Mohon tunggu...
AL Wijaya
AL Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis "Target Pertama", "As You Know", "Kembali ke Awal"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Batas (Bab 3)

4 Juni 2019   19:18 Diperbarui: 4 Juni 2019   19:25 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Rita mengambil sebuah botol pewangi ruangan lalu memindai kode batangnya di mesin pemindai otomatis. Tak perlu menunggu lama, harga benda tersebut langsung muncul di layar komputer kasir. Jumlah total belanjanya pun juga muncul di bagian bawah komputer.

"Total belanjanya Rp 154.300,00" kata Rita kepada sang pembeli sambil memasukkan botol pewangi ruangan tadi ke dalam plastik belanjaan.

Si pelanggan memberi Rita dua lembar uang seratus ribuan. Rita pun menyetornya ke mesin kasir lalu menghitung kembalian.

Hampir 3 tahun sudah Rita bekerja paruh waktu di supermarket Artapuri. Selain ingin membantu ekonomi keluarga akibat gaji Tomas yang tidak seberapa, Rita memang pada dasarnya suka bekerja. Ia tidak bisa tinggal di rumah begitu saja seperti ibu rumah tangga kebanyakan.

Sejak kepergian saudarinya, sebenarnya Rita tak perlu susah payah bekerja sebab Linda telah meninggalkan uang asuransi yang cukup besar bagi dirinya dan untuk pendidikan Ari dan kebutuhan sehari-hari mereka. Rita pun dipercaya sebagai wali Ari hingga ia berumur 20 tahun. Namun Rita merasa bahwa uang itu bukan miliknya sepenuhnya. 

Rita merasa tak berhak menggantungkan hidup dari uang itu. Maka dari itu Rita memutuskan untuk bekerja membantu Tomas mencari uang agar uang peninggalan Linda tak terpakai seluruhnya untuk kebutuhan rumah tangganya.

"Ini kembaliannya. Terima kasih. Silakan berbelanja kembali." ucap Rita ramah kepada pelanggan sambil memberikan kembalian dan struk belanjaan. Pelanggan itu hanya menangguk lalu pergi.

Rita kembali membersihkan meja mesin kasirnya. Ketika sedang sibuk, tiba-tiba Rita mendengar suara bisik-bisik ibu-ibu berkerudung di dekat meja kasirnya. Rita melirik ke arah mereka. Rita sudah kenal betul ibu-ibu itu. Mereka bernama Dina, Jihan, dan Ratna. Sudah menjadi kebiasaan bagi ketiganya untuk bergunjing setelah berbelanja.

"Coba kau lihat dia sekarang... Itu akibatnya kalau murtad." ujar Dina.

"Jadi susah kan. Perempuan kok bekerja. Memangnya suaminya tidak bisa menafkahi?" sambung Jihan.

"Iya, aduh... Jangan sampai keluargaku seperti dia. Banyak sekali azabnya. Sudah hidup susah, tambah mandul pula." imbuh Ratna.

Rita menundukkan kepalanya dan berpaling. Ia pura-pura tak mendengar. Meski tidak menyebut namanya, namun ia paham benar orang yang sedang diperbincangkan ibu-ibu itu adalah dirinya.

Memangnya siapa lagi di Artapuri ini yang murtad selain Rita? Berita tentang kemurtadannya sudah menyebar seantero kota. Semua orang jelas tahu sebab Linda dan Herman adalah orang terpandang di sini. Jadi berita-berita seperti ini sangat cepat tersebar luas dari bibir ke bibir.

Memang benar Rita dulunya adalah seorang muslimah sama seperti Linda. Namun karena menikah dengan Tomas, Rita memilih untuk pindah keyakinan mengikuti suaminya. Padahal Linda dan Herman sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Namun warga Artapuri terlalu mencampuri urusan Rita. Bahkan mereka menyebar rumor bahwa Rita mandul akibat ia pindah agama karena tak kunjung memiliki anak sejak menikah 14 tahun yang lalu.

"Permisi... Maaf ya ibu-ibu kalau mau bergosip di luar saja. Kami lagi sibuk mengatur barang." Tiba-tiba Edo, sang supervisor supermarket usia 40an berjalan melewati Dina, Jihan, dan Ratna sambil membawa sebuah kardus besar. Ketiganya pun langsung bubar. Mereka berjalan keluar supermarket sambil terus mengobrol.

Edo berjalan ke kasir Rita. Ia meletakkan kardus yang dibawanya di atas meja kasir. "Perkataan mereka tak perlu kau masukkan hati." Edo menenangkan Rita.

Rita hanya tertawa kecil. "Memangnya siapa yang masukkan ke hati?"

"Mereka memang begitu. Biasa ibu-ibu tidak punya kerjaan. Mereka hanya mengandalkan suami mereka saja yang bekerja sedangkan mereka sendiri kerjanya hanya ngerumpi, menjelek-jelekkan orang, sambil menonton sinetron tidak bermutu di televisi." Edo mengambil permen diskonan dari dalan kardus lalu meletakkannya di pojok meja kasir Rita.

Rita kembali tertawa. "Oh ya Pak Edo. Minggu depan apa saya boleh ambil cuti? Saya ingin membuat acara peringatan 3 tahun kepergian saudari saya dan suaminya. Nanti saya akan ganti dengan shift lain."

"Oh tentu kau boleh. Ambillah cutimu. Untuk urusan shift nanti biar saya yang atur."

"Terima kasih, Pak Edo." kata Rita.

"Iya, sama-sama." Edo kembali mengangkat kardusnya lalu berjalan ke meja kasir yang lain.

---

Sebuah mesin printer mencetak beberapa laporan keuangan. Sembari menunggu filenya tercetak, Tomas terlihat menghentakkan jarinya di atas mesin printer. Beberapa orang di sekelilingnya mulai tak sabar menunggu Tomas mencetak berkasnya. Mereka terlihat sangat kesal.

Hingga kurang lebih lima menit kemudian, seluruh berkas Tomas telah tercetak dengan baik. Ia pun merapihkan berkasnya lalu berbalik. Ternyata di belakangnya sudah banyak orang mengantri untuk menggunakan mesin printer itu. Tomas hanya tersenyum lalu meminta permakluman dari mereka.

"Maaf, kalian telah menunggu lama." ujar Tomas kemudian pergi meninggalkan tempat itu.

Orang-orang masih memperhatikan Tomas berjalan. Banyak yang tidak menyukai Tomas di tempat kerja. Bukan karena pembawaan Tomas yang terlalu santai, melainkan karena latar belakang Tomas. Tomas adalah pendatang di kota Artapuri. Ia jelas memiliki agama serta budaya yang bertolak belakang dengan apa yang diyakini oleh sebagian besar penduduk Artapuri. Meski tidak disukai, namun Tomas tetap tenang dan selalu murah senyum kepada siapa saja.

Seolah tak menggubris tatapan para rekan kerjanya, Tomas berjalan ke arah ruangan Bambang, manager perusahaan tempat Tomas bekerja yang berusia sekitar 50 tahunan. Tomas berniat memberikan laporan yang baru ia cetak kepada sang manager. Untuk itu, Tomas mengetuk pintu lalu mengucap salam.

"Pagi, Pak Bambang."

"Oh kau Tomas, silakan masuk!"

Tomas pun masuk ke dalam ruangan Bambang dan duduk di kursi berhadapan dengan atasannya tersebut.

"Saya ingin menyerahkan laporan keuangan bulan lalu." kata Tomas sambil memberikan laporannya pada Bambang.

"Wah, cepat sekali! Terima kasih Tomas." ucap Bambang menerima laporan Tomas lalu membacanya sekilas. "Saya suka dengan kinerjamu. Cepat dan sangat teliti."

"Terima kasih, Pak.."

Bambang meletakkan laporan Tomas di atas meja kerjanya. Ia melepas kacamata yang bertengger di kepalanya. Mimik wajahnya berubah menjadi sedikit serius.

"Oh ya, Tomas. Sudah berapa lama kau bekerja di perusahaan ini?" tanya Bambang.

"Ada hampir 10 tahun." jawab Tomas.

Bambang tersenyum. "Terima kasih atas dedikasimu selama 10 tahun ini. Mungkin saya baru dipindah ke kantor ini, tapi saya bisa langsung tahu kemampuanmu. Begini... Saya ingin mengajukanmu untuk kenaikan pangkat. Kau akan mendapat benefit serta tanggung jawab yang lebih besar lagi."

Bagai petir di siang bolong. Tomas sungguh terkejut mendengar perkataan Bambang. Perasaannya benar-benar bahagia. Akhirnya setelah 10 tahun bekerja ada juga atasannya yang melihat kinerjanya.

"Saya akan jadwalkan dirimu seminggu lagi untuk presentasi kenaikan pangkat Bersama para atasan di divisi lain. Kau harus menyiapkan materinya. Besok lusa, kumpulkan padaku. Kita diskusikan dulu sama-sama."

"Baik, terima kasih pak."

Mata Tomas berbinar-binar.

---

Yandi menuangkan minuman ke dalam sebuah gelas lalu memberikannya ke salah seorang pengunjung barnya. Bersamaan dengan itu, Ari datang ke meja bartender. Melihat Ari mendekatinya, Yandi kembali berkelakar.

"Terlalu siang untuk kau mabuk." ucap Yandi.

Ari langsung tertawa. "Aku bahkan belum memesan apapun."

"Kau tak ingin tantemu datang menjemputmu lagi hari ini kan?"

"Tentu tidak. Aku hanya minta segelas soda."

"Baiklah." Yandi pun menyiapkan pesanan Ari.

Selagi Yandi meracik soda untuk Ari, Ari memperhatikan keadaan Royale Bar yang ramai oleh pengunjung. Di antara pria-pria yang berdesakan, Ari berusaha mencari wanita berwajah oriental dan berbaju merah yang tadi sempat ia lihat duduk diantara para pengunjung. Kemana perginya wanita itu? Apakah Ari salah lihat? Mungkin. Mana ada perempuan masuk ke Royale Bar, berwajah oriental lagi. Sungguh mustahil.

"Ini minumanmu. Aku buatkan yang spesial." ucap Yandi sambil menyodorkan segelas soda berwarna cokelat kepada Ari.

Ari mengamati minuman di hadapannya. "Apa ini?"

"Resep terbaruku. Aku mencampur cola dengan kopi dan sedikit kental manis."

"Kau bercanda."

"Tidak. Cobalah! Ini lebih dari yang kau bayangkan."

Alis kanan Ari naik. Ia nampak sangsi dengan minuman yang Yandi buat. Dengan perasaan ragu-ragu, Ari meminum minuman tersebut. Ternyata benar. Rasanya di luar ekspektasinya. Percampuran antara soda dan kopi memberikan rasa yang baru. Ari pun tersenyum puas.

"Bagaimana?" tanya Yandi meminta umpan balik.

"Kau benar. Ini enak." kata Ari.

"Sudah kubilang! Mereka takkan menyebutkamu bartender terbaik se-Artapuri jika aku tak bisa menyajikan minuman yang enak." ucap Yandi dengan nada sombong.

Ari hanya mengangguk mengiyakan. Memang minuman ini enak, ia tak dapat menyangkalnya. Ari pun meneguk minuman itu kembali.

"Hai..."

Tiba-tiba dari arah kanan, wanita berwajah oriental tadi duduk di samping Ari. Menyadari itu, Ari langsung mengatur posisi duduknya agar menjauh sedikit. Ia melirik ke arah Yandi. Yandi hanya mengangkat kedua bahunya lalu pergi melayani pelanggan lain.

"Kau pemain piano tadi kan? Permainanmu sangat bagus. Aku menyukainya." puji wanita itu.

"Terima kasih." jawab Ari dingin.

"Tak kusangka di kota kecil ini ada pemain piano sehandal dirimu."

Ari memperhatikan sekali lagi wanita itu. Nampak berusia sekitar 30 tahunan. Berambut sebahu dengan gaya blow. Bibirnya dipolesi gincu berwarna merah terang. Memakai baju merah yang nampak mahal dan bermerk. Ari bertaruh pasti wanita ini berasal dari kota besar.

"Sungguh beruntung aku mampir di kafe ini. Kupikir aku hanya akan membeli minuman, namun ternyata aku disuguhi oleh pertunjukan musik yang sangat indah olehmu." sambung wanita itu.

Lama kelamaan, Ari mulai risih karena wanita tersebut tidak berhenti bicara. Ari pun membuang mukanya. Ia kembali meminum minuman yang dibuat Yandi tadi.

Menyadari bahwa Ari mulai bosan, wanita pun itu langsung memperkenalkan dirinya.

"Oh ya ngomong-ngomong, namaku Melani. Siapa namamu?" tanya Melani sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

Ari melirik tangan Melani sejenak lalu menjabatnya. "Ari." kata Ari dengan singkat.

Melani mengangguk. "Senang berjumpa denganmu, Ari. Oh ya, sebenarnya tujuanku untuk datang ke tempat ini karena aku ingin mencari keberadaan papaku. Ia tinggal di... Tunggu sebentar."

Melani merogoh ke dalam tas kecilnya. Ari mengintip sedikit. Akhirnya ia berhasil mengeluarkan kertas kecil berisi tulisan alamat di atasnya.

"Jalan Melati nomor 35. Mau kah kau membantuku untuk menemukannya? Maaf, aku tidak berasal dari sini jadi kurang mengenal tempat ini. Aku ingin menggunakan transportasi online, tapi ternyata di tempat ini tidak ada. Dari tadi aku tanya ke orang-orang tapi tidak ada yang menggubrisku."

Ari melirik wajah Melani. Siapa gerangan wanita ini? Mengapa minta tolong seenaknya? Tak sadarkah ia adalah orang asing yang datang di kota macam Artapuri?

"Maaf, aku tak bisa membantumu." kata Ari tegas.

"Tolonglah... Aku baru datang di kota ini. Aku tak tahu kemana aku akan pergi. Aku juga buta peta jadi kurang bisa memahami arah."

"Tolong!" Ari menolak Melani dengan tegas kali ini. "Minta tolonglah ke orang lain."

Setelah berkata demikian, Ari segera mengambil sisa minumannya lalu pergi meninggalkan Melani di meja bartender. Ari sungguh tak habis pikir. Bagaimana ada orang sepertinya? Tak henti-hentinya berbicara. Sungguh akan membuatnya susah saja. Lebih baik segera tolak di awal sebelum Ari mendapatkan kesulitan nantinya.

Ari pun memutuskan untuk duduk di kursi di meja paling pojok. Ia hendak menghabiskan minumannya lalu kembali pulang sebelum matahari tenggelam. Ia tak ingin membuat Rita panik lagi hari ini. Akan panjang urusannya bila itu terjadi.

Sembari duduk, Ari memperhatikan Melani yang masih duduk di bangku meja bartender. Ia terlihat murung. Dalam hati, Ari merasa kasihan juga padanya. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan ia harus datang ke tempat seperti ini. Tapi apalah itu, jelas Ari tak ingin berhubungan dengan orang-orang seperti Melani. Ari tak ingin mendapat masalah.

Tak lama setelah itu, Ari melihat dua orang pria terlihat mendekati Melani. Mereka terlihat menggoda Melani. Salah satu dari mereka bahkan memeluk tubuh Melani dari belakang. Melani pun berusaha melepaskan pelukan pria tersebut dari tubuhnya.

"Sialan." Ari mengutuk.

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun