Ketika penglihatannya mulai normal kembali, dia pun kaget, dan hampir saja menangis takut, dia hendak kabur, namun tubuhnya diikat pada sebuah batu cadas lancip yang tertancap ke tanah pasir.
"Ya allah, ini kan daerah Pantai Nusa, kok bisa bisanya aku disini"... guman Marno lirih.
Dia tidak menyangka akan kembali ke tempat tersebut.
Marno hanya bisa terisak tangis, membayangkan dirinya yang mungkin tidak akan selamat di tempat itu, karena dulu, banyak kerabatnya yang tidak kembali setelah datang ke tempat tersebut.
********
20 tahun lalu, sebelum menjadi nelayan, Marno hidup bahagia di daerah Mojo bersama Istrinya, Ayah dan Ibunya juga masih hidup pada saat itu. Makanan berkelimpahan, Istrinya masih perawan nan ayu, serta penurut dan mencintai Marno secara tulus, Rahmat masih kecil dan lucu. Mereka sangat makmur dan tidak kurang-kurang dalam menjalani hidupnya.Â
Pada saat itu, Marno masih berprofesi sebagai Karyawan BUMN di Kota Sampur, serta dijamin kesejahteraannya oleh pemerintahan Prostat.Â
Namun, semuanya berubah ketika Ayah dan Ibu Marno meninggal secara aneh, mereka ditemukan mati mengenaskan di daerah pantai Nusa.
Saat itu, Marno sangat terpukul dan menyesal, "kenapa harus secepat ini terjadi", pikirnya waktu itu. Tidak lama setelah itu, ekonominya lambat laun mulai berubah, tiba-tiba, perusahaan BUMN tempatnya bekerja, mengalami penurunan kinerja ekosistem, sehingga mau tidak mau, manajer atas harus melakukan perampingan organisasi. Sehingga, para tenaga kerja lama yang sudah hampir menginjak kepala tiga seperti Marno, harus rela di keluarkan dari perusahaan.
Atas kejadian tersebut, dirinya memilih pindah ke daerah Nusa, yang sekarang ia tinggali tersebut. Disitulah ia memilih bekerja sebagai Nelayan, untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya.Â
*******