Ari tetap tak menggubris kata-kata Melani. Ia terus berjalan menjauhi Melani. Dirinya tak ingin terlibat masalah lainnya kali ini.
"Kau tak tahu rasanya kehilangan kedua orang tuamu!" teriak Melani.
Dari kejauhan, Melani melihat Ari berbelok ke sebuah gang kecil. Ia telah menghilang. Ya, sepertinya Ari tak sebaik yang Melani kira. Ia sungguh tak peduli padanya. Atau mungkin Melani saja yang terlalu naif. Mana ada orang di kota ini yang peduli pada orang sepertinya.
Melani terduduk lemas di atas trotoar. Ia tak tahu harus bagaimana. Ia sangat ingin bertemu dengan ayahnya. Namun tak ada orang yang mau membantunya. Tak ada yang tahu dimana keberadaan ayahnya sekarang. Alamat yang diberikan ibu pun salah.Â
Ia hanya menemui lahan kosong di sana. Melani tak tahu lagi apa yang harus ia perbuat. Lama kelamaan dalam hatinya muncul rasa putus asa. Mungkin memang ia takkan pernah menemukan ayahnya selamanya.
"Aku tahu rasanya."
Tiba-tiba, terdengar suara seorang lelaki yang didengar oleh Melani. Melani langsung melirik ke atas. Ternyata itu Ari. Meski tetap dengan wajahnya yang dingin, akhirnya Ari mau membantu Melani! Melani senang bukan kepalang. Senyumnya langsung merekah.
---
Di bawah terik sinar matahari yang bersinar terang, Ari dan Melani berjalan menyusuri daerah lama kota Artapuri. Terlihat Ari berjalan dengan santai. Di sampingnya, Melani yang mengenakan jaket milik Yandi berjalan beriringan bersama Ari.
"Ternyata kota ini tak seburuk yang aku dengar. Ia punya tempat-tempat yang bernuansa retro seperti ini. Klasik." kata Melani sambil mengagumi bangunan-bangunan tua yang berdiri kokoh di sepanjang jalan.
"Itu bekas gudang senjata semasa penjajahan Belanda." kata Ari sambil menunjuk salah sebuah gedung berarsitektur lawas. Tiang-tiang penyangganya berukuran besar, atapnya berbentuk kubah. "Dulu sempat digunakan sebagai gudang senjata oleh pasukan Belanda sewaktu Agresi Militer sebelum akhirnya direbut oleh penduduk Artapuri."