Soso diam sejenak, "Ya sudah, terimakasih infonya. Aku coba mampir juga ke sana, tanya-tanya..."
Said mengangguk lalu meninggalkannya, dan masuk ke dalam lingkungan sekolah, meski istirahat masih cukup panjang.
Gara-gara informasi itu, Soso mengurungkan niatnya ke Sarang Setan. Ia malah berjalan lurus ke arah lapangan Yerevan dan berbelok. Kemana lagi kalau bukan mampir ke toko buku Pak Yedid yang sudah agak lama tak dikunjunginya.
Saat Soso tiba, lelaki Yahudi itu tampak duduk lesu di balik mejanya. Rak-rak bukunya tampak banyak yang kosong.
Pak Yedid menyambutnya tanpa semangat. "Habis sudah usahaku So..." katanya, saat Soso duduk di depannya. "Sekarang saja sudah rugi banyak, karena buku yang disita jumlahnya tak sedikit, nyaris sepertiga buku yang ada di sini."
"Nggak diganti, Pak?"
Pak Yedid menggelengkan kepalanya, "Boro-boro. Aku malah diancam, kalau berani lagi menjual atau menyewakan buku-buku itu, aku bisa dihukum..." jawabnya. "Apalagi yang bisa kulakukan? Setelah ini tampaknya toko bukuku akan sepi, atau mungkin malah bangkrut!"
Soso menghela nafas. Ia teringat informasi yang didapat oleh si Kamo saat ia menemui pamannya yang tentara itu. Rupanya betul kabar soal adanya badan sensor di Tiflis itu. Dan sekarang mereka mulai bergerak.
"Kan masih banyak buku yang lain, Pak..." kata Soso, meski ia sendiri tahu, akhir-akhir ini buku-buku begitu memang laris dan dicari, menggeser minat pembaca dari sastra. Sastra pun yang laris ya sastra yang kritis.
"Buku macam apa lagi?" kata Pak Yedid, "Dulu aku senang waktu kau bikin diskusi di sini, terus toko bukuku mulai ramai lagi, ya buku-buku seperti itulah yang ramai peminatnya. Kalau yang lain-lain, kau tahu sendiri lah..."
"Terus, rencana Bapak?"