Mohon tunggu...
AL Wijaya
AL Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis "Target Pertama", "As You Know", "Kembali ke Awal"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Batas (Bab 5)

4 Juni 2019   21:40 Diperbarui: 4 Juni 2019   21:52 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Setelah pertengkaran tadi malam dengan Rita, Ari sengaja melewatkan sarapan. Ia menghindari bertemu dengan Rita. Dirinya sungguh tak ingin melihat wajah Rita selama beberapa hari ke depan. Beruntung saja Tomas juga tidak datang ke kamar Ari untuk menyuruhnya sarapan bersama.

Setelah melihat mobil Rita dan Tomas keluar garasi dari jendela kamarnya di lantai dua, barulah Ari mulai keluar dari kamar. Ia menuruni anak tangga lalu menuju dapur. Di sana, ia mendapati menu sarapan roti panggang serta telur dadar seperti biasanya. Ternyata mereka masih berbaik hati untuk menyisakan makanan untuk Ari.

Ari pun segera menghabiskan sarapannya. Selepas makan, ia membereskan peralatan makan serta merapihkan semua perabot seperti biasanya. Ari melakukan rutinitasnya sehari-hari lagi. Mulai dari makan, cuci piring, bersih-bersih rumah, lalu kembali menonton televisi.

Televisi di ruang tamu menyala menyiarkan acara kartun. Sudah jelas Ari tidak menontonnya. Ia hanya melihat gambar-gambar bergerak tanpa memperhatikannya. Pikiran Ari melayang-layang jauh entah kemana.

Kepala Ari menoleh ke arah jaket di sampingnya. Jaket milik Yandi yang berwarna hitam. Ari pun teringat janjinya untuk mengembalikan jaket tersebut hari ini.

---

Langkah kaki Ari berjalan menyusuri trotoar jalan. Hari ini matahari bersinar cukup terik dari biasanya. Kendaraan juga memadati jalanan cukup ramai. Sepertinya hari ini hari yang sibuk. Baguslah. Artapuri menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Biasanya kota ini sangat sepi bagaikan kota mati.

Ari berjalan menuju Royale Bar yang berada tak jauh lagi dari dirinya. Ia hendak mengembalikan jaket Yandi yang ia pakai dan mungkin akan bermain beberapa buah lagu di sana. Ari sudah menyiapkan beberapa daftar musik mulai dari Beethoven sampai Mozart. Jari-jari tangannya sudah gatal ingin berdansa di atas tuts piano.

Baru saja Ari membuka pintu bar, tiba-tiba ia melihat seorang wanita tengah duduk mengobrol bersama Yandi di meja bartender. Wanita itu tak lain dan tak bukan adalah Melani. Mau apa lagi wanita itu datang kemari?

Melani tak sengaja melirik ke arah Ari. Ia langsung memanggil Ari untuk bergabung dengannya. Bukannya mendatangi Melani, Ari malah keluar bar secepatnya. Ia mengambil langkah seribu menjauh dari Royale Bar.

Mimpi apa Ari semalam? Mengapa bisa bertemu dengan wanita itu lagi? Bukannya kemarin Ari sudah menyuruhnya untuk pulang? Mengapa ia masih berkeliaran di Artapuri? Ari tak habis pikir. Ia terus berjalan dengan kecepatan tinggi.

"Hei tunggu!"

Dari arah belakang, Melani berteriak kepada Ari. Ari menggelengkan kepala. Ia makin mempercepat langkahnya. Ia sungguh tak mau berhubungan dengan wanita itu. Ari tak ingin mendapat masalah.

"Hei!!" Melani berusaha mengejar. Kali ini ia mengenakan celana jeans panjang sehingga gerakkannya lebih leluasa. "Mau pergi kemana kau?"

Tangan Melani menyentuh pundak Ari. Dengan cepat Ari menepisnya. "Bukan urusanmu." Ia kembali berjalan meninggalkan Melani.

Melani tak putus asa. Ia tetap mengejar Ari. "Dengar, kau harus membantuku. Kemarin malam aku sempat berpikir. Sepertinya aku tahu bagaimana cara menemukan papaku. Kita bisa cari informasi di ketua RT."

Kali ini Ari berhenti. Ia berbalik menatap Melani. "Mungkin aku harus meluruskan ini. Yang pertama, jangan pernah memakai kata harus padaku. Yang kedua, tidak ada dan tidak akan pernah ada kata kita diantara kau dan aku. Dan terakhir, aku tak berminat membantumu. Cari saja orang lain!"

"Tapi hanya kau yang kukenal di tempat ini." ujar Melani setengah memohon.

"Aku tak peduli."

"Tolonglah. Aku tahu, kau adalah orang baik. Berbeda dari orang-orang di kota ini."

Ari menarik nafas panjang. Ia kembali berbalik lalu berjalan meninggalkan Melani lagi.

"Aku mohon! Ini wasiat mamaku. Aku harus menemukan papaku." teriak Melani dari kejauhan.

Ari tetap tak menggubris kata-kata Melani. Ia terus berjalan menjauhi Melani. Dirinya tak ingin terlibat masalah lainnya kali ini.

"Kau tak tahu rasanya kehilangan kedua orang tuamu!" teriak Melani.

Dari kejauhan, Melani melihat Ari berbelok ke sebuah gang kecil. Ia telah menghilang. Ya, sepertinya Ari tak sebaik yang Melani kira. Ia sungguh tak peduli padanya. Atau mungkin Melani saja yang terlalu naif. Mana ada orang di kota ini yang peduli pada orang sepertinya.

Melani terduduk lemas di atas trotoar. Ia tak tahu harus bagaimana. Ia sangat ingin bertemu dengan ayahnya. Namun tak ada orang yang mau membantunya. Tak ada yang tahu dimana keberadaan ayahnya sekarang. Alamat yang diberikan ibu pun salah. 

Ia hanya menemui lahan kosong di sana. Melani tak tahu lagi apa yang harus ia perbuat. Lama kelamaan dalam hatinya muncul rasa putus asa. Mungkin memang ia takkan pernah menemukan ayahnya selamanya.

"Aku tahu rasanya."

Tiba-tiba, terdengar suara seorang lelaki yang didengar oleh Melani. Melani langsung melirik ke atas. Ternyata itu Ari. Meski tetap dengan wajahnya yang dingin, akhirnya Ari mau membantu Melani! Melani senang bukan kepalang. Senyumnya langsung merekah.

---

Di bawah terik sinar matahari yang bersinar terang, Ari dan Melani berjalan menyusuri daerah lama kota Artapuri. Terlihat Ari berjalan dengan santai. Di sampingnya, Melani yang mengenakan jaket milik Yandi berjalan beriringan bersama Ari.

"Ternyata kota ini tak seburuk yang aku dengar. Ia punya tempat-tempat yang bernuansa retro seperti ini. Klasik." kata Melani sambil mengagumi bangunan-bangunan tua yang berdiri kokoh di sepanjang jalan.

"Itu bekas gudang senjata semasa penjajahan Belanda." kata Ari sambil menunjuk salah sebuah gedung berarsitektur lawas. Tiang-tiang penyangganya berukuran besar, atapnya berbentuk kubah. "Dulu sempat digunakan sebagai gudang senjata oleh pasukan Belanda sewaktu Agresi Militer sebelum akhirnya direbut oleh penduduk Artapuri."

"Kau cukup mengerti sejarah rupanya ya." kata Melani.

"Sedikit."

"Kalau yang itu?" tanya Melani sambil menunjuk sebuah bangunan tua yang sudah terlihat rusak akibat bekas terbakar.

Ari menoleh ke arah Melani. Ia tak yakin Melani ingin mendengar hal ini.

"Itu... Dulunya bangunan perkantoran orang-orang seperti dirimu." kata Ari. "Tahun 98, saat terjadi kerusuhan, massa membakar gedung tersebut sehingga orang-orang di dalamnya tewas terpanggang."

Melani terdiam sesaat.

"Maafkan aku." ucap Ari dengan nada menyesal.

"Kau tak perlu minta maaf. Itu bukan salahmu." kata Melani lalu tersenyum kecil.

Ari dan Melani pun kembali berjalan. Mereka menyusuri sebuah jalan yang agak ramai pejalan kaki. Ari nampak menundukkan wajahnya. Sepertinya ia masih belum ingin orang lain melihat dirinya sedang berjalan dengan wanita asing.

Orang-orang sekitar mulai melirik ke arah Melani. Mereka memandangi Melani dengan tatapan aneh. Namun entah mengapa Melani seolah tak peduli. Ia tetap berjalan dengan santai tanpa merasa terganggu sedikit pun.

Ari melirik Melani. Ia sungguh merasa heran dengan wanita satu itu. Sangat bermuka tebal. Tidak sadarkah ia sedang berada dimana sekarang?

"Kurasa kau adalah wanita gila." kata Ari.

"Mengapa kau berpikir demikian?"

"Apa kau tak sadar orang-orang tengah memperhatikanmu? Kau gila datang ke Artapuri seorang diri."

"Memangnya apa ada yang salah denganku?" tanya Melani dengan wajah polos.

"Kau berbeda dari kami."

"Oh... Kupikir di papan penanda kota di perbatasan tidak memuat adanya larangan bagi orang Tiong Hoa untuk datang kemari."

Kata-kata Melani yang terlalu jujur membuat Ari langsung menoleh ke arah sekeliling mereka. Ia tak mau orang lain mendengar perkataan Melani yang seperti tidak disaring terlebih dahulu. Benar tebakan Ari, wanita ini memang gila.

"Ssstt!! Jangan mengatakan hal itu di sini!"

"Memangnya kenapa kalau aku keturunan Tiong Hoa?" tanya Melani sambil menarik kedua sudut matanya hingga terlihat semakin sipit.

"Kau!" Ari kehabisan kata-kata.

"Aku tahu kok. Saat ini aku berada di kota paling rasis di Indonesia."

"Lalu kenapa kau berani datang seorang diri?"

Melani melangkah melompati lubang di trotoar.

"Sudah kubilang kan, aku ingin mencari keberadaan papaku yang sudah berpisah lama, sesuai dengan wasiat mamaku."

"Memangnya mengapa kalian berpisah?"

Melani kembali menatap Ari. Ia terhenti sejenak. Ada kata-kata yang seperti sulit untuk dijelaskan.

"Tragedi 98. Kami berpisah saat kerusuhan." Sambil terus berjalan, Melani menceritakan hal yang sempat diceritakan ibunya padanya. "Waktu itu keadaan sangat kacau. Keluarga kami jadi incaran masa. Seperti yang kau katakan karena kami berbeda..."

"..."

"Saat itu, orang-orang sudah masuk ke dalam rumah. Aku yang masih kecil dan mamaku bersembunyi di balik lemari. Papaku menghalau mereka. Dengan bantuan beberapa tetangga, kami berdua bisa kabur. Namun tidak dengan papaku. Ia tetap tinggal untuk mempertahankan rumah kami dari amukan warga. Kami bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal..."

Hati Ari terenyuh mendengar Melani bercerita. Memang kerusuhan yang terjadi di tahun 1998 merupakan kekacauan terburuk yang pernah terjadi di Artapuri. Tindakan anarkisme terjadi di seluruh penjuru kota. Sasaran mereka adalah orang-orang keturunan Tiong Hoa. Mereka menjarah, membakar, bahkan memperkosa gadis-gadis. Membayangkannya saja sudah membuat Ari bergidik ngeri.

Peristiwa itu masih membekas dan menjadi luka lama yang tak bisa hilang di kota ini. Beberapa orang masih menyimpan sentimen pribadi kepada kaum non pribumi. Hingga sekarang intoleransi itu masih menjamur dan menjadi borok di hati sebagian warga Artapuri.

"Maaf kalau aku bertanya, bagaimana kau yakin ayahmu masih hidup? Kau bahkan tak tahu dimana keberadaannya sekarang. Rumah kalian sudah rata tanah kemarin. Mungkin saja kan ia pindah keluar kota?"

"Maka dari itu, aku akan mencarinya. Aku harus menemukan kepastian soal itu."

"Lalu mengapa kau baru mencarinya sekarang?"

"Kami sungguh ingin mencarinya kembali. Tapi kami tak mungkin kembali lagi kemari. Terutama mamaku. Ia sangat trauma dengan apa yang terjadi. Ia juga tak memperbolehkanku untuk kembali ke kota ini. Sampai akhirnya sebelum ia meninggal, aku membujuknya. Dan ia memberi izin padaku untuk mencari papa di kota ini lagi."

Ari mengangguk tanda mengerti. Ia memperhatikan sekali lagi wajah Melani. Keceriaannya yang terpancar di wajahnya seketika musnah setelah menceritakan kenangan pahit dalam hidupnya. Ari sangat mengerti sekali apa yang dirasakan Melani. Tak jauh beda dari diskriminasi yang diterima oleh Rita dan Tomas.

Hal tersebut membuat Ari menaruh simpati pada Melani. Dari yang awalnya menolak ikut campur, kini ia ingin membantu Melani mencari ayahnya. Selain karena kasihan pada masa lalu dan nasib Melani, ia juga mengerti benar bagaimana rasanya kehilangan kedua orang tua. Itu sebabnya Ari merubah pikirannya.

"Aku tak mengerti mengapa mereka dapat bertindak di luar nalar hanya karena masalah ras. Padahal kita ini sama-sama manusia."

Kali ini Ari tak dapat menjawab keluh kesah Melani. Ia hanya menundukkan kepalanya.

"Andai saja Tuhan tidak menciptakan manusia beragam, mungkin dunia akan jadi damai." keluh Melani.

Kepala Ari menoleh Melani kembali. "Mungkin..."

Melani menghela nafas panjang. Ia ingin membuang segala kesedihannya jauh-jauh. Tak ada gunanya menyesali segala sesuatu yang telah terjadi. Toh ia tak dapat mencegah kerusuhan itu terjadi.

"Sudahlah... Yang terpenting sekarang adalah aku harus bisa menemukan kembali papaku. Terima kasih ya sudah membantuku." ujar Melani menoleh ke arah Ari sambil tersenyum simpul.

Ari memandangi senyum di bibir Melani. "Sama-sama. Kita cari ayahmu sampai dapat."

Mereka berdua terus berjalan di atas trotoar hingga menyebrangi sebuah zebra cross di ujung jalan. Tanpa sadar, tubuh keduanya mulai berdekatan satu sama lain. Ari tak sadar jika seluruh cerita yang dikisahkan Melani benar-benar menarik perhatiannya.

---

Di hadapan Ari dan Melani telah duduk seorang bapak-bapak tua berusia hampir 60 tahunan yang Ari yakini sebagai ketua RT tempat rumah Melani yang lama. Terlihat wajah lelaki tua tersebut nampak keriput. Rambutnya sudah banyak beruban. Tatapan matanya sayu.

"Saya tidak mengenal yang namanya siapa tadi?"

"Tan Soe Ping." jawab Melani.

"Namanya seperti jajanan pasar.. Saya tak ingat nama seperti itu." kata lelaki tua itu sambil memasang ekspresi berusaha mengingat sesuatu.

Ari dan Melani saling lirik. Melani pun merogoh tas merahnya. Dari dalam tas tersebut, Melani mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan. Ia meletakkan uang itu di atas meja.

Melihat uang tersebut, kedua mata sang bapak langsung terbuka lebar. Ia langsung menyambar uang yang ada di atas meja. Wajahnya langsung berubah seketika.

"Sepertinya saya ingat sesuatu."

Ari dan Melani saling lirik kembali.

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun