"Iya lah, dulu, waktu masih Tsar Alexander II..." jawab si Kamo enteng, "Sekarang sih setelah Tsar Alexander III proyeknya malah seret, jarang perang lagi kecuali pertahanan.."
Soso rada-rada sebel juga mendengar bapaknya si Kamo ini tak lain dari antek-antek Rusia. Tapi anak itu tampaknya tak terlihat merasa bersalah apapun. "Terus apa hubungannya tentara dengan demo itu?"
Anak itu berpikir sejenak, "Ada. Kan sudah kubilang, sekarang proyek tentara itu bukan keluar, tapi ke dalam, ngurusin keamanan, bukan perang lagi. Setahuku, kalau ada orang-orang yang menggangu kepentingan Tsar, dan susah ditangani polisi, itu juga jadi urusannya tentara..." jawabnya. "Kau dulu nonton penggantungan rampok di Gori itu kan? Nah itu kan karena tentara juga ikut ngejar mereka, karena polisi kewalahan!"
Soso mengangguk. Ia ingat peristiwa itu, karena ia juga menontonnya di alun-alun Gori bersama si Gigi dan si Peta. Meski rada-rada lelet dalam berpikir, omongan si Kamo barusan masuk akal juga. Selama ini ia memang mencari tahu keberadaan si Lado cs lewat jalur polisi, tak kepikiran soal tentara. Dan itu mungkin saja.
"Kalau tentara aku belum tahu, belum pernah nyari tahu ke sana..." kata Soso jujur.
"Ya tanya lah...." Kata si Kamo enteng.
"Gak bisa aku. Aku kan juga terlibat!" kata Soso.
"Ya sudah, nanti kucari tahu..." imbuh si Kamo.
Soso bengong, "Bagaimana cara mencaritahunya?"
"Ada keluargaku yang jadi tentara di Tiflis sini, saudaranya Bapakku...." jawab si Kamo. "Makanya aku pengen jadi tentara karena melihat dia. Bahkan kakekku sempat berpikir menitipkanku padanya di Tiflis sini sebelum aku masuk seminari. Tapi karena ketemu kamu, ya malah kamu yang dititipi. Mungkin kakekku takut aku malah beneran jadi tentara, bukan jadi pendeta sepertinya!"
"Beneran?" tanya Soso.