Episode Awal: (1) Soso
Episode Sebelumnya: (103) Berkumpul Kembali
*****
Tak seperti kawan-kawannya seperti si Vaso dan lainnya yang merupakan adik kelas Soso, kawan sekelasnya yang lain seperti si Peta, Seva dan lainnya, justru terkesan biasa-biasa saja dengan 'kembalinya' Soso. Untuk si Peta sih Soso maklum, anak itu memang tampaknya serius dengan pilihannya, menekuni agama.
Tapi si Seva? Ia seperti kehilangan gairah dan harapan. Waktu Soso mengajaknya ke tempat si Lado, ia tampak ogah-ogahan. "Bosen ah So..." jawabnya.
Ia memang masih memanggilnya Soso, panggilan yang semakin tenggelam di seputaran asrama. Nama Koba-lah yang berkibar. Bahkan meski guru-guru sering memanggil para siswa dengan nama aslinya, sesekali ada juga yang memanggilnya Koba.
"Kenapa sih?" tanya Soso.
"Males aja!" Seva tak menjelaskannya.
Soso pun meninggalkannya. Seva tampaknya belum tahu soal nasib si Lado yang menghilang. Ia berangkat ke sana sendirian. Dan ternyata rumah kontrakannya masih juga suwung alias kosong. Tak terlihat adanya tanda-tanda kehidupan. Mungkin anak itu memang belum kembali sejak peristiwa demo buruh itu.
Soso melipir ke Kedai Jerman, berharap bisa bertemu dengan Sabine untuk menyapanya sekaligus menanyakan kabar soal si Lado, barangkali ia tahu.
Tapi alangkah kecewanya Soso, karena Sabine tak terlihat. Ia menanyakannya pada seorang pegawai kedai. "Dia balik ke Jerman seminggu yang lalu.." jawabnya.
Soso termagu. Ah, gadis itu juga menghilang, pulang. Mungkin akan menikah seperti yang pernah diceritakannya. Atau mungkin kontrak ayahnya selesai di Tiflis sini. Jangan-jangan, ia juga takkan kembali ke sini.
Tak ada yang bisa dilakukan Soso selain kembali ke sekolah. Jelas tak langsung masuk, waktu istirahatnya masih panjang. Makanya ia memilih untuk menuju toko buku Gege Imedashvili.
Sendirian ia di sana. Kawan-kawannya sedang bergerak, ada yang sedang mencari calon markas, ada juga yang sedang bergerilya membujuk anak-anak baru. Mau ngajak ngobrol Gege juga tampaknya sedang sibuk, pelanggannya tampaknya makin banyak. Ia hanya sempat memesan kopi saja lalu melihat-lihat buku yang kira-kira menarik untuk dibaca.
Saat itulah dua anak buahnya, Alesi dan Ataka menghampirinya.
"Untunglah ketemu di sini..." kata Alesi, "Ada kabar bagus!"
"Apa?" tanya Soso. Ia tak jadi memilih buku dan membawa dua anak itu ke luar sambil menunggu pesanan kopinya.
"Ada rumah kosong di belakang markas tentara, harganya miring, penjaganya menawarkan 25 rubel setahun!" kata Alesi.
"Wah, bagus itu, luasnya?" tanya Soso antusias.
"Lumayan luas, ruangan tengahnya bisa dipakai untuk pertemuan 30 orang..." timpal Ataka. "Cuma ya itu, kotor, sudah lebih sepuluh tahun tak ada yang menghuninya. Banyak bocor dan hal-hal lain yang harus diperbaiki!"
"Kalau di belakang markas tentara, berarti dekat dong," kata Soso. "Ayo kita ke sana, aku mau melihatnya!"
Dua anak itu langsung mengangguk, tapi Soso teringat akan pesanan kopinya yang belum juga datang. Ia terpaksa menemui Gege dan membatalkan pesanannya jika belum disiapkan. Karena tampaknya memang belum, Gege tak keberatan Soso membatalkannya.
*****
Rumah itu memang cukup besar. Tapi benar kata si Ataka dan Alesi, kotor dan tak terawatt. Hal itu sudah bisa terlihat dari bagian luarnya. Seperti rumah-rumah umumnya di sana, terutama yang model lama, pintunya terdiri dari dua daun yang salah satunya tampak terbuka alias tak tertutup sempurna. Jelas rusak, dan harus diperbaiki dulu kalau mau ditinggali. Begitupun dengan jendela-jendelanya.
"Masuk saja, aku sudah bilang sama penjaganya kalau akan melihat-lihat lagi..." kata Ataka sambil membuka pintu yang hanya diganjal bongkahan batu agar tak terbuka lebar.
Tiga anak itu memasukinya. Ada bau apek yang tercium. Lembab. Lantainya yang diplester sudah banyak yang berlubang. Dindingnya kusam. Bukan hanya sarang laba-laba yang banyak, bahkan ada tumbuhan menempel di dinding pojok yang atapnya berlubang.
Soso mengabaikan semua kondisi itu, ia tertarik dengan ruangannya yang memang cukup luas, belum lagi bangunan itu berlantai dua, meski juga untuk naik ke lantai atas tangga kayunya sudah agak mengkhawatirkan. Ada dua kamar berukuran kecil di bawah, dan satu di lantai atas. Kondisinya sama.
"Bagaimana, Koba?" tanya Ataka.
"Selama kalian mau kerja untuk memberesinya, aku sih oke-oke saja..." jawab Soso. "Duit segitu jelas masuk lah, murah banget..."
"Tapi mungkin kita perlu keluar duit sendiri untuk perbaikannya," timpal Alesi, "Penjaganya bilang, ia tak mau keluar uang untuk perbaikan apapun!"
"Gak masalah," kata Soso. "Kita kan nggak bakalan tidur di sini! Paling benerin atap saja supaya tak bocor kalau hujan atau salju turun! Juga pintu depan itu..."
"Sip kalau begitu..." kata si Ataka. "Kalau si Vaso dan lainnya berhasil merekrut anak baru, kan bisa diberdayakan untuk bantu-bantu!"
"Ya sudah," kata Soso, "Besok kita bayar. Aku tak bawa uangnya sekarang!"
*****
Sarapan pagi keesokan harinya, anak-anak itu berkumpul, lengkap, plus tiga anak hasil rekrutan si Vaso dan kawan-kawan juga ikut bergabung. Semuanya siswa yang baru masuk, alias anak baru yang kelihatan masih culun-culun. Mereka diperkenalkan pada Soso, namanya Bodo, Leta, dan Deta.
Tanpa berpanjang-panjang lagi, Soso langsung mengajak semuanya untuk kerja bakti memberesi rumah jam istirahat nanti. Dan semuanya tampak begitu bersemangat, temasuk tiga anak baru itu.
Siangnya, setelah si Ataka dan Alesi memberesi urusan administrasi dengan penjaga rumah yang tinggal tak jauh dari situ, anak-anak muda itu mulai bekerja. Dimulai dari membersihkan ruangan-ruangan dengan peralatan seadanya yang dipinjam dari penjaganya. Lumayan juga hasilnya, rumah tua itu mulai berbentuk, setidaknya sudah makin layak untuk ditempati, meski ada beberapa bagian yang tampaknya tak mungkin bisa mereka perbaiki sendiri.
Soso sudah meminta si Ataka dan Alesi untuk mencari tukang yang bersedia mengerjakannya. Dan tukangnya, siapa lagi kalau lelaki tua yang jadi penjaga bangunan itu. Tak apalah, mungkin itu memang bukan rumahnya, ia hanya bertugas menjagainya. Jadi memberinya tambahan beberapa rubel untuk perbaikan bukan masalah besar.
Setelah merasa cukup sambil menunggu perbaikan dilakukan nantinya, anak-anak itu duduk-duduk melingkar di lantai ruang tengah yang cukup luas itu. Semuanya bertelanjang dada, karena pakaian seragam mereka semuanya dilepas dan digantung, biar tak kotor atau sobek terkena sesuatu yang tajam.
"Lumayan..." kata Soso sambil mengedarkan pandangannya. "Di ruangan itu nanti akan kupakai untuk menyimpan buku-buku, entah itu yang beli atau yang kita pinjam. Kita juga bisa menyimpan barang-barang pribadi yang berbahaya kalau disimpan di asrama..."
"Mungkin kita juga perlu menyediakan pantri, Bang..." kata si Boris Dotoshvili alias si Bodo, anak baru yang berbadan subur itu. "Setidaknya kan bisa bikin minuman atau apalah untuk camilan!"
Soso dan anak-anak lainnya tertawa.
"Bener juga sih, beli satu dua alat dapur kan gak masalah..." kata si Simon, "Kalau untuk itu, biar kita patungan saja semampunya. Tak perlu pakai uangmu lagi, Koba..."
"Ya terserah lah..." kata Soso. "Kau, Bodo, kuserahkan tugas itu padamu!"
"Saya, Bang?" tanyanya sambil menatap Soso, "Saya kan anak baru, Bang!"
"Nggak ada urusan dengan anak baru. Di sini nggak ada baru atau lama, kalau kau memang mau bergabung ya sudah. Hakmu di sini sama, kau mau pake, mau tidur di sini kalau berani juga nggak masalah!" kata Soso.
"Tapi nanti kita di sini ngapain aja?" tanya anak baru yang lain, Alexander Tamaradze alias si Leta.
"Kan sudah kubilang, kita nanti akan diskusi buku dan macem-macem.." si Vaso yang menjawabnya. "Pokoknya, setiap jam istirahat, kalau tak ada keperluan penting lainnya, kita ke sini..."
Anak itu mengangguk-angguk, "Sayangnya kita tak bisa tidur di sini ya..." katanya, "Padahal kalau boleh, aku lebih baik tidur di lantai di sini daripada tidur di kasur tapi di dalam asrama!"
"Bisa saja kalau kau mau..." sela Soso, "Malam-malam kau pergi ke sini dan sebelum jam sarapan kau sudah harus balik lagi!"
"Lah kan gerbangnya ditutup, Bang..."
"Kuajari kau nanti cara keluar dari asrama..." imbuh Soso.
"Beneran bisa Bang?" si Bodo ikut bertanya.
Soso mengangguk, "Syaratnya cuma satu, kau berani. Berani menghadapi hukuman kalau ketahuan, dan berani menghadapi setan penghuni bangunan ini!"
Anak-anak itu tertawa.
*****
Hampir seminggu lamanya anak-anak itu mendatangi rumah sewaan itu untuk beres-beres. Beberapa anak sudah membawa barang-barang pribadinya dan menaruhnya di kamar-kamar yang tersedia. Soso sendiri meminta kamar di lantai atas khusus untuk dirinya sendiri, dan tak ada yang keberatan soal itu, karena biar bagaimanapun, bukan hanya karena ia dianggap ketua kelompok, tapi juga karena ia yang keluar duit untuk membayar sewanya.
Selain itu, ada tiga orang anak baru lainnya yang bergabung. Memang belum ada kegiatan apa-apa, hanya sekadar menghabiskan waktu istirahat sambil ngobrol-ngobrol tak tentu arah.
Soso sendiri mulai menyukai kamar barunya di lantai atas itu. Ia belum membawa barang apapun ke situ, karena barangnya masih banyak disimpan di kamarnya di rumah Pak Sese. Ia belum sempat mengambilnya.
Kamar lantai atas itu, selain lebih luas dari dua kamar di bawah, juga memiliki balkon kecil. Sayangnya lantainya agak-agak mengerikan untuk dipijak, harus dibenerin dulu. Tapi setidaknya, jika pintunya dibuka, ia bisa memperhatikan gang sempit yang ada di depan rumah itu.
Mimpi tentang 'kamar idaman' tampaknya mulai terwujud, meski yaah, itu masih sangat jauh dari ideal. Karena dalam khayalnya, kamarnya berjendela, dan saat jendela itu dibuka, pemandangannya adalah pemandangan alami, bukan rumah-rumah lain yang tak kalah kumuhnya dengan rumah itu.
Tapi, setidaknya, Sarang Setan, sebutan yang dipopulerkan si Vaso itu, mulai menunjukkan denyutnya. Hangat dan menyenangkan.
*****
BERSAMBUNG: (105) Perginya Sang Pelindung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H