Mencari maisyah adalah tanggung jawab utama seorang pemimpin rumah tangga. Islam telah mengajarkan bahwa untuk sebuah tujuan yang baik juga harus dilakukan dengan cara yang baik. Dengan ungkapan senada, tidak boleh menghalalkan segala cara.
Pernahkah di antara kita menemukan, atau malah pernah merasakan, di satu waktu mendapatkan rezeki yang begitu melimpah, seolah datang dari berbagai penjuru dan mengalir tanpa henti? Dan kemudian hanya dalam hitungan jam atau hari tiba-tiba kita mendapatkan hampir sebagian besar rezeki tadi telah habis digunakan. Baik untuk tujuan membayar utang, melunasi pembayaran, membelikan hadiah, atau membiayai perawatan rumah. Rezeki seolah begitu cepat datang namun juga cepat menghilang.
Ada baiknya jika kemudian kita kembalikan pada tujuan dan cara kita mendapatkannya. Adalah hal yang lumrah jika saat diberi cobaan berupa kenikmatan kemudian manusia menjadi lalai dari mengingat Allah SWT. Bisa jadi tujuan kita bekerja adalah untuk memperkaya diri sendiri dan bukan sebaliknya: melayani, alih-alih ibadah.
Setiap terjadi penawaran projek maka kita akan selalu berupaya untuk memenanginya. Kita menjadi begitu serakah dan lupa diri. Atau dalam proses kita bekerja ada hal-hal yang dilarang oleh agama namun tetap kita kerjakan seperti memalsukan data, merendahkan martabat orang lain, menggelapkan uang, menyalahgunakan wewenang, atau mengambil kebijakan yang bertentangan dengan nilai keluhuran.
Korupsi tentu adalah salah satu contohnya. Perilaku ini begitu menggurita. Tidak sebatas uang atau jabatan tetapi juga korupsi waktu. Saat berjanji untuk mengadakan pertemuan dengan klien, ternyata kita datang terlambat dari jadwal yang disepakati sehingga membuat orang lain harus menunggu. Dan sebagai akibatnya, pertemuan itu berlangsung menjadi lebih lama.
Berkaitan dengan uang, kebiasaan untuk menggampangkan perhitungan keuangan juga telah mewabah. Saat kita menerima kembalian lebih dan kemudian kita berjanji untuk mengembalikan esok hari, tiba-tiba kita melupakannya dengan alasan, “Ah, cuma sedikit, tidak seberapa, toh nanti ia juga bakal lupa.”
Dongeng adalah ejawantah kehidupan. Ada banyak nilai-nilai keluhuran yang bisa kita dapatkan melalui dongeng. Isi ceritanya memang berupa rekayasa, namun perlu diingat bahwa ia adalah cerminan dari kehidupan nyata. Kita mungkin tidak akan pernah menemukan putri duyung, ular naga, atau penyihir dalam kehidupan nyata. Tetapi kita akan selalu menemukan tabiat atau karakter yang dimiliki oleh para tokoh tersebut di dalam kehidupan kita sehari-hari.
One Night One Tale® sebenarnya adalah cara kita untuk belajar tentang kehidupan bagi diri kita dan pasangan kita. Sempatkan waktu dalam satu malam untuk membagikan sebuah cerita dongeng kepada pasangan kita. Menjelang waktu tidur merupakan waktu prima untuk melakukannya.
Saat saya kecil, saya sering tertidur dalam buaian kasih Ibu, yang dengan cintanya, senantiasa menceritakan kisah-kisah dan dongeng menjelang saya tidur. Dua dongeng yang masih saya ingat hingga saat ini adalah Ande-ande Lumut dan Joko Kendil. Kisahnya masih tersusun secara rinci dalam alam bawah sadar saya. Terlebih kebijakan yang menyertainya.
Kabar baiknya adalah Anda dapat menafsirkannya melalui sudut pandang Anda. Beberapa hari terakhir ini saya membiasakan untuk menyiapkan beberapa cerita dongeng yang akan saya perdengarkan untuk istri menjelang tidur. Termasuk kedua dongeng yang saya sebutkan sebelumnya.
Saat menemukan dan membacanya, saya baru menyadari bahwa ada beberapa unsur cerita yang tidak saya temukan dalam dongeng yang saya dapatkan. Ternyata, Ibu saya dulu telah menambahi dengan beberapa penceritaan melalui sudut pandang yang Ibu miliki. Ibu menciptakan lagu sendiri, merekayasa humor, dan memberikan teka-teki ke dalam beberapa dongeng yang Ibu ceritakan. Hasilnya, penceritaan menjadi lebih hidup dan mudah diingat.
Persis seperti yang saya pelajari saat di bangku kuliah. Cerita dan juga sastra, dapat memberikan efek pencerahan atau katarsis bagi penikmatnya. Dalam beberapa karya, pengarang mampu menghadirkan suasana yang seolah pembaca benar-benar melihatnya, menyentuhnya, merasakannya. Pembaca merasakan ia adalah bagian dari cerita.
Terlebih jika ada kesamaan peristiwa yang terjadi antara isi cerita dan pembacanya. Saat kita membacakan atau memperdengarkan sebuah dongeng untuk pasangan berarti memberi kesempatan bagi kita untuk belajar tentang nilai-nilai luhur kehidupan seperti kebersamaan, kesederhanaan, kesabaran, keyakinan, ketekunan, dan keberhasilan.
Kita ambil contoh cerita Bawang Merah dan Bawang Putih. Sosok Bawang Putih yang lugu, ceria, bersahaja, dan penyabar, memberikan hasil imbalan akan rezeki yang melimpah, kesehatan, dan usia yang panjang. Demikian sebaliknya, sosok Bawang Merah yang pemalas, iri, manja, memberikan hasil imbalan akan kegelisahan, kebencian, dan kegamangan hidup. Dan saat kita menceritakan kisah-kisah nusantara, maka secara tidak langsung kita juga sedang mengenalkan sekaligus melestarikan khazanah budaya bangsa berikut kebijakan ketimurannya.
Lantas, bukankah saat ini kita hidup di era teknologi? Ketika peranti musik berbayar menjadi tak lagi berarti? Ketika outlet penjualan telah beralih ke fitur layar sentuh? Tidak perlu lagi harus membeli tapi bisa dengan mengunduh? Tidak perlu lagi harus membuka halaman tapi cukup dengan menggeser layar? Dan jika bosan tinggal beralih pintasan? Dengan pertimbangan kesibukan dan atas nama efektivitas, bukankah mengirim sebuah cerita melalui pesan atau media jejaring sosial adalah lebih efektif?
Faktor proses inilah yang saat ini menjauh dari karakter generasi milenial. Atas nama kecepatan, maka plagiasi dan pembajakan menjadi sebuah kebiasaan dan ketergantungan. Atas nama kemudahan, maka depresi dan pelanggaran menjadi sebuah keutamaan. Tidak dapat dipungkiri jika teknologi dapat mempermudah hidup. Dan juga tidak terbantahkan jika teknologi juga berpeluang untuk menghancurkan hidup.
Mari ambil sebuah ilustrasi, esok pagi pasangan kita akan memasuki hari ulang tahunnya. Sebagai pasangan yang baik, tentu kita akan memberikan perhatian.
Hal pertama yang bisa jadi akan dilakukan adalah: mengiriminya pesan singkat sebagai bentuk perhatian, memberinya ucapan selamat ulang tahun melalui videoblog ataupun teleconference. Namun saya yakin, di mana pun posisi kita saat melakukannya, masih ada kegelisahan sebelum kita menemuinya langsung dan sekaligus memberi pasangan kita kejutan.
Saat kita menceritakannya langsung, ada proses berbicara dan mendengar, ada proses memberi dan menerima, ada proses rekonstruksi dan reimajinasi. Ada proses kesabaran, kesungguhan, dan kebersamaan. Pahami bahwa dalam kehidupan ini ada hal-hal yang tidak tergantikan kecuali dengan terlibat langsung.
Dan, tren yang terjadi saat ini adalah ada semacam keutamaan bagi para marketer khususnya dan pemimpin bisnis pada umumnya untuk memiliki keterampilan bercerita atau story telling. Tidak sekadar dalam arti khusus menghafal semua cerita. Namun dalam arti umum adalah memanfaatkan kekuatan elemen cerita untuk mendukung tujuan pembicaraan.
Tengoklah iklan-iklan audiovisual dari berbagai perusahaan yang masuk dalam daftar Top 500 versi The Fast Company atau Forbes. Lihat dan imajinasikan efek sebuah minuman kemasan terhadap dunia tanpa rasa takut seperti dalam “Sleepwalker”-nya Coca-Cola. Inilah daya penceritaan (corporate story telling) yang sesungguhnya, mengungkapkan kerumitan pesan namun dengan cara yang sangat sederhana.
Membiasakan diri untuk bercerita, meski itu “hanya” menceritakan kisah yang sudah ada, pada saat yang sama sebenarnya kita juga sedang merangkai daya kreasi dan imajinasi ke dalam pikiran kita. Semakin banyak hal yang kita ceritakan, asumsinya semakin banyak pula hal yang kita dan pasangan dapatkan. Seperti sebuah ungkapan, “saat satu orang mengajar, akan ada dua orang yang belajar.”
Simak kisah berikut tentang bagaimana melalui cerita sebuah perusahaan mampu membuat sebuah perubahan yang mengagumkan. Pada akhir tahun 1990-an, raksasa di bidang makanan cepat saji Subway meluncurkan kampanye untuk mengiklankan satu jenis sandwich baru.
Kampanye itu didasari oleh statistik: tujuh sandwich memiliki kandungan lemak di bawah enam gram. Sepanjang berkaitan dengan statistik, itu cukup baik – sedikit penggunaan gaya bahasa aliterasi membuat kita lebih sehat. Tetapi “7 di bawah 6” tidaklah melekat seperti kampanye Subway yang berikutnya, yang memfokuskan pada cerita yang mengagumkan dari seorang mahasiswa bernama Jared Fogle.
Jared memiliki masalah berat badan yang serius. Pada saat mencapai tahun ketiga di universitas, berat badannya menggelembung menjadi 193 kg. Ia mengenakan baju seukuran XXXXXXL, ukuran terbesar yang tersedia di toko-toko khusus untuk orang-orang yang tinggi besar. Ukuran pinggangnya 150 cm.
Ayah Jared seorang dokter umum di Indianapolis, telah mengingatkan anaknya tentang berat badannya selama bertahun-tahun tanpa banyak hasil. Lalu, satu hari di bulan Desember, teman sekamar Jared, seorang mahasiswa kedokteran, melihat bahwa pergelangan kaki Jared membengkak.
Ia dengan tepat mendiagnosisnya sebagai edema, sebuah kondisi di mana tubuh menahan cairan karena darah tidak dapat cukup mentransportasikan cairan. Ini sering mengarah pada diabetes, masalah jantung, dan bahkan serangan jantung secara dini. Ayah Jared memberitahukan bahwa, mengingat berat badannya dan kesehatannya secara umum, ia kemungkinan tidak dapat hidup lebih dari tiga puluh lima tahun.
Menjelang liburan musim semi setelah kunjungan ke rumah sakit di bulan Desember, Jared memutuskan untuk membuat tubuhnya lebih kurus. Termotivasi oleh kampanye iklan “7 di bawah 6” ia menikmati sandwich kalkun pertamanya. Ia menyukai sandwich itu, dan akhirnya ia mengembangkan dietnya sendiri, yang semuanya ia beli di Subway: sandwich sayuran sepanjang tiga puluh sentimeter untuk makan siang dan kalkun sepanjang lima belas sentimeter untuk makan malam.
Setelah tiga bulan “diet Subway”, seperti yang dinamakannya, ia menimbang dirinya. Timbangan menunjukkan angka 150 kg. Berat badannya turun 43 kilogram dalam waktu tiga bulan sejak ia makan di Subway.
Ia mempertahankan dietnya selama beberapa bulan kemudian, kadang-kadang berat badannya turun sampai setengah kilogram per hari. Segera setelah kesehatannya memungkinkan, ia mulai jalan sebanyak mungkin, tidak naik bus ke kampus dan bahkan menaiki tangga ketimbang naik eskalator di department store.
Cerita tentang penurunan berat badan Jared ini menjadi fenomena nasional dimulai dengan sebuah artikel yang diterbitkan di Indiana Daily Student pada bulan April 1999. Artikel itu ditulis oleh Ryan Coleman, seorang mantan teman sekamar Jared. Coleman bertemu Jared setelah ia kehilangan berat badan dan hampir-hampir tidak mengenalinya.
Artikel itu diakhiri dengan kutipan dari Jared, “Subway membantu menyelamatkan hidup saya dan memulainya kembali. Saya tidak akan pernah dapat membayarnya kembali.” Ini mungkin untuk pertama kalinya sebuah jaringan makanan cepat saji dipuji karena berhasil mengubah hidup seseorang secara begitu mendalam dan positif: melalui cerita.
Mata rantai kunci dalam jalinan cerita ini adalah pemilik waralaba Subway yang bernama Bob Ocwieja, yang membaca artikel itu dan melihat potensinya. Ia mengambil waktu dari jadwalnya untuk menghubungi pengarah kreatif agen periklanan Subway di Chicago, seorang pria bernama Richard Coad, dan menyarankan agar memeriksa artikel itu. Coad mengatakan, “Saya hampir tertawa pada awalnya, tetapi kami benar-benar menindaklanjutinya.”
Iklan pertama diputar pada 1 Januari 2000, tepat waktu untuk epidemik tahunan berkaitan dengan Resolusi Tahun Baru yang berkaitan dengan diet. Iklan itu memperlihatkan Jared di depan rumahnya. “Ini Jared,” kata narator. “Dulu beratnya 193 kilogram. Kita melihat foto Jared dengan celananya yang lama dengan ukuran pinggang 150 cm.
Tetapi hari ini beratnya 82 kilogram berkat apa yang disebutnya sebagai Diet Subway.” Narator itu kemudian menguraikan program makan Jared, lalu menyimpulkan, “Diet itu, digabung dengan banyak berjalan, berhasil untuk Jared. Kami tidak mengatakan bahwa ini akan berhasil untuk setiap orang. Anda perlu mengecek dengan dokter sebelum memulai program diet apa pun. Tetapi diet ini berhasil untuk Jared.”
Tiga hari berturut-turut setelah iklan tayang, sang presiden biro iklan menerima telefon dari USA Today, ABC, Fox News, dan terakhir dari Oprah Winfrey. Dari Jared kita belajar sekali lagi, bagaimana cebuah cerita mampu membangun resonansi emosi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H