"Maka dari itu, aku akan mencarinya. Aku harus menemukan kepastian soal itu."
"Lalu mengapa kau baru mencarinya sekarang?"
"Kami sungguh ingin mencarinya kembali. Tapi kami tak mungkin kembali lagi kemari. Terutama mamaku. Ia sangat trauma dengan apa yang terjadi. Ia juga tak memperbolehkanku untuk kembali ke kota ini. Sampai akhirnya sebelum ia meninggal, aku membujuknya. Dan ia memberi izin padaku untuk mencari papa di kota ini lagi."
Ari mengangguk tanda mengerti. Ia memperhatikan sekali lagi wajah Melani. Keceriaannya yang terpancar di wajahnya seketika musnah setelah menceritakan kenangan pahit dalam hidupnya. Ari sangat mengerti sekali apa yang dirasakan Melani. Tak jauh beda dari diskriminasi yang diterima oleh Rita dan Tomas.
Hal tersebut membuat Ari menaruh simpati pada Melani. Dari yang awalnya menolak ikut campur, kini ia ingin membantu Melani mencari ayahnya. Selain karena kasihan pada masa lalu dan nasib Melani, ia juga mengerti benar bagaimana rasanya kehilangan kedua orang tua. Itu sebabnya Ari merubah pikirannya.
"Aku tak mengerti mengapa mereka dapat bertindak di luar nalar hanya karena masalah ras. Padahal kita ini sama-sama manusia."
Kali ini Ari tak dapat menjawab keluh kesah Melani. Ia hanya menundukkan kepalanya.
"Andai saja Tuhan tidak menciptakan manusia beragam, mungkin dunia akan jadi damai." keluh Melani.
Kepala Ari menoleh Melani kembali. "Mungkin..."
Melani menghela nafas panjang. Ia ingin membuang segala kesedihannya jauh-jauh. Tak ada gunanya menyesali segala sesuatu yang telah terjadi. Toh ia tak dapat mencegah kerusuhan itu terjadi.
"Sudahlah... Yang terpenting sekarang adalah aku harus bisa menemukan kembali papaku. Terima kasih ya sudah membantuku." ujar Melani menoleh ke arah Ari sambil tersenyum simpul.