Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (111) Senko Menjadi Kamo

21 Maret 2021   22:52 Diperbarui: 22 Maret 2021   21:26 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Episode Awal Vol. III: (101) Digantung Status

Episode Sebelumnya: (110) Dewasa dan Alim?

*****

Liburan di Gori kali ini cukup menyenangkan bagi Soso. Mungkin ini liburan pertamanya yang tak diganduli terus oleh si Bonia. Semua berkat si Abel yang terang-terangan ngomong pada Soso menyukai adik tirinya itu. Soso sama sekali tak peduli. Kalau si Abel serius ya silakan, nggak serius, cuma senang-senang saja di usianya yang masih puber itu juga gak ada urusan.

Si Bonia sendiri, entah juga menyukai anak itu atau tidak. Hari-harinya selalu bersama si Abel. Atau jangan-jangan ia hanya mencoba mengalihkan dirinya sendiri dari Soso. Dan itu bagi Soso melegakan. Setidaknya anak itu tak lagi terus-terusan menggodanya, yang seringkali juga membuatnya lupa diri.

Gara-gara itu pulalah ia malah main gila sama sahabatnya si Bonia, Lisa Akopova, cewek blasteran Rusia-Georgia itu. Semuanya mengalir begitu saja. Tak ada rasa penyesalan pada dirinya, dan ia juga lumayan tenang karena Lisa juga tak seperti Bonia yang rada-rada posesif atau obsesif.

Hal lain yang menenangkan Soso karena si Lisa juga mirip-mirip dengan Natela, tak pernah ngomongin apa-apa, tak pernah menaruh harapan, tak pernah merencanakan apa-apa. Satu-satunya yang diucapkan gadis itu kepada Soso saat pamitan hendak kembali ke Tiflis hanyalah kalimat yang terdengar biasa:

"Kalau pulang ke Gori, jangan lupakan aku ya!"

Itu saja. Bukan, "Sering-sering pulang ya," atau "jangan lupakan aku ya," apalagi, "jangan deket-deket dengan cewek lain ya, awas!"

No. Ia hanya ingin 'diingat.' Soso bisa merasakan sendiri perbedaannya. Setidaknya, itulah yang ia rasakan.

Satu-satunya yang Soso takutkan hanyalah 'hubungannya' dengan Lisa terdengar oleh sahabatnya, si Seva. Bukan rahasia lagi, si Seva menyukai anak itu, sejak dulu, sejak masih sama-sama bocah. Dulu Soso sendiri tak terlalu memperhatikannya, mungkin karena ia terus diganduli si Bonia, atau mungkin karena gadis itu belum terlihat daya tariknya seperti sekarang.

Rasanya nggak enak aja kalau sampai si Seva tahu. Anak itu seperti kehilangan minat pada hal apapun, minatnya pada sekolah --menjadi pendeta misalnya---tak kelihatan, berbeda dengan teman Gorinya yang lain, si Peta yang serius dan tambah alim. Diajak nakal pun juga seperti kehilangan minatnya juga. Nantilah, mungkin ada hal yang bisa membuatnya bergairah lagi, entah apa...

Soal itu, sama sekali bukan karena rasa bersalahnya 'merebut' si Lisa, tapi pada dasarnya, Soso memang peduli pada kawan-kawannya, sepanjang temannya itu juga layak dipedulikan.

Dulu, ia sempat sangat peduli dengan si Said Devdariani, kawan sekelasnya yang kemudian menjadi kawan baiknya di Kamar Terkutuk, kamar isolasi buat siswa penyakitan itu. Tapi setelah beberapa kali si Said terang-terangan menyebutnya sebagai biang kerok aturan-aturan baru, Soso mulai kehilangan respeknya. Ia tak memusuhinya, tapi tak lagi mempedulikannya. Apalagi urusan dengan bapaknya, soal Pak Beso yang berutang juga sudah diselesaikannya.

*****

Kembali ke Tiflis kali ini, Soso membawa 'tugas' yaitu mengajari si Simon Ter-Petrosian. Simon berangkat ke Tiflis bersama dengannya dan si Abel. Bahkan tiket pun dibelikan oleh kakeknya.

Entah berapa banyak si Senko dapat bekal, yang jelas, Soso juga dikasih 10 rubel dari Romo Arshaki untuk 'uang muka' kursus privat Bahasa Rusianya nanti. Selain itu, Soso juga dikasih 20 rubel untuk biaya tempat si Simon. Padahal kan Sarang Setan sudah disewa selama setahun, dan masih lama. 

Ya kalau dihitung-hitung, uang itu hampir sama dengan uang yang dibayarkan untuk sewanya, 25 rubel. Ya sudah, duitnya dikantongi saja sama Soso.

Sarang Setan tentu menjadi tujuan mereka ketika tiba di Tiflis. Masuk sekolah masih tiga hari lagi, jadi mereka bisa istirahat dulu, sambil menemani si Simon beradaptasi dengan situasi. Nantinya, dia kan akan ditinggal sendiri di rumah itu, paling bersama si Ararat dan bandit-bandit kawannya. Soso dan anak-anak Lingkaran Setan kan nggak bakalan tidur di situ, semuanya tidur di asrama.

Tenang, semua urusannya beres. Bahkan mungkin sebetulnya nanti Soso malah bakalan makan gaji buta, terima honor dari kakeknya si Simon, tapi yang ngajarin dia Bahasa Rusia kan bukan hanya dia, bisa juga anak-anak yang lain. Bahkan si Ararat pun lumayan jago juga Bahasa Rusianya. Tinggal nyuruh anak Armenia itu ngomong terus pake Bahasa Rusia kali malem, beres. Dikasih sekopek-dua kopek cukup. Apalagi keduanya kan sama-sama punya darah Armenia, meski si Simon hanya separuh, dari bapaknya.

Soso sendiri tinggal memikirkan bagaimana situasi di sekolahan nanti sepeninggal Romo Serafim. Tanda-tandanya sih sudah jelas, bakalan banyak aturan dan penegakan disiplin yang tak menyenangkan, atau yang jelas baginya adalah, sangat mengganggu kenyamanannya. Tapi ia tak mau memikirkannya sekarang, bahkan memikirkan sekolahnya akan seperti apa pun ia tak terlalu peduli lagi.

*****

Setelah sekolah dimulai lagi dan anak-anak Lingkaran Setan sudah pada balik dan kumpul-kumpul lagi, di Sarang Setan jadi ada dua Simon, Simon Natroshvili, anak yang tadinya alim tapi 'dirusak' oleh Soso, dan Simon Ter-Petrosian anak Gori yang baru datang itu. Untuk membedakannya, Simon anak baru itu dipanggil dengan nama dikenal di kampungnya, Senko.

Anak itu sebetulnya malas menggunakan panggilannya, katanya terlalu ndeso. Tapi apa boleh buat, daripada ruwet.

Anak-anak lain mulai ikutan mengajarinya berbahasa Rusia. Soso sudah mengumumkannya, dia wanti-wanti soal itu. Dia bilang, kakeknya mengganti biaya sewa rumah itu, selain itu akan membayari juga nanti jika kontrakannya habis. Belum lagi si Senko juga membeli barang-barang yang juga sering dipakai anak-anak lain, termasuk sebuah kasur besar yang sering dipake leyeh-leyeh siang hari.

Tapi ada satu persoalan yang rada-rada menjengkelkan bagi anak-anak lain, bahkan si Ararat sekalipun. Entah kenapa, lidah si Senko itu sulit sekali dengan pas mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Rusia.

Mungkin niatnya bener, tapi yang keluar bunyinya lain sehingga artinya juga lain. Belum lagi, kemampuan mengingatnya yang bener-bener payah. Sudah berkali-kali diberitahu pun, masih aja salah atau lupa.

Suatu hari, ketika yang lain asyik membaca buku, giliran si Vardonian yang mengajari si Senko belajar. Sudah diomongi oleh si Vardo untuk mengatakan komu yang artinya 'kepada siapa' tak selalu yang terucap olehnya adalah 'kamo' yang mendekati singkatan kata 'kamuflyazah' atau kamuflase yang sering disingkat menjadi 'kamo' dalam keseharian.

"Komu! Bukan kamo!" kata si Vardo, suaranya cukup keras sampai semuanya bisa mendengar karena memang sedang pada asyik membaca.

"Kamo..." kata si Senko.

Dan pecahlah tawa satu ruangan, termasuk Soso yang sebetulnya sedang di lantai atas. ia sampai terpingkal-pingkal geli dan kehilangan konsentrasi membacanya, lalu turun dan mendekatinya.

"Coba kau bilang lagi, komu!"

"Komu..." kata si Senko. Bener pas pelan-pelan. Tapi ketika mulai dipake dalam kalimat, lagi-lagi kata 'kamo' yang keluar dari lidahnya.

Lagi-lagi semuanya ngakak. Si Senko-nya, cuma cengangas-cengenges, "Susah kalau langsung, keluarnya itu!" elaknya.

Gara-gara itu, anak-anak lain mulai lupa dengan sebutan Senko. Mereka mulai memanggilnya dengan nada mengejek, Kamo. Anaknya sendiri tampaknya malah tak terlalu peduli. Cuek saja dipanggil dengan nama itu. Sejak itu, semua menjadi jelas, anak-anak tak harus kesulitan membedakan dua nama Simon, dan anaknya sendiri yang ogah dengan sebutan Senko, mulai menyebut dirinya sebagai 'Kamo.'[1]

*****

Ketika Soso teringat pada sahabatnya yang lain, si Lado, Soso kemudian mengajak si Kamo untuk mencarinya. Kamo juga mengenal si Lado, meski tak terlalu akrab karena usianya yang terpaut cukup jauh. Pada Kamo, Soso menceritakan asal mula hilangnya si Lado.

Lagi-lagi, Soso belum mendapatkan kabar apapun tentang sobatnya yang satu itu. anak itu, bersama rombongan Mesame Dasi seperti hilang ditelan bumi.

"Kenapa nggak nanya polisi?" tanya si Kamo.

"Aku nggak berani..." jawab Soso. "Lagipula, kudengar tak ada di tahanan polisi!"

"Tentara?"

Soso menggeleng, "Apa urusannya dengan tentara?"

"Mungkin ada..." kata si Kamo. "Bapakku kan kontraktor proyek-proyek tentara. Dia pernah jadi pemasok peralatan dalam perang di Khiva dan Bokhara Khanates.[2] Kadang ia juga ikut mencari tambahan tentara kalau diperlukan..."

"Untuk Rusia?" tanya Soso.

"Iya lah, dulu, waktu masih Tsar Alexander II..." jawab si Kamo enteng, "Sekarang sih setelah Tsar Alexander III proyeknya malah seret, jarang perang lagi kecuali pertahanan.."

Soso rada-rada sebel juga mendengar bapaknya si Kamo ini tak lain dari antek-antek Rusia. Tapi anak itu tampaknya tak terlihat merasa bersalah apapun. "Terus apa hubungannya tentara dengan demo itu?"

Anak itu berpikir sejenak, "Ada. Kan sudah kubilang, sekarang proyek tentara itu bukan keluar, tapi ke dalam, ngurusin keamanan, bukan perang lagi. Setahuku, kalau ada orang-orang yang menggangu kepentingan Tsar, dan susah ditangani polisi, itu juga jadi urusannya tentara..." jawabnya. "Kau dulu nonton penggantungan rampok di Gori itu kan? Nah itu kan karena tentara juga ikut ngejar mereka, karena polisi kewalahan!"

Soso mengangguk. Ia ingat peristiwa itu, karena ia juga menontonnya di alun-alun Gori bersama si Gigi dan si Peta. Meski rada-rada lelet dalam berpikir, omongan si Kamo barusan masuk akal juga. Selama ini ia memang mencari tahu keberadaan si Lado cs lewat jalur polisi, tak kepikiran soal tentara. Dan itu mungkin saja.

"Kalau tentara aku belum tahu, belum pernah nyari tahu ke sana..." kata Soso jujur.

"Ya tanya lah...." Kata si Kamo enteng.

"Gak bisa aku. Aku kan juga terlibat!" kata Soso.

"Ya sudah, nanti kucari tahu..." imbuh si Kamo.

Soso bengong, "Bagaimana cara mencaritahunya?"

"Ada keluargaku yang jadi tentara di Tiflis sini, saudaranya Bapakku...." jawab si Kamo. "Makanya aku pengen jadi tentara karena melihat dia. Bahkan kakekku sempat berpikir menitipkanku padanya di Tiflis sini sebelum aku masuk seminari. Tapi karena ketemu kamu, ya malah kamu yang dititipi. Mungkin kakekku takut aku malah beneran jadi tentara, bukan jadi pendeta sepertinya!"

"Beneran?" tanya Soso.

"Kan sudah kubilang waktu di Gori, aku pengen jadi tentara. Jadi pendeta itu kan maunya kakekku!"

"Bukan itu!" kata Soso rada sebel, "Bener kamu bisa nyari tahu si Lado lewat keluargamu itu?"

"Ya bisa aja, asal aku ketemu pamanku itu, dan dia tahu soal demo itu!" jawabnya. "Masalahnya, aku kan nggak tahu di mana markas tentara di Tiflis!"

Soso ngakak, "Makanya, jangan ngerem di rumah terus. Markas tentara kan tak jauh dari sini!"

"Oh ya?"

Soso garuk-garuk kepala, tapi ia menahan diri untuk terus melecehkan temannya itu, soalnya ternyata dia berguna juga kalau bener seperti yang diceritakannya. "Besok kuminta si Ararat mengantarmu ke sana. Kau temui pamanmu, tanya soal si Lado!"

"Oke...." jawabnya.

*****

BERSAMBUNG: (112) Cerita Si Kamo dari Markas Tentara

Catatan:

[1] Kelak, hingga kematiannya, tak banyak orang yang tahu nama sesungguhnya. Semua mengenalnya dengan sebutan Kamo tanpa embel-embel nama belakang atau nama keluarganya.

[2] Wilayah Uzbekistan saat ini, yang dikuasai oleh Rusia tahun 1873

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun