Mohon tunggu...
AL Wijaya
AL Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis "Target Pertama", "As You Know", "Kembali ke Awal"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Batas (Bab 1)

4 Juni 2019   16:50 Diperbarui: 4 Juni 2019   16:52 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dari arah cermin tengah terpantul wajah Rita yang sangat cemas. Matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Ia sungguh tak tenang. Sedari tadi mulutnya terus komat-kamit mengucapkan kata yang tak jelas.

Malam-malam seperti ini, Rita mengemudikan mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Kedua tangannya menggenggam kemudi mobil. Hingga di persimpangan jalan, ia memutar kemudi ke kanan dengan cukup kencang. Alhasil hiasan berbentuk salib yang tergantung di bawah cermin tengah mobil bergoyang.

Tak lama setelah Rita berbelok, dari kejauhan ia melihat sebuah papan reklame dengan lampu neon berwarna biru dan merah terpasang di tepi kiri jalan. Royale Bar. Akhirnya Rita sampai juga di tujuan.

Setelah memarkir mobilnya di lahan kosong, Rita buru-buru melepas sabuk pengaman di tubuhnya lalu turun dari dalam mobil. Ia bergegas berjalan ke arah bangunan Royale Bar yang berdindingkan kayu mahoni. Ia menaiki anak tangga hingga sampai di pintu utama bar. Meski papan penanda sudah bertuliskan TUTUP, namun Rita tetap membuka pintu itu.

Melihat pintu terbuka, Yandi segera menoleh. Ternyata Rita. Ia datang dengan amat tergesa-gesa. Yandi pun berhenti mengepel muntahan Ari di lantai sejenak untuk menyapa Rita.

"Hai." sapa Yandi.

"Maafkan aku, seharusnya ini tak terjadi lagi. Ini sudah yang ke-31 kan?." kata Rita sambil berjalan ke arah Ari yang duduk di atas sofa dalam keadaan mabuk berat.

"Sebenarnya 32." ucap Yandi.

"Astaga... Berapa banyak yang ia minum?" tanya Rita sembari berusaha mengangkat tubuh Ari.

"Hampir 6 gelas kurasa.." Yandi hendak membantu Rita menggotong tubuh Ari namun Rita menolak. "Aku sudah berusaha melarangnya."

"Tak apa. Bukan salahmu." Rita berhasil menopang Ari di bahunya. Ia pun mengeluarkan 6 lembar uang seratus ribuan dari dalam saku lalu memberikannya pada Yandi. "Untuk semua kekacauan yang ia buat."

"Tidak perlu. Simpanlah. Lagipula ia bermain bagus malam ini, anggap saja sebagai bayarannya."

Rita terdiam sejenak. "Baiklah. Terima kasih. Maaf merepotkanmu. Aku permisi dulu." Rita kembali memasukkan uang ke dalam saku lalu segera membawa Ari keluar dari bar milik Yandi.

"Yakin tak ingin kubantu?" tanya Yandi.

"Aku bisa mengatasinya." kata Rita sambil menyeret tubuh Ari keluar dari pintu bar.

Yandi menggelengkan kepalanya. Kejadian itu seperti sudah biasa baginya. Padahal ia sudah berjanji untuk tidak membiarkan Ari mabuk-mabukan, namun anak itu selalu saja membuatnya luluh.

Yandi kembali mengambil alat pel lalu membersihkan sisa muntah Ari yang masih tercecer di lantai.

Sedangkan di luar bar, Rita membopong badan Ari dengan susah payah menuruni anak tangga. Berat Ari lebih berat sekitar 10 kg dengan tubuhnya. Itu sebabnya Rita sungguh kewalahan.

Dengan tenaga yang ekstra Rita berhasil membawa tubuh Ari yang masih tak sadarkan diri ke arah mobil. Rita segera membuka pintu mobil. Ia memposisikan tubuh Ari untuk duduk di jok penumpang baris depan lalu memasangkan seat belt padanya.

Setelah Ari berhasil dimasukkan dalam mobil, Rita menutup pintu mobil. Ia bersandar di badan mobil sejenak. Rupanya ia sangat kelelahan. Butiran keringat mengucur deras di dahinya. Rita pun menyekanya. Ia nampak mengatur nafas.

---

Di dalam mobil, Rita mengemudi dengan hati-hati. Ia menoleh ke arah kanan dan kiri. Seperti biasa, jalanan Kota Artapuri di tengah malam sangat sunyi seperti tak ada kehidupan. Hanya lampu jalanan yang remang menerangi jalan. Tak ada satu pun kendaraan yang melintas selain mobil Rita.

Menyadari hal itu, Rita menginjak pedal gas lebih dalam lagi. Ia ingin buru-buru tiba di rumah. Kembali ke tempat tidur mungkin akan terasa sangat menyenangkan.

"Ah... Ayah, ibu..."

Kepala Rita menoleh ke arah Ari yang tidur di jok sampingnya. Ternyata Ari mengigau. Ia memandangi wajah Ari. Raut wajahnya nampak tak nyaman. Tubuhnya gelisah.

Hati Rita sedikit terenyuh saat Ari memanggil kedua orang tuanya. Dalam hatinya, ia menyayangi keponakannya itu meski Ari acap kali membuat Rita kesal dengan tingkahnya yang badung. Namun semua itu justru membuat Rita kembali teringat akan janjinya bahwa ia akan selalu merawat Ari.

Rita memperhatikan wajah Ari sekali lagi. Sekilas, Rita mendapati guratan wajah Linda di sana. Rita ingat sekali wajah Linda saat masih muda mirip dengan Ari. Ia tak bisa lupa akan senyum di wajah kakak perempuannya. Kala itu, Linda memiliki senyum yang paling indah satu sekolah sehingga banyak pria yang naksir padanya. Rupanya senyum Linda menurun pada Ari.

"Hhh..." Rita menarik nafas panjang. Ia kembali fokus menyetir. Mobil hitamnya terus melaju membelah kegelapan malam hingga akhirnya hilang termakan kabut yang mulai turun.

---

Mobil yang dikemudikan Rita telah sampai di rumah. Rita pun memarkir mobil tersebut pada tempatnya. Bersamaan dengan itu, seorang pria berpakaian tidur keluar dari dalam rumah. Melihat Rita pulang, pria itu segera mendatanginya.

Rita melepas sabuk pengaman lalu keluar dari dalam mobil.

"Bagaimana keadaannya?" tanya pria itu.

Rita berjalan memutar di depan mobil lalu membuka pintu samping. Terlihat tubuh Ari duduk lemas tak bertenaga. Pria itu pun segera mengeluarkan Ari dalam mobil.

"Seharusnya kau mengajakku." kata pria tersebut.

"Tak apa, Tomas. Kau tidur lelap tadi." ucap Rita yang menutup pintu setelah Tomas berhasil membawa Ari keluar dari mobil.

"Tapi kan kau bisa membangunkanku." Tomas mengangkat tubuh Ari dengan kedua tangannya. Ia berjalan masuk ke dalam rumah. Rita membuntuti mereka dari belakang.

"Mungkin lain kali." kata Rita sambil menutup pintu rumah kembali saat mereka sudah masuk ke dalam rumah.

Tomas menggotong Ari masuk ke dalam kamarnya. Ia meletakkan tubuh Ari di atas kasur perlahan. Ari terlihat sangat kacau. Tomas melirik Rita yang berdiri di ambang pintu sambil menyilakan kedua tangannya di dada. Rita menggeleng lalu pergi.

Melihat itu, Tomas menarik nafas sejenak. Ia kembali menoleh pada Ari. Keadaannya sangat kacau. Bajunya penuh dengan bekas muntah. Tomas pun segera mengambil baju ganti di lemari lalu mengenakannya pada Ari. Setelah itu, Tomas menarik selimut tebal lalu menutup badan Ari. Ia mengusap rambut Ari lalu meninggalkannya sendiri di kamar.

Tomas menyusul Rita kembali ke kamar. Ketika membuka pintu kamar, ternyata Rita sudah berbaring di atas kasur. Tomas kembali menghela nafas lalu berbaring di samping istrinya.

"Aku tahu ini melelahkan untukmu. Untuk itu aku mau kau membaginya juga padaku. Kau tak perlu mengurusnya seorang diri." ujar Tomas.

Rita hanya berbaring dengan mata terbuka. Ia tak menanggapi perkataan Tomas. Tomas yang sadar akan hal itu, mulai menggenggam tangan Rita.

"Ia mengalami masa-masa yang sulit dalam hidupnya. Untuk itu kita harus memberinya kasih sayang yang lebih." kata Tomas.

"Siapa bilang aku tidak menyayanginya? Aku sayang padanya. Ia adalah keponakanku." balas Rita.

"Ya. Aku tahu itu."

"Kita semua mengalami masa yang sulit. Kepergian Linda dan Herman juga membuatku sedih."

"Aku juga begitu, sayang.. Tapi untuknya, berbeda dengan kita, kau tahu itu." Tomas berbalik menghadap Rita. Ia membelai rambut panjang istrinya.

"Hampir 3 tahun. Hampir 3 tahun ia melakukan hal yang sama. Mabuk-mabukan, hidup tidak jelas.." Sebutir air mata menetes dari mata Rita. "Apakah aku salah kalau aku lelah dengan semua tingkah lakunya?"

Tomas memeluk tubuh Rita. "Tidak, Rita. Itu wajar. Tapi coba kau pikir kembali, kalau bukan kita yang memberinya perhatian, siapa lagi? Hanya kita berdua yang dimiliki Ari. Ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi.."

Rita menangis.

"Kau sendiri yang berjanji pada Linda bahwa kau yang akan menjaga Ari, bukan? Lakukanlah hal ini untuk Linda, kakakmu." ujar Tomas.

Dalam benaknya, Rita meresapi kata-kata Tomas. Suaminya benar. Hanya dirinya kerabat yang Ari miliki. Ia tidak boleh menyerah untuk melunakkan sikap Ari. Ia harus bisa membantu Ari melewati masa traumanya. Betapa sulitnya mengubah sifat Ari yang keras dan tertutup, namun ia harus melakukannya. Semua ini untuk janji yang pernah ia katakan kepada Linda sesaat sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Rita menghapus air matanya lalu berbalik ke arah Tomas. Tomas mengangguk sambil tersenyum menguatkan Rita. Rita berusaha tersenyum. Ia memeluk tubuh suaminya lalu mencium bibirnya.

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun