Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Salah Profesi atau Salah Mengambil Jenjang Pendidikan?

26 Maret 2021   14:24 Diperbarui: 29 Maret 2021   14:11 1695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabik, hanya ilustrasi, bukan untuk melecehkan profesi (foto: jateng.tribunnews.com)

Katakanlah mengelas bodi mobil. Si Manajer produksi harus punya pengetahuan seluk-beluknya, tapi tidak harus menguasai praktiknya. 

Praktik pengelasan itu dikerjakan oleh mereka yang berada di level teknis. Bagian teknis (tukang las) tidak perlu menguasai seluruh proses pembuatan bodi mobil, cukup paham dan ahli saja dalam bidangnya, ya itu, ngelas tadi.

Dalam hal pendidikan, level manajerial tadi seharusnya menjadi lahannya para lulusan strata 1 (sarjana). Sementara level teknis, itu adalah bagiannya lulusan diploma III ke bawah (ahli madya), termasuk juga dari lulusan SMK.

Begitu pun di bank, lulusan S1 ya masuknya manajerial makanya ada yang disebut dengan manajemen trainee (bagi fresh graduate S1) yang akan diarahkan untuk memegang posisi itu. Sementara level teknis seperti teller tidak perlu dipegang oleh lulusan S1, cukup D-III atau bahkan SMK kekhususan ekonomi sekalipun.

Atau dalam dunia penyiaran. Lulusan S1 mestinya berada dalam level manajerial tadi, misalnya saja dalam perancangan program. Sementara kameramen, editor video, dan sebagainya, serahkan kepada lulusan D-III yang spesifik mempelajari hal itu.

Celakanya, dunia kerja saat ini juga terseret untuk "gaya-gayaan" merekrut pegawai yang tingkat pendidikannya tinggi hanya untuk sebuah pekerjaan yang lebih rendah. Ya itu, masak iya untuk jadi sales produk, teller, bagian las, saja harus merekrut S1?

Lulusan S1, sejatinya, selain menjadi pekerja di level manajerial ke atas untuk bidang-bidang tertentu, juga diarahkan untuk menjadi ilmuwan (termasuk peneliti, pengamat, dan sebagainya). 

Makanya, banyak jurusan-jurusan yang "tidak jelas" profesinya nanti apa. Misalnya, jurusan biologi, astronomi, geologi, fisika, matematika, perbandingan agama, kitab suci, sosiologi, antropologi, kriminologi, dan sebagainya.

Mereka yang bergelut dalam jurusan ilmu "murni" ini jelas akan kesulitan jika ditanyai "kalau lulus kamu kerjanya apa?" tadi. Coba saja bayangkan, masak iya lulusan S1 kriminologi disuruh praktik!

Begitu pun dengan mereka yang S2 dan S3. Ya tujuannya adalah untuk memperdalam ilmu, baik ilmu terapan maupun ilmu murni. Misalnya, jika sudah menjadi manajer bank, tak ada salahnya mengambil S2 untuk memperdalam pemahamannya. Atau, menjadi ilmuwan tadi, menjadi dosen atau peneliti misalnya.

Jadi, kalau sekadar salah profesi sih masih bisa dinikmati, belok belok dikit tak masalah, jauh pun kenapa tidak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun