*****
Rumah itu memang cukup besar. Tapi benar kata si Ataka dan Alesi, kotor dan tak terawatt. Hal itu sudah bisa terlihat dari bagian luarnya. Seperti rumah-rumah umumnya di sana, terutama yang model lama, pintunya terdiri dari dua daun yang salah satunya tampak terbuka alias tak tertutup sempurna. Jelas rusak, dan harus diperbaiki dulu kalau mau ditinggali. Begitupun dengan jendela-jendelanya.
"Masuk saja, aku sudah bilang sama penjaganya kalau akan melihat-lihat lagi..." kata Ataka sambil membuka pintu yang hanya diganjal bongkahan batu agar tak terbuka lebar.
Tiga anak itu memasukinya. Ada bau apek yang tercium. Lembab. Lantainya yang diplester sudah banyak yang berlubang. Dindingnya kusam. Bukan hanya sarang laba-laba yang banyak, bahkan ada tumbuhan menempel di dinding pojok yang atapnya berlubang.
Soso mengabaikan semua kondisi itu, ia tertarik dengan ruangannya yang memang cukup luas, belum lagi bangunan itu berlantai dua, meski juga untuk naik ke lantai atas tangga kayunya sudah agak mengkhawatirkan. Ada dua kamar berukuran kecil di bawah, dan satu di lantai atas. Kondisinya sama.
"Bagaimana, Koba?" tanya Ataka.
"Selama kalian mau kerja untuk memberesinya, aku sih oke-oke saja..." jawab Soso. "Duit segitu jelas masuk lah, murah banget..."
"Tapi mungkin kita perlu keluar duit sendiri untuk perbaikannya," timpal Alesi, "Penjaganya bilang, ia tak mau keluar uang untuk perbaikan apapun!"
"Gak masalah," kata Soso. "Kita kan nggak bakalan tidur di sini! Paling benerin atap saja supaya tak bocor kalau hujan atau salju turun! Juga pintu depan itu..."
"Sip kalau begitu..." kata si Ataka. "Kalau si Vaso dan lainnya berhasil merekrut anak baru, kan bisa diberdayakan untuk bantu-bantu!"
"Ya sudah," kata Soso, "Besok kita bayar. Aku tak bawa uangnya sekarang!"