Kami berdua pun masuk rumah. Rahmat lekas mengganti seragam dengan baju rumah, sedangkan aku mengambil handuk kecil serta sebaskom air dingin untuk meredakan darah yang keluar, dengan cara mengompres pada leher dan di atas hidung. Aku melepas lelah dengan duduk di kursi.
"Masih sakit, Kak?" khawatir Rahmat.
"Lumayan, tapi sekarang agak mendingan. Tadi Mamet nunggu Kakak lama ya?" tanyaku.
"Lumayan, Kak. Tadi Kakak habis dari mana?"
"Rumah Pak Romli."
"Pak Romli? Guru ngajinya Rahmat?" tanya ia heran.
"Iya, kenapa Met?"
"Gak apa-apa, Kak. Mamet senang kalau Kakak sudah kenal akrab dengan Pak Romli. Orangnya ramah dan sabar, Kak." Pujinya.
"Iya, nanti kapan-kapan kita silaturahim ke rumahnya. Gimana kalau besok sore? Besok hari Minggu, Mamet punya waktu luang toh?"
"Boleh Kak." Jawabnya sembari duduk di sampingku.
Darah yang keluar dari hidung masih merembas dan membasahi handuk. Aku jadi teringat akan masa laluku. Terakhir kali hidung berdarah, disaat aku berada di bangku kelas empat SD. Saat-saat yang memalukan, tetapi menjadikan kenangan yang tak akan terlupakan di masa kecilku.