Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (85) Buron

20 Februari 2021   21:27 Diperbarui: 21 Februari 2021   21:12 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (84) Kabar Baik dan Buruk

*****

Si Lado tak juga terdengar kabarnya. Soso ke kontrakannya, masih kosong, terkunci. Ia menanyakannya pada Sabine, gadis itu juga mengaku tak juga melihatnya. Berarti sudah dua malam sejak demo itu. Ia mulai khawatir. 

Apakah kawannya itu ditahan polisi atau tidak. Kalau ditahan dimana, karena di Benteng Narikala tak ada. Mungkin di kantor polisi. Tapi Soso tak berani ke sana dulu. Seperti kata Pak Sese, nama Soso masuk dalam pencarian polisi sebagai penulis artikel di Kvali, bersama anak-anak Mesame Dasi lainnya.

Soso penasaran. Dari tempatnya si Lado, ia langsung menuju markasnya Mesame Dasi. Tapi di sana juga sepi, taka da seorang pun yang bisa ditemui dan ditanyai. Ia tak tahu lagi harus kemana atau bertanya pada siapa. Tak mungkin ia ke kantor polisi untuk mencari tahu, itu namanya setor diri buat ditahan!

Satu-satunya harapan mendapatkan informasi adalah dari anak-anak pabrik Adelkhanov yang kata Pak Sese sudah dibebaskan dengan syarat. Mereka kan dibebaskan sehari setelah demo, artinya, mereka bisa saja memiliki informasi. Tanpa pikir panjang, dari markas Mesame Dasi, Soso langsung menuju salah satu rumah anak-anak itu, rumah si Vati yang ia tuju.

Anak itu ada di rumahnya. Belum mau masuk kerja. Ia langsung menyambut Soso dengan gembira, bahkan berterimakasih berkali-kali. "Kau memang sahabat sejati So, kau menepati janjimu untuk membebaskan kita!" katanya.

"Aku tidak membebaskanmu, teman-temanmu semua yang membebaskan kalian.. aku hanya menemani!" tukas Soso.

"Nggak usah merendah begitu!" katanya lagi.

"Sudahlah... aku datang bukan meminta untuk dipuji-puji," kata Soso. "Aku sedang mencari kawan-kawanku..."

"Siapa? Anak-anak pabrik semuanya sudah pada bebas..."

"Kalau itu, aku sudah tahu, makanya aku ke sini..." kata Soso. "Aku mencari kawan-kawanku yang ikut demo. Apa kau lihat ada buruh yang demo terus ditahan di sana?"

Vati diam sejenak, lalu menggelengkan kepalanya. "Aku dengar soal demo itu. Bapakku kan juga ikut, tapi tak ada yang ditahan di sana kok..." katanya. "Tapi memang, sebelumnya ada beberapa orang yang dibawa masuk, kelihatannya sih ada yang luka!"

Soso melongo, "Banyak?"

"Beberapa orang!" jawab si Vati.

"Ada yang orangnya tinggi kurus dan bercambang hitam, masih muda?"

Vati diam lagi, "Kayaknya sih ada, dia luka di kepalanya. Pake cokha abu-abu!"

Mungkin itu si Lado, tapi Soso masih belum yakin seratus persen, karena ciri-cirinya masih terlalu umum. "Terus, kemana dia?"

Vati menggeleng. "Aku tak tahu. Orang-orang yang dibawa masuk itu ada beberapa yang luka dan yang tidak. Yang luka terus entah dibawa kemana, sementara yang nggak luka ditanyai polisi. Tapi aku tak lihat, soalnya kan di ruang depan. Aku hanya tahu mereka sekilas waktu dibawa masuk, setelah itu yang nggak tahu lagi!"

"Tapi tak ada yang ditahan di sana?"

Vati menggeleng lagi.

Soso menghela nafas, "Buntu lagi deh..." bathinnya.

"Siapa sih yang kamu cari?" tanya Vati kemudian.

"Kawanku, yang ikut menggerakkan demo..."

"Oooh...  Kalau soal itu, kayaknya aku tahu," kata si Vati lagi. "Kedengar beberapa orang yang dianggap menghasut diperiksa sampai malem. Nah sampe malem terus dibawa kemana setelah itu aku nggak ngerti..."

"Kau lihat ada orang yang, duh gimana ya jelasinnya, rambut hitam pendek, putih bersih, dan yaah ganteng lah..." Soso mencoba menjelaskan soal sosok si Noe Zhordania. Ia lupa, anak itu pake baju apa.

"Kelimis tanpa kumis dan jenggot?"

Soso mengangguk.

"Kayaknya dia yang bikin ribut di kantor polisi, minta ketemu komandan polisi, tapi tak dilayani!"

"Ya, itu, kemana dia?"

Vati menggeleng. "Aku hanya tahu dia paling ribut. Setelah itu sama dengan yang lain, nggak tau kemana..."

"Ada lagi yang kau dengar atau kau lihat?"

"Polisi selalu bertanya soal orang yang membuat tulisan! Semua orang ditanyai soal itu!" jawab si Vati lagi.

"Ada yang ngasih tahu?"

Vati menggeleng lagi.

Soso diam, tak ada lagi yang bisa digali dari si Vati. Tapi informasi itu sudah lebih dari cukup. Si Lado terluka, dibawa entah kemana. Si Nunu dibawa masuk, terus entah kemana. 

Si Silva entahlah, apakah ia ditahan atau tidak. Dan yang paling penting, ia makin tahu kalau polisi mencarinya. Lebih tepatnya mencari penulis artikel di Kvali yang dianggap menghasut. Soal apakah polisi bisa menghubungkan penulis itu dengan dirinya, Soso nggak tahu.

Yang pasti, kalau sampai si Nunu yang sudah ditanyai polisi membuka mulut soal penulis, ia akan dicari. Itu saja.

Apakah Soso akan menghadapinya, atau menghindarinya? Itu yang dia masih bimbang.

*****

Diantar si Vati, soso menemuis Ogur, sahabatnya yang lain yang juga sudah dibebaskan. Sama, tak ada informasi yang baru. Soso bener-bener bimbang. Tak ada orang yang dianggapnya bisa diajak berbicara untuk masalahnya itu.

Pak Sese mungkin bisa, tapi ia takut didengar Mak Imel yang panikan dan serba khawatir, apalagi kalau sudah berurusan dengan polisi. Anak-anak pabrik itu, meski ia tahu mereka baik dan tak mungkin berniat jahat, sulit dipercaya oleh Soso, takut keceplosan atau apa lah, apalagi mereka kan masih dalam pengawasan polisi. Kalaupun tidak, ia tak yakin anak-anak itu bisa memberi pertimbangan yang matang.

Entah kenapa, tiba-tiba saja Soso teringat pada Pangeran Ilia. Soso yakin lelaki bijaksana itu akan bisa memberinya petuah berharga. Tapi Soso yang tak terlalu yakin. Rasanya sungkan untuk merepotkannya dengan urusan seperti itu.

Tapi ia tak punya pilihan lain.

Soso pun berangkat untuk menemuinya.

*****

"Ini yang aku sayangkan dari anak-anak muda seperti kalian!" kata Pangeran Ilia setelah Soso menceritakan semuanya, tanpa ada yang ditutup-tutupi, termasuk soal tulisan yang dibuatnya. "Aku tak meragukan semangat dan tujuan kalian. Tapi cara kalian itu yang merugikan kalian sendiri!"

Soso diam saja.

"Ada lingkaran-lingkaran, hubungan-hubungan yang tidak atau belum kalian fahami di Tiflis ini, atau mungkin Georgia secara umum. Polisi, pengusaha, orang-orang suruhan, macem-macem lah. Kelompok Armenia, kelompok Georgia, kelompok Rusia. Bandit kelas teri, pemain kelas kakap, pemodal yang nggak mau repot. Macem-macem lah!" kata Pangeran Ilia lagi.

"Itu baru lingkaran kecilnya saja, belum sampai pada lingkaran yang lebih besar, kelompok-kelompok yang memanfaatkan posisinya, mencari posisi, entah yang bener-bener mewakili kepentingan kekaisaran, yang mencari celah diantaranya, atau yang bener-bener untuk tujuan pribadi. Sulit dibedakan. Tiflis jauh dari St Petersburg. Pengawasan kurang, kesempatan terbuka lebar!"

"Kau lihat di kantor polisi. Adakah polisi kelas atas, orang-orang Rusia yang turun menangani kasus-kasus kecil? Tak ada! Mereka hanya mau mengurusi kasus besar. Kalau kasusnya berkaitan dengan Tsar, mereka pasti turun, imbalannya jelas, promosi. Tapi kalau kasus lokal, tak penting, bikin susah, mereka biarkan polisi kroco itu yang mengurusinya!"

"Jangan berpikir bahwa demo buruh kemarin itu penting bagi polisi!" kata Pangeran Ilia lagi. Tak ada kaitannya dengan Tsar, ya sudah, itu hanya mainan saja. Mereka juga memeras pengusaha tanggung. Berani bayar, apa kepentinganmu, ya sudah!"

Pangeran Ilia menyulut tembakau di cangklongnya, lalu mengisap dan menyembulkan asapnya, kok kayaknya enak banget, Soso jadi kepengen, cuma nggak enak saja kalau minta, hehe...

"Kalau kalian mau bergerak, jangan cuma menyentil orang Rusia tak penting yang ada di sini. Nggak bakalan mempan, cuma dapet repotnya aja kayak gini. Kalau mau, senggollah sedikit yang ada kaitannya dengan kepentingan kaisar. Itu baru bisa bergema. Tapi risikonya juga lebih tinggi, bukan lagi polisi yang turun, mungkin tentara, atau Cossack!" lanjutnya.

Soso harus mengakui bahwa apa yang diomongkan Pangeran Ilia itu benar. Pengalamannya yang panjang, termasuk dekat-dekat kekuasaan di St. Petersburg sana, menunjukkan kelasnya.  

Tak salah kalau Walikota Poti, Niko Nikoladze, menyebut Pangeran Ilia sebagai gurunya atau Piverli Dasi, kelompok pertama, atau generasi pertama, sementara Tuan Nikoladze dan kawan-kawan menyebut dirinya sebagai Meore Dasi, kelompok kedua atau generasi kedua. Generasi yang sudah diakui oleh Pangeran Ilia sendiri.

Sementara si Nunu dan Silva, meski mengaku sebagai Mesame Dasi, alias kelompok ketiga, generasi ketiga, sama sekali tak pernah berguru pada generasi sebelumnya. Hanya nyatut-nyatut nama, keren-kerenan saja mungkin.

Soso sebetulnya beruntung bisa berguru pada dua generasi awal itu lewat sosok Pangeran Ilia dan Tuan Nikoladze. 

Tapi ia sendiri, meski tak secara resmi bergabung dengan Mesame Dasi, ya bisa dikatakan termasuk kelompok mereka. Benar kata Pangeran Ilia dan Tuan Nikoladze, sembrono dalam bertindak. Entah karena jiwa mudanya, atau karena tak mau belajar, maunya cepat mendapatkan hasil.

 "Harus saya akui Tuan, kita luput soal itu...." kata Soso akhirnya.

Pangeran Ilia tersenyum, "Tak apa. Namanya juga belajar. Tapi hati-hati, jangan sampai kalian malah merugikan nasib orang-orang lain, terutama buruh itu. Niatnya membantu, tapi malah menjerumuskan mereka, membuat mereka tambah susah!"

"Lalu bagaimana dengan saya?" tanya Soso.

"Sembunyi aja sana, tapi jangan ke Gori, ke tempat lain!" jawab Pangeran Ilia, enteng.

"Apa itu baik, Tuan?"

"Mereka itu hanya panas-panas tahi ayam. Seminggu-dua minggu ini masih diurusi. Nanti mereka capek dan bosan sendiri ya dilupakan!" jawab Pangeran Ilia.

"Apa kira-kira sekolah saya masih aman?" tanya Soso lagi.

"Makanya, pergi saja jauh-jauh dulu. Nanti juga mereka lupa. Tapi ya hati-hati saja, jangan bikin masalah lagi. Kalau sekarang sih polisi itu juga masih malas berurusan dengan Gereja, kecuali kalau kau sudah kebangetan, sudah mengganggu kepentingan Tsar, ya bisa saja kau juga dijemput dari sekolahmu!"

Soso diam, berpikir. Mau kemana ia bersembunyi? Gori sudah dilarang oleh Pangeran Ilia. Rustavi malas, urusannya sama si Said atau malah Tatiana. Batumi hanya membuatnya mengingat luka hatinya soal Natasha.

"Pergilah ke Poti!" kata Pangeran Ilia, seolah ia tahu Soso sedang berpikir mau kemana. "Antarkan suratku untuk Tuan Nikoladze. Selanjutnya kau ikuti apa kata dia!"

Soso melongo, ke Poti untuk bertemu dengan Niko Nikoladze? Jelas mau lah dia!

*****

BERSAMBUNG: (86) Renungan dalam Kereta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun