Episode Awal: (1) Soso
Episode Sebelumnya: (68) Hadiah Sepatu dan Sepatu Hilang
*****
Malam itu, pabrik sepatu milik Gregori Adelkhanov tempat Soso dan juga Pak Beso pernah bekerja sebelumnya, ramai oleh orang-orang yang berkumpul. Sergei Kustov, manajer pabrik tampak serius berbincang dengan sejumlah polisi.
Soso, Pak Beso, Pak Sese, Pak Samvel Geyserian, bergabung dengan sejumlah pekerja pabrik yang juga pada berkumpul. Biasanya jam segitu, pabrik sudah sepi, tapi karena ada kejadian, banyak pekerja yang berdatangan. Apalagi beredar dari mulut ke mulut, sejumlah sepatu yang hilang itu diduga dicuri oleh para pekerja anak.
Teman-teman Soso sesama pekerja anak dulu, Vati, Vateli, Kahka, Ogur, termasuk juga beberapa pekerja anak keturunan Armenia seperti si Ivan Geyserian, anaknya Pak Samvel juga menghilang sejak tadi sore. Polisi sedang mencari mereka.
Melihat kedatangan Pak Samvel, Sergei Kustov, langsung menunjuk-nunjuk. "Kalau anaknya tak bisa ditemukan, bawa saja bapaknya!" katanya dalam bahasa Rusia.
Pak Samvel yang berbadan besar itu tampak langsung emosi, "Eh, anakku hilang bukan berarti dia mencuri barang majikanmu ya!" hardiknya dalam bahasa Rusia yang masih kaku. Pak Sese berusaha menahannya agar tak lepas emosi. Â Â
Soso sendiri melihat sesuatu yang berbeda dari tempatnya bekerja dulu itu. Bukan pabriknya. Bukan pula manajernya, si Kustov yang nyebelin itu. Tapi, ia melihat para pekerja itu tampak berbaur, tak lagi blok-blokan seperti dulu, yang orang Georgia ngumpul sesama orang Georgia, yang Armenia ngumpul sama Armenia. Sekarang semuanya berbaur, saling berbincang satu sama lain. Termasuk bapaknya almarhum si Bulac orang Turki itu, ia juga tampak berbincang dengan yang lain.
"Sekarang pada akur ya Pak De?" tanya Soso pada Pak Sese.
"Iya, lumayan, sejak demo sehabis banjir dulu. Berkat kamu..." jawabnya.
"Halah, saya kan cuma ngompor-ngomporin aja Pak De..." kata Soso.
"Iya, tapi kalau nggak dikomporin kamu dulu, mungkin sampai sekarang masih pada blok-blokan. Sekarang mah lumayan, kalau ada orang Armenia ada masalah, yang Georgia ikut bantuin, dan sebaliknya. Apalagi sekarang, anak-anak yang hilang itu kan dari keduanya. Wong anak-anaknya juga pada akur kok, main bareng, masak orangtuanya pada diem-dieman..." kata Pak Sese lagi.
"Anak-anak itu suka pada main bareng sekarang?" tanya Soso lagi.
Pak Sese mengangguk. "Kalau malam minggu begini, sejak sore sudah pada ngumpul, terus pada ngelayap, kadang baru pada pulang besoknya..."
"Lah, jangan-jangan sekarang juga anak-anak itu pada ngelayap, bukannya menghilang habis nyolong sepatu!" kata Soso.
"Makanya, kok bisa-bisanya dituduh nyolong. Kalaupun nyolong, paling mereka juga pada balik ke rumahnya juga kan, mau pada kemana lagi?"
Soso menjawil tangan Pak Samvel.
"Biasanya anak-anak itu pada kemana kalau main Pak?" tanya Soso.
"Aku nggak pernah tanya, So..." jawabnya. "Memang kubiarkan saja, mau pulang malem mau pulang besoknya nggak masalah, kalau anakku yang penting hari Minggu sudah di rumah, pergi ke Gereja, istirahat, besoknya kerja lagi. Itu aja..."
"Jangan-jangan mereka lagi pada main, bukannya ngilang gara-gara nyolong sepatu!" kata Soso.
"Nah itu, dari tadi aku sudah ngomong sama polisi-polisi itu. Tapi nggak ada yang dengerin. Si Kustov itu tetap saja menyangka anak-anak itu menghilang karena nyolong..." kata Pak Samvel lagi.
"Ada anak yang nggak ikut ngilang nggak sekarang?" tanya Soso.
"Sebentar, aku tanya-tanya dulu..."
Pak Samvel meninggalkan Soso dan bergabung dengan kelompok pekerja lain. Soso melirik bapaknya, "Pulang aja Pak, tidur... biar saya di sini dulu..."
Pak Beso mengangguk, "Ya sudah. Aku memang sudah ngantuk..." jawabnya.
Sepeninggal bapaknya, dan Pak Sese mendekati Sergei Kustov bersama para polisi itu, Soso bergabung dengan kelompok pekerja yang beberapa diantaranya masih mengenalinya.
"Ada, si Petros yang nggak ikut main, So..." kata Pak Samvel, "Ini bapaknya..."
Seorang lelaki Armenia, Pak Gulbenkian mendekati Soso. "Anakku biasanya ikut, tapi tadi nggak ikut, katanya sakit perut..."
"Sekarang ada di rumah?" tanya Soso.
"Ada, tadi sih dah tidur..." jawabnya.
"Antar saya ketemu dia, Pak..." kata Soso.
Pak Gulbenkian mengangguk. "Ayo..."
"Aku ikut..." kata Pak Samvel.
Jadilah Soso berangkat ke rumah Pak Gulbenkian bersama beberapa orang yang punya anak hilang, termasuk Pak Samvel sendiri.
*****
Anak itu, Petros Gulbenkian, masih mengenali Soso, meski ia terpaksa dibangunkan oleh bapaknya. "Biasanya nongkrong di dekat Benteng Narikala, kalau enggak..." anak belasan tahun itu tampak ragu.
"Kalau enggak apa?" tanya Pak Samvel.
"Mmm... nongkrong di Bazaar Armenia, Pak, yang banyak cewek-ceweknya itu..." kata si Petros dengan ragu-ragu.
"Di rumah-rumah bordil itu?" suara Pak Samvel langsung naik.
"I-iya Pak, tapi nggak pada ngapa-ngapain kok, cuma pada ngeliatin cewek-ceweknya aja..." Â jawab si Petros sambil melirik pada bapaknya yang melotot.
"Ayo kita cari ke sana! Urusan mereka lagi ngapain itu urusan belakangan, yang penting urusan sama si Kustov dan polisi itu harus selesai..." kata Pak Samvel. "Kau ikut Petros!"
Rombongan itu kemudian bergerak lagi ke utara, kali ini ke Bazaar Armenia dulu yang paling dekat, soalnya kalau ke Benteng Narikala lumayan jauh kalau harus jalan kaki.
Entah Kenapa Soso terus mengikutinya. Entah karena solidaritas pada teman-temannya, meski sudah lama mereka tak bertemu, atau karena ia memang lagi kurang kerjaan. Atau mungkin karena melibatkan orang Rusia bernama Sergei Kustov yang menyebalkan itu, sehingga ia harus ikut 'membalas dendam' walau tentu saja 'dendam' itu tak kan terbayarkan meski kemudian teman-temannya ditemukan dan tak terbukti mencuri.
Setelah mengubek-ubek Bazaar Armenia yang sudah sepi --hanya di kawasan yang dikenal sebagai tempat prostitusi itu saja yang lumayan masih rame. Anak-anak itu tak ditemukan. Soso malah ketemu sama si Ararat dan kawan-kawannya.
"Ngapain kamu ke sini?" tanya anak itu.
"Nyari temenku..." jawab Soso. "Kau ngapain di sini malem-malem?" ia balik nanya.
"Yeee, aku kan tinggal di dekat-dekat sini. Sekalian nungguin ibuku..." jawabnya.
"Ibumu memang di mana?" tanya Soso.
Anak itu menunjuk ke arah warung remang-remang yang dipenuhi banyak lelaki setengah mabok yang sedang menikmati minuman.
Soso jadi teringat tujuannya ke situ, ia lalu bertanya pada anak itu mengenai kawan-kawannya. Si Petros membantunya menjelaskan, termasuk jumlah rombongan yang ikut.
"Kayaknya sih tadi ada... tapi sudah pada pergi..." jawab si Ararat.
"Kau tahu kemana?" tanya Soso.
Anak itu menggeleng. Tapi temannya nyeletuk, "Aku tadi denger ada yang bilang mau ke Golovsky, liat cewek-cewek Rusia..."
"Ayo ke sana..." kata Pak Samvel, "Nggak usah semua, kita cari kereta biar cepat!"
"Saya ikut Pak..." kata Soso, "Ayo Petros!"
Pak Samvel meminta rombongan yang lain kembali ke pabrik, sementara ia bersama Soso dan si Petros menyewa kereta kuda dan langsung menuju kawasan Golovsky, yang selalu ramai di malam minggu seperti itu.
Tapi setelah berkeliling di sana, termasuk mencari ke tempat biasanya mereka nongkrong seperti yang ditunjukkan si Patros, anak-anak itu tak ketemu juga.
"Ya sudah, sekalian saja kita ke Narikala..." kata Pak Samvel, "Nanti kalau masih belum ketemu juga ya sudah, kita pulang saja dulu..."
Berangkatlah mereka ke Benteng Narikala, tempat yang mengingatkan Soso pada kencannya dengan Natasha dulu. Tapi anak-anak itu juga tak ditemukan. Mereka menyerah, Pak Samvel memutuskan untuk kembali ke pabrik.
Sampai tengah malam, tak juga ada kabar soal anak-anak itu, termasuk dari polisi yang mencarinya. Soso sudah sangat ngantuk, dan akhirnya terpaksa pamitan pulang.
*****
Keesokan harinya, saat sarapan bersama Pak Sese, Mak Imel, dan bapaknya, Soso mendengar kabar soal anak-anak itu, dari Pak Sese tentunya, yang semalam pulang larut.
"Anak-anak itu katanya memang terlibat. Menurut saksi yang diperiksa polisi, mereka terlihat mengangkuti peti-peti itu ke dalam beberapa kereta. Malem-malem, sebelum kita pada berkumpul itu..." kata Pak Sese.
"Siapa saksinya Pak De?" tanya Soso.
Pak Sese menggeleng.
"Tapi anak-anak itu sudah ketemu?"
"Belum. Masih dicari..." jawab Pak Sese.
"Nggak masuk akal Pak..." kata Soso. "Saya tak yakin kalau anak-anak itu beneran nyolong sepatu, terus pada ngilang. Kan di sana ada penjaga, masak iya segampang itu mindahin puluhan peti. Terus, mereka mau jual kemana? Itu kan sepatu militer, bukan sepatu biasa. Lagipula, semalem anak-anak itu juga terlihat di Bazaar Armenia, ada temenku yang melihatnya di sana. Kalau mereka main ke sana, terus sepatu itu dikemanakan dulu?"
"Gak tau lah, So..." kata Pak Sese lagi. "Sekarang di pabrik banyak kejadian aneh. Banyak barang yang hilang, tapi biasanya bahan. Baru semalem aja ada sepatu jadi yang hilang. Dan selalu yang dituduh para pekerja..."
Soso sebetulnya masih sangat penasaran dengan kejadian itu. Tapi ia teringat pada niatnya untuk berangkat ke Rustavi bersama bapaknya. Ia terpaksa harus menunda rasa penasarannya itu dulu, "Nanti setelah pulang dari Rustavi lah aku cari tahu..." bathinnya.
Dan setelah sarapan pagi, ia pun bersiap untuk berangkat ke Rustavi. Sebuah kereta kuda yang akan mengantarnya ke sana sudah menunggu. Soso tampak gagah dengan pakaiannya, terutama sepatu barunya itu.
Mak Imel yang mengantar sampai takjub, "Keren juga sepatumu So..." katanya.
Soso nyengir, "Iya Mak, dibuatin bapak...." jawabnya.
"Ya sudah, hati-hati di jalan. Jangan lupa oleh-oleh dari Rustavi!"
"Siap Mak..." jawab Soso. Ia tahu Mak Imel bercanda, tapi tak ada salahnya juga mencarikan oleh-oleh nanti buatnya. Ia pun segera naik ke atas kereta, menyusul bapaknya yang sudah naik duluan.
*****
BERSAMBUNG: (70) Tebar Pesona
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H