Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Salah Profesi atau Salah Mengambil Jenjang Pendidikan?

26 Maret 2021   14:24 Diperbarui: 29 Maret 2021   14:11 1695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi salah profesi (Sumber: iStockphoto/scyther5) )

Ketika seseorang memiliki sebuah pilihan atau masuk sebuah jurusan di perguruan tinggi, pertanyaan yang paling umum ditanyakan adalah, "Kalau masuk jurusan itu, nanti kerjanya jadi apa?"

Beberapa bisa menjawab dengan pasti. Ada yang bisa menyebut banyak profesi. Tapi banyak pula yang kesulitan menjawabnya dengan pasti.

Kalau anak kedokteran sih gampang, jawabannya ya jadi dokter. Kalau anak hukum, kalau nggak jadi hakim, jaksa, pengacara, atau mungkin konsultan hukum. 

Lalu kalau anak komunikasi? Sosiologi? Biologi? Fisika? Sastra Indonesia? Arkeologi? Atau bahkan jurusan seperti Tafsir Hadits, Perbandingan Agama, dan sebagainya? Kenapa? 

Karena memang tidak semua program studi (prodi) mengarahkan lulusannya pada profesi yang spesifik. Sebagian terbuka, bahkan ada yang sangat terbuka untuk profesi apapun.

Sebuah perguruan tinggi, ketika membuka program studi (prodi) tentu saja mereka berharap agar lulusannya kelak dapat diserap di lapangan kerja. 

Pun sebaliknya dengan para mahasiswa. Ketika mereka masuk sebuah program studi atau jurusan, juga berharap mendapatkan ilmu yang ditawarkan dan nantinya dapat bekerja dalam bidang yang sesuai.

Bagi sebagian prodi, kriteria "sesuai" antara ilmu dengan lapangan pekerjaan itu juga beragam, ada yang bener-bener tegas, ada yang abu-abu, atau bahkan banyak pula yang tak jelas alias cair.

Mari kita lihat dulu bagaimana program studi mengarahkan lulusannya pada lapangan pekerjaan. Sebut saja ini sebagai kategori, meski dalam banyak hal tidaklah selalu sebuah garis yang tegas yang tidak bisa dilanggar.

1. Keahlian Spesifik, Profesi Spesifik
Ada banyak prodi yang mengarahkan lulusannya pada keahlian spesifik dengan profesi yang juga spesifik. 

Profesi spesifik di sini artinya, tidak ada lulusan dari prodi lain yang diperbolehkan menjalani profesi ini dengan berbagai alasan, terutama dalam hal legalitas atau hukum profesi.

Jurusan-jurusan yang masuk dalam kategori ini, misalnya kedokteran, hukum, notaris, psikologi, keperawatan, dan sebagainya. Ini pun masih bisa ada spesifikasinya lagi, misalnya hukum pidana, hukum perdata, psikologi klinis, psikologi sosial, dan sebagainya.

Sebagai contoh, kalau mahasiswa masuk jurusan/fakultas kedokteran (termasuk juga kedokteran gigi atau kedokteran hewan), profesi yang sesuai nantinya ya jadi dokter (umum, gigi, hewan). Jika kemudian ia malah jadi bankir, itu jelas salah jurusan. Niat ke utara, malah ke selatan, dan gak ada nyambung-nyambungnya.

Seorang kawan saya, lulusan kedokteran, sudah mengantongi izin praktik dokter, tapi sampai sekarang tak pernah bener-bener menjadi dokter. 

Ia malah bekerja di LSM internasional yang mengurusi penanganan penyakit lepra. Apakah dia salah profesi? Ya, bisa dikatakan tidak seratus persen salah profesi.

Jika dokter yang mengerjakan profesi lain dengan risiko hanya disebut "salah profesi", sebaliknya, kalau ada lulusan jurusan lain yang jadi dokter, pastilah ia akan dianggap sebagai "dokter gadungan" yang berpotensi berhadapan dengan hukum.

Jika masuk ke jurusan seperti ini, saingan untuk mendapatkan profesi itu ya hanya datang dari lulusan-lulusan dengan jurusan yang sama.

2. Keahlian Spesifik, Profesi Terbuka
Ada juga jurusan-jurusan yang mengarahkan mahasiswanya untuk menguasai bidang keahlian yang spesifik, tetapi profesinya terbuka. Misalnya Teknik Elektro. Mana sebetulnya profesi yang pas? Apa jadi pegawai PLN bagian sambungan? 

Mungkin. Tapi bisa juga ragam profesi lainnya. Selama masih ada kaitannya dengan elektronik, tak bisa dikatakan salah profesi. Misalnya saja buka bengkel reparasi TV, kerja di pabrik bagian teknis elektroniknya, dan sebagainya. Begitu pun dengan jurusan lain seperti Teknik Mesin, Teknik Industri, Arsitektur, dan lain sebagainya.

Untuk jurusan seperti ini, sebuah profesi, bisa saja diperebutkan oleh lulusan-lulusan dari jurusan lain. Hanya saja, lulusan dari jurusan ini pasti akan jauh lebih memiliki peluang yang tinggi.

3. Keahlian Terbuka, Profesi Terbuka
Banyak program studi yang masuk dalam kriteria seperti ini. Meski kurikulumnya mengajarkan keahlian tertentu, tapi keahlian itu juga bisa dikuasai oleh orang-orang dari jurusan yang lain. Misalnya saja jurusan Ilmu Komunikasi. 

Banyak prodi komunikasi yang mengarahkan kemampuan mahasiswanya pada bidang public speaking, jurnalistik, broadcasting, advertising, dan sebagainya.

Keahlian yang diajarkan, termasuk juga calon profesinya nanti akan sangat terbuka dan akan berhadapan dengan lulusan dari jurusan lain. Misalnya, public speaking juga bisa saja dikuasai oleh orang-orang sastra. Advertising bisa berebut dengan lulusan seni, dan sebagainya.

Begitu pun dengan jurusan, jurusan seperti Sastra Indonesia, Sastra Inggris, dan sebagainya.

Kesenjangan antara Studi dan Lapangan Kerja

Tabik, hanya ilustrasi, bukan untuk melecehkan profesi (foto: jateng.tribunnews.com)
Tabik, hanya ilustrasi, bukan untuk melecehkan profesi (foto: jateng.tribunnews.com)
Kategori-kategori di atas ini sangat berkaitan dengan realitas profesi itu sendiri di lapangan yang sangat cair dan seringkali mengabaikan (atau tak akrab) dengan jurusan-jurusan yang ada di perguruan tinggi. Begitu pun soal jenjang pendidikannya.

Sebut saja bank, secara sederhana, orang-orang yang bekerja di bank (operasional ya, bukan pendukung seperti sekuriti, sopir, OB), harusnya yang memiliki basis pendidikan ekonomi. Entah itu manajemen, akuntansi, dan sebagainya. Tapi realitasnya? 

Banyak lulusan dari jurusan lain yang juga diterima, entah itu dari komunikasi, sosiologi, bahkan hingga teknik dan pertanian pun juga ada. 

Atau dalam industri media yang lekat dengan ilmu komunikasi. Banyak lulusan lain yang menjadi jurnalis atau wartawan, termasuk juga para pembawa acara berita.

Bagaimana keruwetan ini bisa terjadi? 

Penyebab paling utama adalah adanya salah kaprah pemaknaan jenjang dengan level pekerjaan.

Dalam sebuah pekerjaan, setidaknya ada dua golongan besar, manajerial dan teknis. Manajerial berkaitan dengan pengelolaan yang bersifat lebih umum, sementara teknis berkaitan dengan pengelolaan yang lebih spesifik.

Kita ambil contoh dalam sebuah pabrik yang memproduksi mobil. Pekerja di level manajerial, katakanlah manajer produksi. 

Ia harus bisa memahami seluruh rangkaian produksi, dari hulu sampai hilir, tapi ia tak harus menguasai salah satu keahlian. 

Katakanlah mengelas bodi mobil. Si Manajer produksi harus punya pengetahuan seluk-beluknya, tapi tidak harus menguasai praktiknya. 

Praktik pengelasan itu dikerjakan oleh mereka yang berada di level teknis. Bagian teknis (tukang las) tidak perlu menguasai seluruh proses pembuatan bodi mobil, cukup paham dan ahli saja dalam bidangnya, ya itu, ngelas tadi.

Dalam hal pendidikan, level manajerial tadi seharusnya menjadi lahannya para lulusan strata 1 (sarjana). Sementara level teknis, itu adalah bagiannya lulusan diploma III ke bawah (ahli madya), termasuk juga dari lulusan SMK.

Begitu pun di bank, lulusan S1 ya masuknya manajerial makanya ada yang disebut dengan manajemen trainee (bagi fresh graduate S1) yang akan diarahkan untuk memegang posisi itu. Sementara level teknis seperti teller tidak perlu dipegang oleh lulusan S1, cukup D-III atau bahkan SMK kekhususan ekonomi sekalipun.

Atau dalam dunia penyiaran. Lulusan S1 mestinya berada dalam level manajerial tadi, misalnya saja dalam perancangan program. Sementara kameramen, editor video, dan sebagainya, serahkan kepada lulusan D-III yang spesifik mempelajari hal itu.

Celakanya, dunia kerja saat ini juga terseret untuk "gaya-gayaan" merekrut pegawai yang tingkat pendidikannya tinggi hanya untuk sebuah pekerjaan yang lebih rendah. Ya itu, masak iya untuk jadi sales produk, teller, bagian las, saja harus merekrut S1?

Lulusan S1, sejatinya, selain menjadi pekerja di level manajerial ke atas untuk bidang-bidang tertentu, juga diarahkan untuk menjadi ilmuwan (termasuk peneliti, pengamat, dan sebagainya). 

Makanya, banyak jurusan-jurusan yang "tidak jelas" profesinya nanti apa. Misalnya, jurusan biologi, astronomi, geologi, fisika, matematika, perbandingan agama, kitab suci, sosiologi, antropologi, kriminologi, dan sebagainya.

Mereka yang bergelut dalam jurusan ilmu "murni" ini jelas akan kesulitan jika ditanyai "kalau lulus kamu kerjanya apa?" tadi. Coba saja bayangkan, masak iya lulusan S1 kriminologi disuruh praktik!

Begitu pun dengan mereka yang S2 dan S3. Ya tujuannya adalah untuk memperdalam ilmu, baik ilmu terapan maupun ilmu murni. Misalnya, jika sudah menjadi manajer bank, tak ada salahnya mengambil S2 untuk memperdalam pemahamannya. Atau, menjadi ilmuwan tadi, menjadi dosen atau peneliti misalnya.

Jadi, kalau sekadar salah profesi sih masih bisa dinikmati, belok belok dikit tak masalah, jauh pun kenapa tidak. 

Lulusan pertanian kerja di bank, ya nggak apa-apa, kan masih ngurusin bunga, hehe... atau mungkin juga kan ngurusin CSR bank itu dengan membuka kemitraan dengan petani.

Yang seringkali bikin nyesek itu ya tadi, ketika jenjang pendidikan "ketinggian" dibandingkan dengan pekerjaan yang didapatkannya. Sudah mahal-mahal kuliah S2 atau bahkan S3, kok "cuma" jadi teller, kasir, bagian pembukuan, atau bagian ngelas dan masang baut. Sudah gitu, gajinya, sama pula dengan lulusan SMK atau D-III.

Tentu saja ini bukan soal boleh-nggak boleh, atau untuk menghinakan dan meninggikan jabatan atau jenjang pendidikan. 

Kalau Anda lulusan S3 psikologi dan asyik-asyik saja jualan bakso keliling, ya siapa pula yang melarang, kan bisa saja sambil membuka konsultasi bagi pelanggannya. 

Toh pada akhirnya, pilihan di tangan Anda, nasib dan rezekinya di tangan Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun