. Ia diam, memandangku gusar dan menggenggam kedua tanganku, erat, memenjarakan tanganku dalam genggamannya. Aku tak mengerti, mengapa?

Ia pejamkan kedua matanya, menarik nafas panjang, lalu mensenandungkan selawat dan doa-doa tidur sambil membelai rambutku, menyentuh tubuhku. Lembut... Setiap ia menyentuh kulitku, seperti ada getaran listrik yang menyengat, melenakan, membuai... Tangannya menggoda dan menyeretku pada titik lemahku. Aku terlanjur hanyut dan mengerang dalam alam tak sadarku, entah kemana logika kini berada saat ia mengecup kedua pipiku, dan mencumbui leherku.

"Kamu tahu sayang, setiap bersamamu kesabaran abang selalu diuji, dan malam ini adalah ujian paling berat untuk abang. Bagaimana mungkin pikiran abang bisa tenang melihat istri abang yang begitu menggoda dan menggairahkan ini" Bisiknya ditelingaku.

Kutatap matanya yang teduh, kini aku paham arti perlakuannya. Kubenamkan wajahku dalam pelukannya... aku begitu terharu, kembali terisak. "Maafkan Ama..." Hanya itu kata yang terucap dari bibirku.

"Malam ini abang telah mempersunting hatimu, itu sudah cukup membuat abang bahagia menanti saat kita bersama lagi."

"Tidurlah sayang... Abang akan tertidur hanya saat kamu sudah terlelap."

Kata-katanya begitu menghipnotisku, aku tak takut lagi mendekap erat tubuhnya. Kudengarkan jantung suamiku yang kini telah berdetak bearturan dan kuresapi setiap tarikan nafasnya, irama yang harmonis. Aku merasa aman, rasa malu entah sejak kapan telah sirna dari diriku, keraguan pun telah lenyap. Hatiku telah tertambat padanya. Entah sejak kapan...

*****

Bersambung

Selanjutnya :

Bukan Siti Nurbaya (Episode 11)

Sebelumnya :

Bukan Siti Nurbaya (Episode 9)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun