"Entahlah..." katanya. "Anak-anakku sudah berkeluarga semua. Mungkin sudah saatnya aku memikirkan usaha lain, atau mungkin kembali ke Batumi ke tempat asalku dulu. Di sana mungkin masih bisa bertani atau apalah..."
"Memangnya Bapak masih bisa bertani dan masih punya lahan?"
Pak Yedid tersenyum pahit, "Itu juga. Tanganku ini sudah terlalu lembek, tak pernah bekerja keras lagi. Tapi apa lagi yang bisa kulakukan? Kalau tetap di sini dan tanpa penghasilan, ya susah juga, mau makan apa?"
Soso terdiam. "Apa yang bisa saya bantu, Pak?"
Lelaki itu menggeleng, "Kali ini tampaknya tak ada lagi yang bisa kaulakukan untuk membantuku. Diskusi buku di sini takkan lagi mempan. Malah akan membuatku tambah diawasi!"
"Biar saya pikirkan dulu, Pak!" kata Soso.
"Terimakasih, tapi jangan terlalu memaksa. Ada hal-hal yang mungkin di luar kuasamu..." katanya.
*****
Toko bukunya Gege Imedashvili juga bernasib sama. Ia hanya sedikit lebih beruntung karena masih bisa menjalankan usahanya yang lain, kedai kopinya.
"Mungkin aku akan membalikkannya," kata Gege. "Kalau sebelumnya ini adalah toko buku yang menyediakan minuman, besok-besok mungkin aku akan menjadikannya kedai minuman yang menyediakan buku-buku..."
"Mau membuatnya menjadi dukhan?[1]" tanya Soso setengah bercanda.