Nama : Alma Zahra TanjungÂ
Nim : 23010400151
Mata Kuliah : Komunikasi MassaÂ
Dosen Pengampu : Sofia Hasna S.I.Kom., M.A
Universitas Muhammadiyah JakartaÂ
Pengertian RUUÂ
RUU adalah singkatan dari Rancangan Undang-Undang yaitu sebuah peraturan yang belum disahkan, ditandatangani dan berkekuatan hukum mengikat diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebuah RUU ketika telah dibahas lalu disahkan dan ditandatangani oleh pihak berwenang yaitu presiden maka mempunyai kekuatan hukum mengikat menjadi undang-undang (UU).Â
Proses Pembentukan RUUÂ
Proses pembentukan RUU diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Berikut adalah tahapan-tahapan dalam proses pembentukan RUU:
1.Perencanaan RUU (Bab II Bagian Kedua Perpres 87/2014);
2.Penyusunan RUU (Bab III Bagian Kesatu Perpres 87/2014);
3.Pembahasan RUU (Bab IV Bagian Kesatu Perpres 87/2014);
4.Pengesahan/penetapan RUU menjadi UU (Bab V Bagian Kesatu Perpres 87/2014); dan
5.Pengundangan UU (Bab VI Bagian Kesatu Perpres 87/2014).
Kontroversial RUU Penyiaran
Ketua fraksi partai kebangkitan DPR RI Aida Fauziyah berharap undang-undang penyiaran yang sedang dibahas di DPR RI mampu mendamaikan kepentingan masyarakat dan industri penyiaran itu sendiri.
 Hal ini penting mengingat kita menyadari dampak negatif dari siaran-siaran yang terjadi akhir-akhir ini yang justru berujung pada peningkatan kejahatan seksual, biadab, dan tidak manusiawi terhadap anak.
 “Penyiaran publik adalah milik kita semua dan sebagai rumah bangsa harus dilindungi dan dihargai bersama demi kepentingan bangsa dan negara yang sebenarnya merugikan negara bukanlah kebebasan yang tidak dibatasi,'' kata Aida Fauziyah.
Akan tetapi Perubahan Undang-Undang Penyiaran mendapat kritik keras dari banyak masyarakat. Meskipun pada awalnya reformasi ini diharapkan dapat memberikan keadilan bagi industri penyiaran di era media digital, kini terdapat kekhawatiran bahwa reformasi tersebut dapat mengancam kebebasan pers.
 Salah satu yang kontroversial adalah larangan menyiarkan konten investigasi eksklusif, sebagaimana diatur dalam pasal 50 B ayat 2. Selain pemberitaan investigasi, ada juga 10 jenis program dan konten yang dilarang karena dianggap tidak mematuhi aturan Standar Isi Siaran (SIS).
 Adapun Pasal-Pasal yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi terdapat pada:
Pasal 50B ayat (2)
•larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi;
•larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender;
•larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik.
Pasal 8A huruf q
menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran
Pasal 42Â
•Muatan jurnalistik dalam Isi Siaran Lembaga Penyiaran harus sesuai dengan P3, SIS, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
•Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Â
Pertama, pelarangan jurnalisme eksklusif mencerminkan keengganan pemerintah memperbaiki politik nasional.
 Alih-alih menggunakan produk pemberitaan investigatif sebagai alat untuk mengendalikan kelangsungan kehidupan nasional, pemerintah memilih menutup saluran informasi tersebut.
 Hal ini bukanlah suatu fenomena yang mengejutkan mengingat pemerintah Indonesia yang anti-kritis, tidak berorientasi pada perbaikan, dan enggan memikirkan budaya.
 Kedua, pelarangan penayangan konten siaran dan konten yang menggambarkan perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ+ dan semakin membatasi peluang mereka untuk berekspresi serta dapat melanggengkan karya jurnalisme budaya yang tidak inklusif
 Ketiga, pemerintah melakukan penyalahgunaan kekuasaan secara berlebihan melalui pasal-pasal yang menekan demokrasi berkedok perlindungan dari penghinaan dan pencemaran nama baik, yang semakin dibenarkan dalam UU Penyiaran.
 Alih-alih mempersempit ruang lingkup kriminalisasi bagi jurnalis dan masyarakat pada umumnya, keberadaan pemberitaan yang fleksibel ini justru memperluas cakupannya.
 Keempat, pemerintah berupaya membatasi independensi Dewan Pers dan berfungsinya UU Pers.
 Pasal 8A(q), serta ayat 42(1) dan (2) rancangan revisi UU Penyiaran, menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara KPI dan Dewan Pers. Pasal ini juga menghilangkan Kode Etik Jurnalis dan UU Pers sebagai acuan dalam menilai siaran produk jurnalistik serta mengalihkan penilaian pada penggunaan P3 dan SIS. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam mekanisme penyelesaian sengketa media. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta meminta Presiden Jokowi dan DPR RI untuk: Pertimbangkan kembali urgensi perubahan UU Penyiaran. Menghapus pasal-pasal bermasalah yang dapat melanggar hak kebebasan pers dan hak masyarakat atas informasi. melibatkan Dewan Pers dan organisasi masyarakat sipil, dengan memberikan perhatian khusus pada isu-isu yang tumpang tindih.
Problematika revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran di Indonesia telah menimbulkan kontroversi dan kekhawatiran terkait dengan kebebasan pers dan independensi jurnalistik. Berikut adalah beberapa isu yang menjadi perhatian:
Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Revisi UU Penyiaran dapat mengancam hak asasi manusia, terutama dalam penyelesaian sengketa jurnalistik. Jika RUU Penyiaran berlaku dan UU Pers masih dipertahankan, maka terjadi tumpang tindih kewenangan yang dapat mengganggu independensi Dewan Pers
Pengabaian Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan: Revisi UU Penyiaran tidak memenuhi standar teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang disebutkan dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini dapat mengganggu kestabilan hukum dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap proses pembentukan undang-undang
Perluasan Kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI): Perluasan kewenangan KPI dapat mengancam independensi jurnalistik. KPI dipilih oleh lembaga politik, sedangkan Dewan Pers adalah lembaga independen yang memiliki komposisi anggota yang seimbang antara organisasi jurnalis, perusahaan media, dan masyarakat
Larangan Jurnalisme Investigasi: Pasal 50B ayat 2 dalam RUU Penyiaran melarang penayangan konten eksklusif investigasi, yang dinilai bertentangan dengan Pasal 4 Ayat 2 UU Pers yang melindungi pers nasional dari penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran. Larangan ini dapat membungkam kemerdekaan pers dan mengganggu kebebasan berekspresi
Dampak pada User-Generated Content: Perluasan definisi penyiaran yang mencakup dunia maya dapat mengancam kebebasan berekspresi di platform digital, termasuk konten yang dibuat oleh pengguna, seperti User-Generated Content yang dapat menghambat kebebasan berekspresi publik
Kewenangan KPI dalam Menyelesaikan Sengketa Jurnalistik: Pemberian kewenangan kepada KPI untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik dapat tumpang tindih dengan UU Pers yang telah memberikan kewenangan yang sama kepada Dewan Pers. Hal ini dapat mengganggu independensi Dewan Pers dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap proses penyelesaian sengketa jurnalistik
Berdasarkan hal tersebut di atas, LBH Pers dan AJI Jakarta meminta Presiden Jokowi dan DPR RI untuk:Â
-Pertimbangkan kembali urgensi perubahan UU Penyiaran.
 -Menghapus pasal-pasal bermasalah yang dapat melanggar hak kebebasan pers dan hak masyarakat atas informasi.
 -Melibatkan Dewan Pers dan organisasi masyarakat sipil, dengan memberikan perhatian khusus pada isu-isu yang tumpang tindih.
Hal Positif Terkait RUU Penyiaran
Walaupun terdapat beberapa faktor yang ditolak oleh Masyarakat sebenarnya terdapat hal positif dalam pembaruan RUU penyiaran antara lainnya adalah :
1. Mengakomodasi Platform Digital: RUU baru diharapkan dapat mengatur penyiaran di platform digital, seperti streaming online dan media sosial, yang sebelumnya tidak tercantum dalam UU Penyiaran lama. Hal ini penting untuk menciptakan keadilan dan keseimbangan antar platform.
 Peluang ekonomi baru: Platform digital membuka peluang ekonomi baru bagi industri penyiaran. RUU baru diharapkan dapat mendorong dan melindungi investasi di platform digital, sehingga membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan negara.
 Perlindungan Konsumen: Konsumen harus dilindungi dari konten berbahaya dan menyesatkan di platform digital. RUU baru ini diharapkan dapat mengatur secara lebih jelas standar konten dan mekanisme pelaporan pelanggaran.
 2. Penguatan kelembagaan: Penguatan akuntabilitas KPI: Diharapkan struktur dan kewenangan KPI diubah agar lebih akuntabel dan profesional dalam menjalankan mandatnya.
Mekanisme pemberian sanksi yang lebih tegas: Diharapkan terdapat mekanisme pemberian sanksi yang lebih tegas dan efektif terhadap pelanggaran penyiaran yang dapat menimbulkan efek jera.
 Meningkatkan partisipasi masyarakat: Diharapkan ada mekanisme yang lebih baik untuk melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan regulasi dan pengawasan penyiaran.
 3.Meningkatkan Kualitas Penyiaran: Meningkatkan konten lokal: Diharapkan ada aturan yang mendorong peningkatan produksi dan penayangan konten lokal yang berkualitas.
 Pelindungan anak: Diharapkan ada aturan yang lebih tegas untuk melindungi anak dari konten yang berbahaya dan tidak sesuai dengan usia mereka.
Daftar Pustaka :
https://news.detik.com/berita/d-6819563/perbedaan-ruu-dan-uu-pengertian-dan-proses-pembentukannyaÂ
Ashrianto, Panji Dwi. (2015). Studi Kesiapan Lembaga Penyiaran Terhadap Penerapam Sistem Penyiaran Berteknologi Digital di Yogyakarta. Jurnal Ilmu Komunikasi
Republik Indonesia. (2002). Undang Undang No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Lembaran Negara RI Tahun 2002. Sekretariat Negara. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H