Mohon tunggu...
Amalia Naura Hanifah
Amalia Naura Hanifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Saya lahir di Surakarta, 23 oktober 2002. hobi saya membaca buku. semoga yang saya uploud didisini bisa menambah wawasan para pembaca dan jika ada kekurangan mohon kritik dan sarannya. Terimakasih

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sanksi Kebiri Kimia yang Menuai Pro dan Kontra di Berbagai Pihak

19 Februari 2022   07:25 Diperbarui: 19 Februari 2022   07:34 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penerapan  tindakan kebiri kimia yang ditambahkan  melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun Tentang Perlindungan Anak. 

Ada satu Keputusan Hakim tentang kebiri kimia yang dijatuhkan pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang seajk tahun 2016 dan sampai saat ini yaitu  Putusan PN Mojokerto Nomor 69/pid.sus/2019/PN Mjk. Pada 2 mei 2019, pemerhati HAM memprotes keras putusan ini. Isu dalam jurnal ini adalah  Pro dan Kontra Sanksi  dari Kebiri Kimia menurut bergai kalangan ahli maupun pihak lainnya .

Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia , Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual diterbitkan pada 20 Desember 2021 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020. Pihak kontra menggunakan Konvensi PBB tentang Anti Penyiksaan atau Hukuman lain yang keam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. 

Penerapan kebiri kimia tidak lebih merupakan  tindakan menambahkan perbuatan kejam ke perbuatan kejam lainnya , hal tersebut dinyatakan oleh Amnesty International Indonesia.  Sementara  pihak pro tertuju pada HAM anak.

 HAM anak terutama HAM anak yang berada  dalam kondisi khusus sebagai korban kejahatan  seksual dijamin oleh Negara melalui peraturan perundang-undangan. Penerapan kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual anak adalah perwujudan perlindungan HAM Anak Korban Kekerasan Seksual.

Kebiri kimia adalah suatu tindakan yang dapat diterapkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan ditambah pula dengan  pidana penjara dan dipana tambahn lainnya. Pelaksanaan kebiri kimia  dilakukan dengan penyuntikan zat kimia tertentu dengan tuuan menekan hastrat seksual yang berlebih. 

Selain itu juga terdapat  tindakan lain bagi pelaku kekeresan seksual terhadap anak yaitu tindakan pemasangan alat penderteksi elektronik dan tindakan rehabilitasi.

Peenerapan  kebiri kimia di Indinesia melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun  2016 tentang Penerapan Pemerintah  Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang. 

Pelaku  tindak pidana kekerasan  seksual terhadap anak  akan dijerat hukuman yang lebih berat jika korbannya lebih dari satu orang yang mana perbuatan kekerasan seksual tersebut mengakibatkan luka berat, gangguan kejiwaan, mengakibatkan penyakit menular, mengakibatkan terganggu jiwanya, mengakibatkan hilangnya fungsi reprodusi, dan / atau mengakibatkan koban meninggal dunia maka pelaku dapat diterapkan pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkar 10 tahun. Sisi laiinya dari hukuman ini adalah juga mengatur tentang sanksi tambahan berupa tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Keberadaan peraturan perundang-undangan ini ada sejak terbit tahun 2016 hingga tahun 2021 Keputusan Pengadilan Negeri Mojokerto terhadap terpina kekerasan seksual pada sembilan korban. Keputusan tersebut ternyata mendapat kecaman dari Komnas HAM bahkan komnas HAM mendesak pemerintah agar segera mencabut peraturan perundang-undangan ini. (CNN Indonesia, 28/8/2019).  

Alasan Komnas HAM menyatakan pernyataan tersebut adalah Indonesia telah meratifikasi Konversasi PBB tentang anti ponyiksaan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan mengurangi martabat manusia yaitu Resolusi Majelis Umum 39// 46 tanggal 10 Desember 1984. 

Melalui executive director-nya, Amnesty International  mengemukakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan yang menakutkan mengerikan tetapi menghukum pelakunya dengan kebiri kimia tidak lebih dari menambahkan perbuatan kejam ke kejam lainnya. Dua kesalahan yang dilakukan tidak membuatnya menjadi benar.  

Kebiri kimia secara paksa melanggar Konvensi PBB tentang larangan  memberlakukan hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia (Press release Amnesty International Indonesia, 4 Januari 2021).

Sisi lainnya kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia tidak menunjukkan grafik yang menurun. Kekerasan terhadap anak merupakan suatu bentuk penyiksaan seksual terhadap anak dimana anak menjadi objek rangsangan dan perilaku eksual orang dewasa. Tidak hanya menyebabkan trauma fisik, Kekerasan seksual terhadap anak juga menyebabkan trauma psikis.  

Data LPAI  (Lembaga Perlindungan Anak Indonesia) tahun 2020 kekerasan pada anak tidak menurun, bahkan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan  Anak mencatat hampir dua ribu anak mengalami kekerasan seksual pada masa pandemi (Suara.Com, 24 Februari 2021). 

Korban kekerasan sekksual pada anak laki-laki maupun perempuan. Bahkan dibanding anak perempuan korban kekerasan pada anak laki-laki kian meningkat.

Lebih dari lima puluh persen kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan kekerasan seksual. Data yang ada pada Komnas Perlindungan Anak Indonesia menunjukan permasalahan kekerasan seksual terhadap anak mencapai 21.689.797 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa ini adalah permasalahan yang serius dan berhubungan dengan pertumbuhan generasi penerus bangsa. 

Data online yang ada pada Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak, disebut simfoni PPA yang merupakan permasalahan serius dan akan berkolansi pertumbuhan generasi penerus bangsa. 

Petengahan yahun 2020 simfoni PPA menyebutkan angka kekerasan seksual anak adalah angka tertinggi dari berbagai kasus kekerasan seksual anak lainnya, dilansir dari kompas.com pada tanggal 24\Februari 2021.

Secara kuantitas dan kualitas kasus kekerasan seksual pada anak teru meningkat dimana ini menempatkan Indonesia sebagai negara yang berada dalam kondisi serius mengenai kekerasan seksual terhadap anak.

Kondisi ini pun menyebabkan kegentingan kekerasan seksual terhadap anak. Kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan kemanusiaan yang memprihatinkan. 

Dilihat dari segi hukumannya, pemidaan lebih berontientasi pada kepentingan pelaku tidak pada kepentingan anak-anak yang menjadi korban. Hal ini menjadi penyebab dominan bagi tidk efektifnya penerapan sanksi pidana untuk pelaku tindak pidana kekerasan seksual pada anak. 

Pada akhir tahun 2020 dalam  menyikapi terhambatnya penerapan sanksi pidana tembahan tentang kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak ini, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah NOMOR 70 THUN 2020 yang mengatur tentang Teknis Pelaksanaan Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap anak.

Tidak hanya di Indonesia terjadi mengenai pro dan kontra mengenai tindakan kebiri kimia. Penggunaanya sejak penggunaanya pertama kali di tahun 1944 yang diberikan pada patologis untuk mengurangi perilaku seksual, pada tahun 1960 dokter asal Jerman menyuntikkan anti endrogen dalam upaya untuk menggekangperilaku menyimpang paraphiliac laki-laki, tahun 1966 pemberian medroxyprogesteron acetate dalam rangka pengobatan pelanggar seks yang sedang dalam terapi umtuk perilaku pedofil dengan putranya yang berusia enam tahun (Charles L Scott, MD and Trent Holmberg, MD, 2003). Melihat dari hal tersebut bahwa chemical castration telah diterapkan

NegaraRepublik Indonesia bukan negra yang menggunakan  kebiri kimia sebagai hukuman atau perlakuan bagi pelanggar sekai sual. Beberapa negara pun sudah mengizinkan pengggunaan kebiri kimia sebagai sanksi pelanggar kekerasan seksual.  

Pada 1996 California sebagai negara bagian pertama di Amerika Serikat yang menggunakan kebiri kimia untuk pelaku kekerasan seksual yang berulang kali sebagai syarat pembebasan bersyarat. 

Keputusan ini pada akhirnya diikuti oleh negara bagian lainnya, seperti Georgia, Jowa, Lousiana dan Montana. Pada tahun 2011, kebiri kimia diterapkan terhadap pelaku seksual dengan korban anak-anak dibawah usia 14 tahun (The Print, Tuesday, 23 February 2021).

Kondisi yang sangat memprihatinkan tentang perkembangan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak dan pro kontra penerapan sanksi kimia terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak inilah yang akan menjadi fokus analisis dalam essay ini. 

Apakah sanksi kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual pada anak adalah sanksi yang progresif dalam upaya pencegahan anak sebagai korban kekerasan seksual dan mencegah pelaku kekerasan seksual untuk mengulangi lagi kembali perbuatannya atau justru kebali kepada masa penerapan sanksi pada masa prmitif yang lebih mempriotaskan pada unsur pembalasan

Pemidanaan merupakan konsekuensi logis terhadap pelaku tindak pidana. Pemidanaan memiliki dimensi tujuan yang ingin dicapai dari jenis pidana yang dijatuhkan. 

Seiring dengan perkembangan kejahatan pemidanaan pun juga berkembang dari waktu ke waktu. Lembaga yang berwenang menjatuhkan pidana melalui prosedur yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang. Perkembangannya teori pemidanaan berdasarkan pada tujuan yang ingin dicapai dari penerapan pidana tersebut.

Dari waktu ke waktu, teori hukum pidana berkembang. "Teori pemidanaan yaitu teori retributif, teori relatif (deterrence/utilitarian), teori integratif, teori treatment/tindakan dan teori perlindungan sosial (social defence)" (Dwija Priyanto, 2009). Teori ini adalah pengembangan dari teori klasik. 

Seiring dengan perubahan jenis snksi dan falsafah penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana, perkembangan teori tersebut berubah. Teori klasik pemidanaan terbagi menjadi teori pembalasan / retributif, teori tujuan dan teori gabungan.

Berdasarkan falsafah pembalasan teori pemindanaan pembalasan, Immanuel Kant memandang bahwa pelaku tindak pidana mendapatkan pemindanaan sebagai pembalasan atas perbuatan yang telah dilakukan "kategorische imperatif" peidanaan yang dijatuhkan merupakan suatu konsekuensi dari keadilan (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2009). 

Keadilan melalui pemidanaan berdasarkan pandangan teori absolut ini dalam bukunya "Philosophy of Law" Immanuek Kant menyebutkan bahwa pemberian sanksi pidana tidak pernah memiliki tujuan kebaikan lain selain semata-mata sebagai pembalasan atas apa yang sudah perbuatan yang telah dilakukan. Teori pembalasan dalam pemidanaan dalam Muladi dan Barda Nawawi, tidak pernah mempromosikan tentang pembinaan pelaku kejahatan (Muladi dan Barda Nawawi, 2009).

Reaksi pada teori pembalasan ini kemudian memunculkan teori tujuan, pembenaran pada teori tersebut tidak terletak pada sansi yang diterapkan tetapi terletak di tujuan yang ingin dicapai dari penerapan sanksinya. Menurut Wirjono Projodikoro ( 1989) tujuan dalam penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana ada dua. 

Pertama, untuk menakut-nakuti orang banyak (generals preventif) maupun menakuti tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventive)  kedua untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakuka kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat untuk dan bagi masyarakat.

Menurut teori tersebut, pemidanaan lebih mengedepankan tujuan yang ingin dicapai yaitu salah satunya  pemidanaan diharapkan sebagai alat dalam memberikan perlindungan pada masyarakat, juga untuk rehabilitasi dan melakukan resosiliasi pada pelaku. 

Dalam teori tujuan ini sanksi pidaanaa yang dijatuhkan walaupun berupa hal-hal yang tidak menyenangkan dan berupa pengekangan tapi tidak dimaksudkan sebagai sarana untuk merendahkan martabat manusia khususnya yang dimaksud pelaku tindak pidana.

Sebagai reaksi atas kedua teori tersebut Muladi mengemukakan teori pemidanaan yang dikenal sebagai "teori integratif" sebagaimana disebutkan: "Dewasa ini masalah pemidanaan menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari usaha untuk lebih memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak-hak asasi manusia, serta menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional. Untuk ini diperlukan pendekatan multidimensional yang bersifat mendasar terhadap dampak pemidanaan, baik yang menyangkut dampak yang bersifat individual maupun dampak yang bersifat sosial" (Muladi, 2002).

Menurut perspektif utilatarian, Pemidanaan yang dijatuhkan pada pelaku tindak pidana harus memberikan suatu manfaat yang baik dan dapat memberikan konsekuensi  yang bermanfaat yang terlihat buktinya dan pengaruhnya baikbagi pelaku tindak pidana maupun bagi masyarakat. " 

Keadilan tidakboleh melalui pembebanan penderitaan itu sendiri, selain itu pandangan retributivist menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabila tujuan yang theological tersebut dilakukan  dengan menggunakan ukuran prinsip -- prinsip keadilan, contohnya penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebhi ganjaran yang selayaknya diperoleh pelaku tindak pidana tersebut. Oleh karena itu suatu tujuan pemidanaan sangatlah penting sebagai pedoman dalam memberikan dan menjatuhkan pidana " (Muladi, 2002).

Perlu tindak pidana atas  penerapan sanksi pidana penjara yang berat dan serius yangmengoyak nilai-nilai kemanusiaan seperti perkosaan terhadap anak, sebagaimana dikemukakan oleh M Abdul Kholiq dan Ari Wibowo yang menyebutkan bahwa "Di samping itu kecenderungan hakim untuk menjatuhkan jenis sanksi pidana penjara juga terkait dengan faktor sifat tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Sebagai contoh, pada perkara kejahatan yang relatif cukup serius dan mengkoyak nilai-nilai dan martabat. kesetaraan sesama manusia, seperti perkosaan yang menimbulkan trauma panjang pada diri korban, pencabulan terhadap anak di bawah umur yang merusak masa depan korban, persetubuhan tidak sah bersifat incest, dan lain sebagainya. Terhadap jenis tindak pidana yang seperti ini dapat dipahami jika hakim cenderung memilih menjatuhkan jenis pidana penjara sepanjang pilihan pemidanaannya tersebut diorientasikan demi memunculkan dan memberi rasa keadilan kepada korban dan masyarakat, serta memberi efek jera atau pencegahan terhadap pelaku (special prevention) dan masyarakat luas (general prevention)" (M. Abdul Kholiq dan Ari Wibowo, 2016).

Kebiri atau kastrasi adalah teknik paling kuno, cepat, dan murah untuk mencegah kejahatan dan juga untuk teknik KB   (pencegahan kehamilan) yang tidak diinginkan, sebagaimna dikemuukakan Victor T Cheney dalam buku A Brief History of Castration" terbitan tahun 2006. 

Menurut Cheney praktik kebbiri atau kastrasi adalah alat paling kuno yang terbukti ampuh, cepat, dan murah dalam pencegahan kejahatan, kekerasan selain sebagai alat yang mujarab dalam mencegah kehamilan (Djadjat Sudrajat, 2021). Kebiri kimia merupakan cara pencegahan kejahatan yang sudah dikenal lama dan sangat tradisional.

Undang-undang Perlindungan Anak ketentuan Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa:

"Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)."

Ketentuan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa:

"Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)."

Ketentuan mengenai pemberatan sanksi bagi pelakutindak pidana kekerasan seksual terhadap anak ini adalah komitmen pemerintah dalam memberikan perlindungan masyarakat khususnya perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual. Komitmen yang sungguh - sungguh ini ditunjukkan dengan beberapa kali perubahan atas Undang-Undang ini yakni perubahan pertama melalui Undang  -- Undang Nomor 17 tahun 2016 yang memuat pemberatan pidana hingga hukuman mati dan penerapan sanksi tambahan berupa kebiri kimia, pemasangan chip elektronik dan pengumuman identitas pelaku.

Kondisi kekerasan seksual terhadap anak dinilai sudah memasuki tahap kegentingan dan darurat maka penerbitan Perppu menjadi masuk akal dan harus dilakukan. 

Pada bagian menimbang undang-undang ini menyebutkan bahwa anak adalah generasi penerus masa depan dimana kekerasan seksual yang semakin serius dan terus meningkat dapat merusak / mengancam peran anan=k sebagai penerus masa depan.  

Oleh karena itu anak harus dipentingkan perlindungannya. Alih-alih kepentingan pelaku yang sudah merusak harga diri  korban atau anak, Anak lah yang penting karena memiliki masa depan yang lebih panjang.

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 yang mengesahkan Perppu menjadi undang-undang ini mengubah dua pasal dari UU sebelumnya, yakni pasal 81 dan 82, serta menambah satu pasal 81A. Berikut ini isi dari Perppu Nomor 1 Tahun 2016:

"Pasal 81

(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan."

Pasal 81 ayat (7) dan ayat (8) ini mengatur tentang pemberian sanksi tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan chip elektronik. Selanjutnya Pasal ini diubah:

"Pasal 81A

(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.

(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.

(3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah."

Anak korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa akan mengalami penderitaan fisik maupun psikis yang memerlukan waktu yang lama untuk pemulihannya. 

Oleh karena itu diperlukan keberpihakan pemerintah terhadap penderitaan anak korban kekerasan seksual ini dalam suatu perundang-undangan yang konkrit. Negara melalui aparat penegak hukumnya menunjukkan keterpihakannya kepada korban melalui produk peraturan perundang-undangan.

Urgensi perlindungan anak sebagai korban tindak pidana termasuk perlindungan keluarga korban secara filosofis adalah hak dasar,perlunya perubahan paradigna dalam memandang korban secara fiosofis merupakan ha dasar, memandang korban kejahatan khususnya memandang korban kejahatan sebagai objek, Apalagi jika dilihat dari korbannya keahatan tersebut yaitu anak yang merupakan korban kejahatan seksual dari orang dewasa. Perubahan paradigma tersebut diharaokan menghindarkan anak korban kejahatab seksual menjadi korban kedua kalinya (revictimization).

Perlindungan anak secara hukumsudah diatur dalam Undang -- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah melalui Undang -- Undang Nomir 17 Tahun 2016. 

Didalam undang - undang ini diberikan beberapa hak terhadap anak yang menjadi korban kekerasan tindak pidana, adapun hak-haknya yaitu sebagai berikut "hak mendapatkan rehabilitasi, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga, hak mendapatkan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi, pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban ,dan saksi ahli, baik fisik,mental, maupun sosial, hak mendapatkan aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara".

Kebijakan perlindungan anak khususnya perlindungan anak sebagai korban tindak pidana yaitu menjamin terlaksananya semua hak -- hak anak yang diatur dalam peraturan perundang -- unndangan terjamin pelaksanaannya dan semua pihak yang terlibat dan berkewajiban melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan perlindungan anak dapat mengenai tugas dan kewajibannya jadi anak sebagai korban tindak pidana dapat terpenuhi hak -- haknya. 

Pada akhirnya anak-anak ini dapat tumbuh dan berkembang dengan keadaan yang baik yang mendukung pertumbuhan anak dengan sehat dan anak-anak terlindungi dari situasi yang buruk (Nelli Herlina dan Hafrida, 2016).

Sebagaimana dalam Undang -- Undang Perlindungan Anak menurut pengertian anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)  tahun termasuk janin yang berada dalam kandungan (Pasal 1 angka 1).

Marlina menyebutkan anak dalam "Interval tertentu terjadi perkembangan fisik, emosional, dan intelektual termasuk kemampuan (skill) dan kompetensi yang menuju pada kemantapan pada saat kedewasaan (adulthood)" (Marlina, 2009). Sementara menurut Ruben Achmad "Anak bukanlah miniatur orang dewasa, anak mempunyai ciri dan karakteristik tersendiri, sehingga harus diperlakukan secara berbeda (istimewa) pula, sehingga harus memperhatikan hak-haknya, kelangsungan hidupnya di masa depan, dan juga harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak" (Ruben Achmad, 2011). 

Oleh karena itu perlidungan anak dipandang sebagai perlindungan terhadap kelangsungan hidup manusia, perlindungan terhadap generasi penerus bangsa. Perlindungan anak adalah tindakan strategis sehingga perlindungan anak yang diberikan secara dini dan komprehensif dan secara terus menerus.

Saat anak berada dalam posisi sebagai korban tindak pidana,terlebih lagi tindak pidana kekerasan seksual oleh sebab itu perlindungan anak sebagai korban menjadi fokus yang utama tentudidepan hukum perlindungan terhadap pelaku juga diperhatikan.  

Perlindungan untuk anak yang menjadi korban kekerasan seksual salah satunya adalah melalui pemberian sanksi yang maksimal kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Penerapan sanksi yang maksimal dalam perspektif teori pemidanaan tak hanya semata dipandang sebagai pembalasan atas perbuatan kejahatan yang dilakukan. 

Lebih jauh penerapan sanksi juga memiliki dimensi yang lebih luas yakni bsebagai upaya pencegahan agar anak- anak lainnya tak menjadi korban kejahatan yang sama. Selain hal tersebut, uga dengan pemberian tindak lainnya tidak diharapka agar pelaku tak dapat melakukan lagi perbuatannya

Pengekangan kemerdekaan pelaku melalui pemidanaan kehilangan kemerdekaan atau penjara dan melalui tindakan pengibirian secara kimia adalah salah satu tindakan yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan seksual agar tidakmelakukan perbuatannya lagi. 

Pengekangan kemerdekaan kepada pelaku tindak pidaba melalui pidana penjara adalah pengekkangan sementara oleh hakim, sementra pengebirian sevcara kimia dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan ketika pelaku kekerasan seksual kembali ke tengah masyarakat setelah menjalani pidananya.

 Kebiri kimia adalah tindakan tambahan selain sanksi pidana berupa pidana penjara sebagai pidana pokok yang diberian pada pelaku kejahatan seksual oleh anak.

Sanksi tindakan tambahan memandang kebiri kimia dapat diklasifikasikan sebagai tindakan khusus dan tidak biasa yang diperlukan. Kebiri kimia dalam pelaksanaannya dapat dilakukan secara fisik melalui pengangkatan testis melalui oprasi dan cara kedua melalui penyuntikan zat kimia tertentu. 

Tindakan kebiri kimia adalah kebiri yang berbeda dari tindakan kebiri fisik yang berupa melakukan pengengkatan testis melalui operasi.  Tindakan kebiri kimia diberikan melalui penyuntikan zat kimia tertentu yakni penyuntikan zar anti testosteron  Dalam Nugroho Setiawan "Pemicu agar testosteron diproduksi adalah hormon luteinizing yang dikeluarkan kelenjar hypophysis anterior di otak. Nah, zat anti-testosteron membendung kelenjar di otak agar tidak memproduksi hormon pemicu produksi testosteron. Kalau itu ditekan, otomatis testis tidak memproduksi testosteron". 

Zat anti testosteron pengaruhnya sanya sementara. Seperti halnya dengan obat-obat kimia lainnya, zat anti testosterom tergantung oleh batas waktu  (Nugroho Setiawan, 2016). 

Diharapkan melalui kebiri kimia ini dapat mengurangi dorongan seks, fantasi seksual, kapasitas gairah seksual tidak hanya pria tetapi juga untuk wanita. 

Pelaku kekerasan seksual memiiki hormon seks (androgen) / testosteron yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria lainnya sehingga kadar testosteron perlu dikendalikan melalui penyuntikan zat kimia yang dapat menurunkan kadar testosteron tersebut. Penerapan sanksi kebiri kimia tersebut juga perlu dilengkapi dengan terapi kejiwaan bagi pelaku

Sanksi kebiri kimia diharapkan berfungsi selain sebagai terapi pengobatan bagi si pelaku juga berfungsi sebagai upaya pencegahan bagi terjadinya kekerasan seksual teradap anak dan merupakan sarana perlindungan anak agar tidak menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual. 

Melihat kepada fungsi dari kebiri kimia yang demikian luas maka kebiri kimia tidak dapat dipandang secara sempit sebagai suatu sanksi yang tidak manusiawi. Kebiri kimia tidak hanya diterapkan pada pelaku kekerasan seksual tetapi juga diterapkan sebagai terapi hormonal bagi penderita kanker prostat (Alo Dokter, Diakses 25 Februari 2021).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun