Persis seperti yang saya pelajari saat di bangku kuliah. Cerita dan juga sastra, dapat memberikan efek pencerahan atau katarsis bagi penikmatnya. Dalam beberapa karya, pengarang mampu menghadirkan suasana yang seolah pembaca benar-benar melihatnya, menyentuhnya, merasakannya. Pembaca merasakan ia adalah bagian dari cerita.
Terlebih jika ada kesamaan peristiwa yang terjadi antara isi cerita dan pembacanya. Saat kita membacakan atau memperdengarkan sebuah dongeng untuk pasangan berarti memberi kesempatan bagi kita untuk belajar tentang nilai-nilai luhur kehidupan seperti kebersamaan, kesederhanaan, kesabaran, keyakinan, ketekunan, dan keberhasilan.
Kita ambil contoh cerita Bawang Merah dan Bawang Putih. Sosok Bawang Putih yang lugu, ceria, bersahaja, dan penyabar, memberikan hasil imbalan akan rezeki yang melimpah, kesehatan, dan usia yang panjang. Demikian sebaliknya, sosok Bawang Merah yang pemalas, iri, manja, memberikan hasil imbalan akan kegelisahan, kebencian, dan kegamangan hidup. Dan saat kita menceritakan kisah-kisah nusantara, maka secara tidak langsung kita juga sedang mengenalkan sekaligus melestarikan khazanah budaya bangsa berikut kebijakan ketimurannya.
Lantas, bukankah saat ini kita hidup di era teknologi? Ketika peranti musik berbayar menjadi tak lagi berarti? Ketika outlet penjualan telah beralih ke fitur layar sentuh? Tidak perlu lagi harus membeli tapi bisa dengan mengunduh? Tidak perlu lagi harus membuka halaman tapi cukup dengan menggeser layar? Dan jika bosan tinggal beralih pintasan? Dengan pertimbangan kesibukan dan atas nama efektivitas, bukankah mengirim sebuah cerita melalui pesan atau media jejaring sosial adalah lebih efektif?
Faktor proses inilah yang saat ini menjauh dari karakter generasi milenial. Atas nama kecepatan, maka plagiasi dan pembajakan menjadi sebuah kebiasaan dan ketergantungan. Atas nama kemudahan, maka depresi dan pelanggaran menjadi sebuah keutamaan. Tidak dapat dipungkiri jika teknologi dapat mempermudah hidup. Dan juga tidak terbantahkan jika teknologi juga berpeluang untuk menghancurkan hidup.
Mari ambil sebuah ilustrasi, esok pagi pasangan kita akan memasuki hari ulang tahunnya. Sebagai pasangan yang baik, tentu kita akan memberikan perhatian.
Hal pertama yang bisa jadi akan dilakukan adalah: mengiriminya pesan singkat sebagai bentuk perhatian, memberinya ucapan selamat ulang tahun melalui videoblog ataupun teleconference. Namun saya yakin, di mana pun posisi kita saat melakukannya, masih ada kegelisahan sebelum kita menemuinya langsung dan sekaligus memberi pasangan kita kejutan.
Saat kita menceritakannya langsung, ada proses berbicara dan mendengar, ada proses memberi dan menerima, ada proses rekonstruksi dan reimajinasi. Ada proses kesabaran, kesungguhan, dan kebersamaan. Pahami bahwa dalam kehidupan ini ada hal-hal yang tidak tergantikan kecuali dengan terlibat langsung.
Dan, tren yang terjadi saat ini adalah ada semacam keutamaan bagi para marketer khususnya dan pemimpin bisnis pada umumnya untuk memiliki keterampilan bercerita atau story telling. Tidak sekadar dalam arti khusus menghafal semua cerita. Namun dalam arti umum adalah memanfaatkan kekuatan elemen cerita untuk mendukung tujuan pembicaraan.
Tengoklah iklan-iklan audiovisual dari berbagai perusahaan yang masuk dalam daftar Top 500 versi The Fast Company atau Forbes. Lihat dan imajinasikan efek sebuah minuman kemasan terhadap dunia tanpa rasa takut seperti dalam “Sleepwalker”-nya Coca-Cola. Inilah daya penceritaan (corporate story telling) yang sesungguhnya, mengungkapkan kerumitan pesan namun dengan cara yang sangat sederhana.
Membiasakan diri untuk bercerita, meski itu “hanya” menceritakan kisah yang sudah ada, pada saat yang sama sebenarnya kita juga sedang merangkai daya kreasi dan imajinasi ke dalam pikiran kita. Semakin banyak hal yang kita ceritakan, asumsinya semakin banyak pula hal yang kita dan pasangan dapatkan. Seperti sebuah ungkapan, “saat satu orang mengajar, akan ada dua orang yang belajar.”