*****
Hampir seminggu lamanya anak-anak itu mendatangi rumah sewaan itu untuk beres-beres. Beberapa anak sudah membawa barang-barang pribadinya dan menaruhnya di kamar-kamar yang tersedia. Soso sendiri meminta kamar di lantai atas khusus untuk dirinya sendiri, dan tak ada yang keberatan soal itu, karena biar bagaimanapun, bukan hanya karena ia dianggap ketua kelompok, tapi juga karena ia yang keluar duit untuk membayar sewanya.
Selain itu, ada tiga orang anak baru lainnya yang bergabung. Memang belum ada kegiatan apa-apa, hanya sekadar menghabiskan waktu istirahat sambil ngobrol-ngobrol tak tentu arah.
Soso sendiri mulai menyukai kamar barunya di lantai atas itu. Ia belum membawa barang apapun ke situ, karena barangnya masih banyak disimpan di kamarnya di rumah Pak Sese. Ia belum sempat mengambilnya.
Kamar lantai atas itu, selain lebih luas dari dua kamar di bawah, juga memiliki balkon kecil. Sayangnya lantainya agak-agak mengerikan untuk dipijak, harus dibenerin dulu. Tapi setidaknya, jika pintunya dibuka, ia bisa memperhatikan gang sempit yang ada di depan rumah itu.
Mimpi tentang 'kamar idaman' tampaknya mulai terwujud, meski yaah, itu masih sangat jauh dari ideal. Karena dalam khayalnya, kamarnya berjendela, dan saat jendela itu dibuka, pemandangannya adalah pemandangan alami, bukan rumah-rumah lain yang tak kalah kumuhnya dengan rumah itu.
Tapi, setidaknya, Sarang Setan, sebutan yang dipopulerkan si Vaso itu, mulai menunjukkan denyutnya. Hangat dan menyenangkan.
*****
BERSAMBUNG: (105) Perginya Sang Pelindung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H