***
/Agustus 2013
Sudah hampir seperempat abad kami telah hidup bersama dalam keluarga, dan kebersamaan kami selalu diliputi dengan cinta, entah itu suka atau pun duka, kami telah menjalaninya secara bersama-sama. Hingga pada akhirnya, kebersamaan kami hampir mendekati sebuah perpisahan, dan karena itulah hanya kerelaan dan lapang dadalah yang dipersiapkan.
Kakak perempuanku yang pertama telah memutuskan cintanya untuk belahan jiwa yang telah dipilihnya. Keputusan itu pun telah disepakati bersama secara adat ketimuran berdasarkan tata cara kebiasaan orang Lamaholot. Dan itu terjadi sekitar setahun yang lalu ketika gaung bulan adat bergema dimana-mana, Â memerintahkan semua kepala suku mengumandangkan maklumat untuk memudahkan segala urusan pernikahan dengan mengirimkan delegasi-delegasi.
Aku ingat betul, Ia pernah berjanji pada suatu hari, ketika perbincangan kami larut dalam dialog bersama petang. Aku dan kakak perempuanku yang kedua duduk di atas bale-bale kecil buatan ayah menghadap ke muaknya, sementara di belakangku, ayah berbaring dengan setumpuk kelelahan sepulang dari ladang. Mata kami menyaksikan bulan yang beranjak dari kaki langit dan tergelincir pelan-pelan di dalam bola mata kami. Sambil petang terus melaju dan kokok ayam bersenandung seperti syukur untuk berlalunya hari.
"Nanti kakak sudah selesai kuliah, kakak punya tanggungjawab untuk menyekolahkan kalian." Katanya sambil menyeruput teh panas yang dihidangkan ibu. Aku mengangguk setuju sambil bersenandung mengikuti kokokan ayam. Meski dia sebagai perempuan, tetapi aku menghormatinya sebagai kakak yang paling tangguh. Bapak yang terbaring dengan lelah dan penatnya tanpa pembungkus dada hanya mengatakan, selagi ia masih mampu ia akan tetap berusaha menyekolahkan kami semua anak-anaknya.
Aku tahu perjuangan ayah untutk menyekolahkan kakak perempuanku dan kami semua anak-anaknya. Meski kakak perempuanku yang pertama telah mendapatkan beasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, namun biayanya masih tetap sama. Yang ditanggung pemerintah hanyalah biaya kuliah tapi dengan syarat dan tetek bengek segala macam itu seperti penjara intelektual. Sedangkan biaya sewa kos dan uang makan-minum sehari-hari masih mengharapkan dari orang tua sendiri. Sepengetahuan kebanyakan orang, kalau sudah diongkos pemerintah, itu artinya segala urusan ditanggung pemerintah. Tapi entahlah.
Akhir masa kuliah kakakku yang pertama bertepatan dengan berakhirnya musim panen di kampung halaman. Aku tahu ayah bukanlah orang yang berpendidikan tinggi, bahkan sekolahnya terhenti sebelum ia sempat menamatkan pendidikan dasar, tapi kepintarannya membaca musim tak kalah hebat dengan Cristoforus Colombus ketika menjelajahi samudra.Â
Sepertinya ia telah mempersiapkan segala sesuatu secara diam-diam untuk mempersiapkan hari-hari akhir menjelang masa wisuda kakakku yang pertama. Kakak telah mengirimkan surat untuk ayah beberapa hari yang lalu untuk meminta uang kurang lebih 5juta-an untuk biaya administrasi dan persiapan wisudah. Tidak tanggung-tanggung, ayah menimbang semua kacang tanah hasil panen musim ini pada penimbun. Semuanya, tanpa ada yang tersisa untuk bibit musim depan.
Biayanya semua hasil panen itu persis sama dengan yang diminta kakak. Aku bangga melihat ayah. Sambil menerima uang hasil panen itu, aku melihat sudut mata ayah mengalir butir air mata kebahagiaan. Uasaha dan kerja kerasnya selama musim ini tak sia-sia. Aku berpaling memandang wajah ibu yang berdiri disampingku dan berbisik, "emak, bapa menangis." Ibu kembali memandangku dan mengelus-elus rambutku yang halus. Ibu menggenggam tanganku erat-erat seolah doa yang ia panjatkan merambah dan bergetar ke dalam urat nadiku.
Kami menyimak dengan saksama semua cerita kaka tentng kehidupannya di Kampus, sementara bulan beranjak terus meninggi. Ibu masih bertapa di depan tungku api untuk menyulap makan malam kami. Ibu selalu punya resep tersendiri untuk makanannya ketika kami anak-anaknya kembali ke rumah, ketika liburan sekolah dan liburan kuliah menuntun lagkah kami untuk bergegas lebih lekas, sebab rindu akan kepulan asap dari ibu dan rindu akan aroma tubuh ayah menanti kepulangan kami.Â