Mohon tunggu...
Ali Wasi
Ali Wasi Mohon Tunggu... Lainnya - Aparatur Sipil Negara

Seorang ASN dari Tahun 2015 s.d. sekarang, yang semula gemar menulis cerita fiksi menjadi rutin menulis analisis informasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Menggenggam Dunia (11) Jatuh Hati

11 Mei 2024   06:10 Diperbarui: 11 Mei 2024   06:43 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika tiba di depan rumah, aku melihat Rahmat dengan berseragam olahraga dan menggunakan tas punggungnya, sedang bermain bola menggunakan sundulan kepala, kedua paha, bahu, dan tentunya kedua kaki. Sungguh hebat dia memainkan bola layaknya pemain profesional. Mungkin dia telah terbiasa bermain bola bersama temannya, sehingga dengan amat mudah ia menari bersama bola.

Melihat Rahmat seakan melihat masa laluku saat bermain bola di SMA. Tetapi untuk seumuran Rahmat, hal ini termasuk luar biasa. Bayangkan saja, aku bisa lancar bermain bola ketika berumur sebelas tahun, sedangkan Rahmat dengan tubuh kecilnya yang berumur delapan tahun sudah lebih mahir.

Aku selalu membandingkan Rahmat dengan pribadiku sendiri. Semakin lama aku semakin mengenali Rahmat persis dengan diriku saat masa kecil. Perbedaannya hanya dari status sosial. Aku keturunan orang berada, sedangkan ia turunan dari orang yang amat berkecukupan, bahkan bisa dibilang juga kekurangan.

Daritadi aku terus memperhatikan gerak-gerik Rahmat yang asyik memainkan bola. Perlahan aku mendekati tepat di belakangnya, niat jahat untuk mengagetkannya terlintas dalam benakku. Serasa ingin tahu, bagaimana ekspresi kaget dari bocah perawakan kecil berkulit putih ini.

Belum sempat untuk mengejutkannya, tiba-tiba sasaran bola menuju tepat di wajahku. Bruk. Auw. Bola yang telah terkotori debu itu, menepuk keras terutama di bagian hidung. Sehingga, hidungku keluar darah alias mimisan.

"Kak Arkan?" kagetnya yang baru menyadari keberadaanku.

"Mamet?" jawabku sedikit bercanda meniru gerakan kaget Rahmat.

"Maaf Kak, Mamet tidak sengaja. Mamet gak tahu, kalau ada Kakak di belakang Mamet. Maaf Kak." Ibanya memohon sambil menunduk.

"Yah, lagian Kakak juga yang tadinya niat ngagetin Mamet, hehe. Eh, malah Kakak yang kena kejutan dari bolanya. Gak apa-apa, lagian, ini bisa cepat sembuh." Jawabku sembari menahan darah yang keluar dari hidung.

Rahmat terlihat menyesali perbuatannya. Apabila berada di posisi Rahmat, mungkin aku akan sangat menyesal telah mencelakakan orang hingga terluka.

"Ya sudah, ayo masuk." Ajakku semangat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun