Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stalin: (75) Penyelidikan Kasus Sepatu

10 Februari 2021   21:54 Diperbarui: 11 Februari 2021   21:15 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (74) Alamat Palsu

*****

Sepulang dari tempatnya si Lado, hati Soso masih masygul. Apalagi kalau bukan soal Natasha. Cerita si Lado soal cowok-cowok yang pernah tidur dengannya, para aktivis buruh seperti si Nunu, Silva dan juga si Lado sendiri membuatnya agak-agak jijik. Seketika pula penilaiannya berubah.

Natasha jadi terlihat seperti wanita murahan yang mau tidur dengan siapa saja untuk memenuhi hasrat yang mungkin tak dapat dipenuhi oleh suaminya. Tadinya ia menganggap dirinya adalah satu-satunya lelaki yang menjadi teman selingkuh perempuan itu. Ia menganggao Natasha mau melakukannya karena memiliki perasaan yang sama dengannya. Nyatanya, tak lebih dari sekadar nafsu. Benar-benar soal berahi.

Soso tak merasa dirinya orang bersih atau suci. Tapi apa yang terjadi dengan Natasha tak melulu soal nafsu, ada dorongan perasaan lain. Dorongan rasa yang ia kira sama dengan yang dirasakan perempuan itu.

Kemasygulannya itu juga bukan soal cemburu yang datang dari keinginan untuk memiliki. Tidak. Ia tahu diri dengan situasinya. Bukankah ia juga menyarankan agar Natasha mempertahankan pernikahannya itu agar bisa mengambil alih kuasa, bukan sekadar dikuasai. Saran yang ia sampaikan saat mereka menghabiskan malam dingin bersalju di pondok kayu tepi Laut Hitam beberapa bulan yang lalu.

Ia masygul karena tadinya ia merasa dirinya dipandang istimewa oleh Natasha. Sebuah perasaan yang membanggakan, dan sedikit membahagiakannya. Tapi setelah cerita si Lado. Soso bener-bener kecewa, karena ia tak 'seistimewa' itu.

*****

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah Pak Sese, berulang kali Soso melampiaskan kekecewaan setengah marah itu dengan melakukan apa saja. Menendang batu di jalan, mematahkan dahan pohon yang dianggap menghalanginya, kadang berteriak geram, sampai-sampai ada orang yang melirik dan memandanginya dengan tatapan heran.

Saat melintas depan pabrik sepatu Adelkhanov tempatnya bekerja dulu, ia berpapasan dengan Petros Gulbenkian, pekerja pabrik teman si Vati, Vateli, Kahka, dan Ogur. Soso sendiri tak pernah bertemu di pabrik, dulu anak itu belum bekerja di situ. Ia bertemu dengan anak itu sebelum berangkat ke Rustavi tempo hari, saat mencari anak-anak pekerja pabrik yang dituduh mencuri sepatu.

"Petros..." Soso memanggilnya.

Anak itu melirik dan menghentikan langkahnya, "Kamu..." katanya. Ia mengenali Soso.

"Kau mau kemana?" tanya Soso.

"Pulang, kan bubaran kerja..." jawabnya.

Soso berjalan mendekatinya. "Bagaimana kabar teman-temanmu yang dituduh mencuri itu?"

"Masih ditahan di kantor polisi..."

"Mereka bener-bener mencuri?"

Petros menggeleng. "Aku tidak yakin. Mereka, termasuk aku juga, memang bandel, kadang-kadang bikin masalah. Tapi tak ada seorang pun yang kurasa punya bakat mencuri. Apalagi sebanyak itu..." jawabnya.

"Kita cukup kompak, kalau mau bandel saja pasti diomongin satu sama lain. Direncanakan dulu sebelumnya. Nah, yang ini aku tak pernah mendengar mereka membicarakan apapun yang ada kaitannya dengan pencurian. Siang hari, pas istirahat, cuma pada mau ke Bazaar Armenia, liat cewek-cewek itu. Aku tak ikut juga bukan karena nggak diajak, tapi karena aku sakit perut, nggak enak kalau jalan-jalan perutku mules-mules..." lanjutnya.

"Kamu pernah bekerja di situ?" tanya si Petros kemudian.

Soso mengangguk, "Dulu aku berteman dengan si Vati, Vateli, Ogur dan lain-lain..." jawabnya.

"Jangan-jangan kamu yang mereka sebut sebagai tukang cerita itu ya?"

Soso tersenyum, "Ya.. begitulah..."

"Nama kamu masih sering disebut-sebut. Mereka kehilangan kamu. Tapi katanya kamu memang tak layak di pabrik, kamu sekolah di seminari situ kan?"

Soso mengangguk lagi. "Mau nggak kamu menemaniku ngobrol? Mungkin sambil ngopi..."

"Boleh... aku juga belum pernah minum kopi!" jawabnya.

*****

Soso mengajak si Petros ke toko bukunya Gege Imedashvili yang menyediakan kopi dan tembakau. Bukan untuk membaca buku. Dia hanya ingin melupakan pikirannya yang terganggu karena obrolannya dengan si Lado soal Natasha. Ia juga teringat nasib kawan-kawan lamanya di pabrik itu.

"Kamu dekat dengan mereka?" tanya Soso pada si Petros, setelah menyeruput kopinya di sore itu. Ia juga meminjam cangklong dan membeli tembakaunya sekalian.

"Sangat dekat. Aku bahkan tidak lagi merasa kalau aku ini anak pendatang...." jawabnya. "Udah lama kita nggak ngomongin soal asal-usul lagi. Upah juga sama sekarang, dibedakan tugannya aja, bukan karena asal-usul..."

"Berapa banyak yang ditahan polisi?"

"Delapan..."

"Yang masih kerja?"

"Kalau anak-anak dan remaja ada mungkin 15 lagi..."

"Nggak ada yang ngurusin anak-anak yang ditahan itu?"

Petros menggeleng. "Kita nggak tau mau ngapain. Katanya ada saksi yang memberatkan. Jadi mereka nggak bisa dilepas! Kasian orang tuanya. Pada bingung..."

"Oke, kau yakin nggak anak-anak itu bersalah?"

Anak 14-15 tahunan itu menggeleng, "Aku sangat yakin mereka tak bersalah. Kalau saja --anggaplah---mereka terlibat. Kurasa bukan salah satu di antara mereka yang punya ide. Mungkin saja dimanfaatkan. Toh sampe sekarang, sepatu-sepatu yang hilang itu juga tak pernah ditemukan. Kalau mereka beneran yang mencuri, aku yakin mereka sudah pada ngaku, paling tidak ada lah salah satunya yang akan mengaku..."

"Kamu mencurigai sesuatu?" Soso menyodorkan cangklong, tapi anak itu menolaknya, meski terlihat menikmati kopinya.

"Aku curiga sama seseorang..." jawabnya dengan sedikit ragu.

"Ngomong aja santai napa. Aku kan bukan polisi atau atasanmu di pabrik!" kata Soso.

Anak itu tersipu. "Iya, ada seseorang di pabrik yang kurasa terlibat, kalau nggak bisa kubilang sebagai otak pencurian itu. Tapi dia sendiri malah nggak ditangkap, masih ada, masih bekerja..."

"Siapa?"

"Sergei Kustov!"

Soso mendelik, "Serius? Kenapa kau bilang begitu?"

"Ada seorang anak yang pernah mendengarnya berbincang dengan salah satu pekerja asal Armenia. Mereka bicara soal harga sepatu di Sharur[1] katanya harga sepatu di sana tinggi...." 

"Apa salahnya mereka ngomongin harga sepatu di sana?" tanya Soso.

"Pabrik kan nggak pernah ngomongin harga. Di situ cuma membuat. Biar namanya manajer, Sergei Kustov juga nggak ngurusin penjualan. Apalagi yang hilang itu sepatu boots buat tentara. Semua produknya kan pesanan kekaisaran, bukan untuk dijual umum!" jawab si Petros.

"Jadi kau pikir, Kustov mencuri sepatu itu untuk dijual ke sana?"

Petros mengangguk. "Semua orang di pabrik juga tahu kalau dia sedang ada masalah. Dia punya banyak utang karena judi!"

Soso mengangguk-angguk. "Masuk akal juga. Kalau bener dia punya banyak utang, mungkin saja dia mencuri sepatu-sepatu yang dibuat di pabrik yang dia awasi lalu dijual ke sana!"

"Aku cuma bingung kenapa polisi tidak mencurigainya, dan malah menuduh anak-anak itu!" kata si Petros.

Soso menyeringai, "Kau kayak nggak tau aja polisi Gori. Apalagi kalau yang dihadapinya adalah orang Rusia, pasti nggak mau ribet. Ada kambing hitam lebih bagus lagi.."

"Makanya aku nggak mau ngomong sama siapa-siapa, cuma di antara anak-anak aja. Ngomong pada orang tua juga percuma..." kata si Petros.

"Kau mau membantu teman-temanmu kan?" tanya Soso kemudian.

Anak itu mengangguk, "Tapi bagaimana caranya?"

"Coba kau selidiki orang yang kau anggap bekerjasama dengan si Kustov itu. Entah itu kelakuannya, atau hal-hal aneh lainnya yang kau anggap mencurigakan..." kata Soso.

"Terus?"

"Kalau ada hal yang menarik, kabari aku!"

"Bagaimana caranya memberitahumu?"

"Aku tinggal di rumahnya Pak Sese. Kau bisa mampir jam istirahat atau mungkin setelah pulang kerja!"

Petros mengangguk. "Baiklah. Tapi kenapa kamu mau mengurusi ini? Kamu kan sudah nggak kerja di situ lagi?"

Soso tertawa. "Aku memang sudah nggak kerja di situ lagi. Tapi urusanku sama si Kustov belum selesai. Lebih bagus lagi kalau dia memang biang keroknya dan bisa dibuktikan!" jawabnya. "Lagi pula, anak-anak yang ditahan itu, bagaimanapun adalah kawan-kawanku. Apalagi kalau mereka tak bersalah dan hanya dijadikan kambing hitam!"

"Yang penting," kata Soso lagi, "Jangan dulu libatkan orang tua. Batasi juga anak-anak yang tahu, cukup kawan dekatmu saja, jangan semua!"

Petros mengangguk-angguk. "Siap. Aku pasti akan melakukannya demi teman-temanku!"

"Ya sudah kalau begitu. Aku mungkin masih akan tinggal di sini sampai beberapa waktu lagi. Kecuali kau juga masih mau di sini!" kata Soso.

"Ini toko buku ya?" tanya si Petros. "Sayangnya aku nggak bisa baca. Huruf Rusia tak bisa, huruf Georgia juga hanya sedikit-sedikit. Kata bapakku, asal aku bisa bahasa Rusia, itu sudah cukup buat bisa nyari makan!"

Soso tersenyum, "Belajarlah. Masak kau mau selamanya bekerja di pabrik itu!"

"Iya sih..." kata si Petros.

*****

BERSAMBUNG: (76) Mengunjungi Tahanan

Catatan:

[1] Kota di Provinsi Nakhchivan Azerbaijan saat ini, yang dulunya berada dekat perbatasan antara wilayah yang dikuasai Rusia, Otoman, dan juga Persia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun