"Iya... eum... sebenarnya sudah dari tadi siang abang ingin mengabarkan ini, tapi..." ia tak melanjutkan lagi kata-katanya tersebut. Ia menatapku sejenak dan beranjak bangun dari tempatnya duduk dan melipat sajadahnya. Tinggal lah aku yang masih mematung di lantai ini. Seolah masih tak percaya dengan apa yang sedang aku dengar ini.
"Besok ade bisa antarin abang ke bandara, kan?" Tanyanya kemudian.
Kulihat dirinya mulai menghilang dari hadapanku. Entah apa yang mendorongku sehingga dengan cepatnya aku beranjak dan memeluk punggungnya. Punggung yang telah lama aku perhatikan tanpa pernah berani menyentuhnya. Aku terisak, tersedu.... Kurasakan tubuhnya yang tersentak... kaget...
"Biarkan Ama seperti ini... sebentar... " Isakku. Tangisku semakin kuat, pelukanku semakin erat.
Kurasakan tangannya yang kini mengelus lembut tanganku dan menggenggamnya.
Tanpa suara.
Hening.
*****
Malam itu untuk pertama kalinya aku tidur dalam pelukan suamiku. Kehangatan ini belum pernah kurasakan. Kusentuh dadanya yang bidang, kudengarkan detak jantungnya yang tak beraturan. Nafasnya berat. Ia diam, memandangku gusar dan menggenggam kedua tanganku, erat, memenjarakan tanganku dalam genggamannya. Aku tak mengerti, mengapa?
Ia pejamkan kedua matanya, menarik nafas panjang, lalu mensenandungkan selawat dan doa-doa tidur sambil membelai rambutku, menyentuh tubuhku. Lembut... Setiap ia menyentuh kulitku, seperti ada getaran listrik yang menyengat, melenakan, membuai... Tangannya menggoda dan menyeretku pada titik lemahku. Aku terlanjur hanyut dan mengerang dalam alam tak sadarku, entah kemana logika kini berada saat ia mengecup kedua pipiku, dan mencumbui leherku.
"Kamu tahu sayang, setiap bersamamu kesabaran abang selalu diuji, dan malam ini adalah ujian paling berat untuk abang. Bagaimana mungkin pikiran abang bisa tenang melihat istri abang yang begitu menggoda dan menggairahkan ini" Bisiknya ditelingaku.