Episode Awal: (1) Soso
Episode Sebelumnya: (83) Percakapan dalam Gelap
*****
Menjelang tengah hari, semuanya terlihat makin jelas. Dinding-dinding batu, jeruji-jeruji besi, termasuk orang-orang yang ada di ruangan-ruangan yang lain.Â
Penjara dalam benteng itu ternyata penuh dengan orang, terutama di ruangan-ruangan lain. Ruangan yang ditempati Soso berada paling ujung dan hanya diisi oleh dua orang, Soso dan si Victor. Tiga orang lainnya, kata si Victor sudah dibawa polisi, entah kemana.
Tengah hari, datang serombongan polisi, hanya beberapa saja yang membawa senjata api, lainnya hanya membawa pedang dan kunci-kunci. Satu-persatu kunci jeruji dibuka.Â
Para penghuninya diminta keluar dan disuruh pulang ke rumahnya masing-masing. Di antara mereka yang ditahan, Soso tak menemukan seorang pun yang dikenalnya, kecuali si Victor yang satu ruangan. Itupun baru kenal semalam dan melihat wajahnya dengan jelas tadi pagi.
Sementara yang lain, banyak yang saling mengenal satu-sama lain. Mulanya mereka berkerumun dan mengobrol, tapi buru-buru dibubarkan oleh para polisi. Daripada dimasukkan lagi ke dalam sel gelap itu, mereka jelas memilih segera bubar.
Dan benar saja, mereka memang ditahan di dalam benteng Narikala. Penjara dalam benteng itu sebetulnya sudah lama tak dipakai. Ada penjara khusus yang dibangun di bagian barat kota Tiflis untuk para terpidana. Sementara tahanan polisi umumnya ditempatkan di dalam sel dalam kantor polisi saja.
Mungkin karena jumlahnya yang sangat banyak dan tak mungkin ditahan di dalam sel di kantor polisi, polisi kemudian menggunakan kembali sel di dalam Benteng Narikala untuk menahan para buruh yang berdemo kemarin.
Kelihatannya tidak semua buruh ditahan, karena jika iya, sel di dalam benteng pun tak akan mencukupi, atau akan sangat sesak. Atau mungkin juga itu hanya sebagian tahanan, sisanya di tempat lain.
Soso sendiri sedang malas untuk mencari tahu apa yang terjadi dalam demo itu setelah ia tak ingat apa-apa. Kepalanya masih cenat-cenut. Ia ingin pulang dan beristirahat. "Nanti saja kucari tahu apa yang terjadi..." pikirnya. Â Â
Karena ditahan di Benteng Narikala, tempat terdekat dari situ adalah kontrakan si Lado yang berada di bawahnya, tinggal turun, sudah sampai.Â
Tapi kalau ke rumah Pak Sese, ia harus berjalan kaki lebih jauh atau menyewa kereta kuda. Ia tak sanggup kalau berjalan jauh saat ini. Makanya, Soso memilih untuk ke tempat si Lado dulu untuk sedikit menyegarkan badannya sambil mencari tahu kabar.
Sayangnya, kontrakan si Lado kosong, dan terkunci. Di mana kawannya itu, Soso tak tahu. Ia memutuskan untuk menunggunya beberapa saat sambil selonjoran kaki. Berharap si Lado hanya keluar sebentar, ataupun kalau ditahan di Narikala, sebentar lagi pasti sampai, karena semua tahanan di sana sudah dibebaskan.
"Koba!" terdengar suara perempuan memanggilnya.
Soso mengangkat dan memalingkan wajahnya. "Sabine..." katanya, setelah tahu siapa yang memanggilnya.
"Apa yang kau lakukan di sini? Kau tampak tak sehat!" tanyanya sambil mendekatinya, ia masih memakai celemek, pertanda dia sedang bekerja di kedai.
"Aku menunggu si Lado!" jawab Soso.
"Sudah sejak kemarin aku tak melihatnya..." kata Sabine lagi. "Mampirlah ke kedai, kuambilkan kau minuman sambil menunggunya!"
Benar juga, pikir Soso, ketimbang menunggu di situ, menunggu di kedai Jerman itu lebih baik, ia bisa memesan makanan atau minuman sambil menunggu si Lado dan beristirahat lebih nyaman ketimbang di pinggir jalan kayak gitu.Â
Ia berdiri dan berjalan mengikuti Sabine. Tempat duduk yang dulu ditempatinya saat ngobrol panjang dengan Sabine pertama kalinya ia pilih.
"Mau makan atau minum saja?" tanya Sabine.
"Berikan aku minuman yang segar..." jawab Soso.
"Kopi?"
Soso menggeleng, "Jangan, yang lain saja dulu!"
Sabine meninggalkannya, dan tak lama ia sudah kembali dengan segelas minuman yang tampak menggiurkan. Lalu menaruhnya di meja.
"Tidak beralkohol kan?" tanya Soso.
Sabine menggeleng, "Itu jus buah, jeruk dan delima!"
"Ya sudah, terimakasih..." kata Soso.
"Aku kerja dulu ya, nanti kalau senggang aku ke sini!"
Soso mengangguk.
*****
Pada Sabine, Soso menceritakan apa yang terjadi sejak kemarin sampai tadi. Sabine mendengarkannya dengan penuh perhatian.
"Aku turut menyesal dengan apa yang kalian alami..." katanya. "Semoga tak terjadi apa-apa dengan si Lado dan kawan-kawanmu yang lain."
Soso melirik ke luar, ke arah rumah si Lado. "Tampaknya si Lado takkan kembali segera. Mungkin aku kembali ke rumah pamanku saja, sekalian mencari tahu kabarnya, karena kemarin dia juga ikut!" kata Soso.
"Ya sudah, nanti kalau aku melihat si Lado pulang, akan kusampaikan soal kamu..." kata Sabine.
Soso mengangguk lalu merogoh sakunya untuk membayar minuman, tapi Sabine menolaknya.
"Kali ini biar aku yang membayarnya. Kau pulang saja, istirahat!"
*****
Pak Sese ada di rumahnya. Ternyata ia tak ikut ditahan. Tapi hari itu, meski seharusnya mereka masuk kerja, satu pabrik memutuskan untuk bolos. Meski katanya Sergei Kustov marah-marah dan mengancam akan memecat mereka.
"Biarkan sajalah. Kalau dia berani memecat kita semua, ya sudah. Paling dia sendiri yang nanti disemprot atasannya..." kata Pak Sese, "Memangnya gampang mengganti orang dalam satu dua hari ini. Tak semua pekerjaan di pabrik itu bisa digantikan oleh orang baru. Dan tak mudah mencari orang yang sudah punya keahlian!"
"Apa yang sebetulnya terjadi kemarin Pak De?" tanya Soso.
"Ada kelompok orang bayaran yang sengaja disuruh mengacau. Dan itu memang terjadi. Kemarin itu bener-bener kacau, dan polisi senang-senang saja dengan itu, mereka punya alasan untuk bertindak!" jawab Pak Sese.
"Ada kawan-kawan pabrik yang belum pulang sejak kemarin?" tanya Soso.
"Ada beberapa. Yang ditahan itu yang setelah ada letusan senjata api tapi masih terlibat keributan. Kalau yang mundur, nggak ada yang ditahan, bubar sendiri!" jawab Pak Sese. "Kau sendiri, ingat kenapa bisa sampai ditahan?"
Soso menggeleng, "Tau-tau sudah di dalam ruang gelap. Ternyata itu di Narikala.."
"Jadi yang ditahan di Narikala sudah dibebaskan semua?"
Soso mengangguk.
"Aku harus mengecek kawan-kawanku dulu kalau begitu..." kata Pak Sese.
"Saya ikut Pak De..." kata Soso.
"Nggak usah, kau istirahat saja dulu. Sebentar lagi istriku pulang, semalam dia susah tidur gara-gara nggak ada kabar soal kamu!"
Soso mengalah. Mungkin benar, dia memang harus istirahat, dan soal pabrik itu biarlah menjadi urusannya Pak Sese, karena ia memang sudah bukan lagi pekerja di sana.
*****
Barulah ketika Soso bertemu lagi dengan Pak Sese saat makan malam, Pak Sese mendapat gambaran yang lebih jelas. "Ada kabar baik dan kabar buruk..." kata Pak Sese.Â
"Kabar baiknya, kudengar polisi mulai serius menyelidiki kasus di pabrik. Anak-anak yang ditahan itu sudah diperiksa kembali dan sudah dibebaskan dengan jaminan dari orang tuanya masing-masing. Kalau nanti mereka dinyatakan terlibat ya terpaksa harus ditahan lagi..."
"Di pabrik memang mulai beredar kabar kalau yang mencuri sepatu-sepatu itu adalah si Kustov sendiri, dibantu seseorang. Ada orang Armenia, namanya Tamar Ohanian yang dicurigai kawan-kawan sekongkol dengan si Kustov, bersama dengan dua orang penjaga. Satu orang Rustavi, dan satunya lagi orang Armenia. Polisi sudah menahan dua penjaga itu, tapi si Kustov belum, dan si Tamar sudah menghilang beberapa hari terakhir ini..." lanjut Pak Sese.
"Kabar buruknya..." lanjut Pak Sese, "Sampai saat ini masih ada beberapa pekerja pabrik yang belum pulang. Katanya sih ada dua orang. Soal itu ada orang yang sedang mencari tahu, termasuk mengecek ke kantor polisi..."
"Dan satu lagi. Polisi juga akan menyelidiki orang-orang yang dianggap bertanggungjawab atas demo kemarin. Katanya, selain ada yang meninggal, entah siapa, juga menyebabkan kantor polisi rusak!"
Soso menghela nafas. "Jangan-jangan yang meninggal itu yang semalam satu ruangan dengan saya Pak De..."
"Memangnya ada?"
Soso menceritakannya, meski ia nggak tahu soal yang itu, yang ia tahu hanya dua orang yang pingsan saja. Itupun ia tak tahu siapa, soalnya kan keburu dibawa polisi saat ia belum bangun. Hanya cerita dari si Victor.
"Sudahlah..." kata Pak Sese. "Sebaiknya kau jangan kemana-mana dulu. Takut ada apa-apa. Jangan sampai kamu terseret-seret, dan nanti malah mengganggu sekolahmu!"
"Iya So... kamu ini kok ya malah ikut-ikutan segala..." Mak Imel yang sedari tadi mendengarkan ikut menimpali. "Urusan di pabrik itu bukan lagi urusanmu, meski memang kamu masih punya teman di sana!"
Soso diam sejenak, "Siapa saja yang dicari polisi itu Pak De?"
"Katanya sih yang membuat tulisan di suratkabar, yang dianggap menghasut, orang-orang dari kelompok apa itu, Mesame Dasi atau apa, yang ikut menghasut, padahal mereka bukan buruh, dan tak ada kaitannya dengan buruh dan kasus di pabrik itu."
Mendengar hal itu, Soso langsung deg-degan. Sebagai orang yang menulis di Kvali itu, jelaslah ia sudah diincar oleh polisi, meski masih memakai nama samaran. Anak-anak Mesame Dasi, siapa lagi kalau bukan si Lado, Silva, si Nunu dan lain-lainnya.
Soso ragu, apakah ia harus menceritakan pada Pak Sese soal ialah yang menulis itu, atau tidak. Dan akhirnya, karena ada Mak Imel, Soso memilih untuk bungkam soal itu.
"Bagaimana dengan kelompok yang datang belakangan dan berbuat onar itu?" tanya Soso.
Pak Sese menggeleng, "Entahlah. Nanti kucari tahu lagi kalau soal itu!"
"Sudah tidur sana So, nanti kubawakan kompres buat kepalamu!" kata Mak Imel.
Soso mengangguk dan pamitan, lalu kembali lagi ke kamarnya.
*****
BERSAMBUNG: (85) Buron
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H